Argumentasi Diksi terhadap Suatu Cerita

Judul     : Jejak-Jejak Kota Kecil
Penulis   : FLP Blitar
Penerbit   : Telaga Aksara
Cetakan   : I, Oktober 2016
Tebal     : xvii + 270 Halaman
ISBN     : 978-602-26400-2-2
Peresensi  : M Ivan Aulia Rokhman
Aktif di Devisi Kaderisasi FLP Surabaya. Suka menulis Puisi, Esai, dan Resensi.

Menulis adalah sebuah keterampilan antara akal dengan tangan.
Kebanyakan diksi dalam puisi memiliki ungkapan dan kiasan yang kuat. Di samping itu sastra juga punya keunikan dan memandukan kata-kata yang sekiranya mewakili cerita tersebut. Salah satunya adalah antologi cerpen Jejak-Jejak Kota Kecil karya sahabat FLP Blitar. Konsep dalam cerita adalah mengamati dan mempersembahkan kota Blitar sebagai kota yang menyimpan sebuah romantika dan nilai diksi yang sesuai pandangan penulis.
Tujuan dari antologi cerita pendek tersebut adalah menilai kisah dan menarik hikmah pada berlatar kota kecil. Dari 16 cerpenis tersebut mengikuti alur berdasarkan tempat tinggal yang dilahirkan dan cenderung perbedaan diksi memanfaatkan argumentasi pemikiran terhadap sebuah sastra. Hal ini diartikan bahwa kota kecil sebagai petualangan bagi setiap kisah yang disajikan dalam berbagai sumber maupun genre-genre secara renyah, dan mudah dipahami maknanya.
“Aku menyanyi di bawah langit senja, di area perpustakaan Bung Karno. Para pengunjung silih berganti sedari pagi seakan tiada henti. Orang-orang datang dari berbagai kota untuk wisata takziah ke makam sang proklamator. Sementara tugasku hanya menghibur mereka dengan lagu-lagu perjuangan dan daerah dengan irama keroncong” (Hal 17).
Cerpen Dewi Blitar karya Laras Wati menceritakan tentang warga yang berbondong-bondong bertazkiah atau ziarah ke makam Bung Karno yang berwafat di Blitar. Kebanyakan sang proklamator ini memiliki semangat perjuangan dan mengiringi sejarah masa pemerintah presiden pertama yang menyebabkan berbagai masalah dalam lingkup politik dan hukum. Sementara tugas dewi hanya memanfaatkan musik sebagai menghilangkan rasa bosan dan membangkit rasa letih. Tidak hanya menghibur dengan lagu daerah yang dibawakan tetapi lagu perjuangan sebagai rasa pembelaan atas jasad pahlawan yang mengenang kita agar setiap hari terus dilakukan.
“Terkadang ia jatuh berdebam, tersandung. Atau terpelanting tak karuan, terhadang akar yang menyembul dari tanah. Namun apapun itu, ia tak peduli. Yang ia inginkan adalah ujung dari jalan panjang gelap ini.” (Hal 61)
Cerita ini menyangkut masa kegelapan yang sering terjadi di dalam pengetahuan sejarah. Pada masa Dark Age ia meruntuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengancam gelap terhadap suatu aktivitas. Hal serupa dengan perang salib. Tindakan itu diambil setelah ada permintaan bantuan dari orang-orang Kristen Timur dalam melawan kaum muslimi dengan mentikai tirai agama untuk menyatakan keinginan dirinya agar terbukti secara meluas. Suasana gelap menjadi suatu cobaan yang sulit ditemukan apalagi terkena sakit yang parah karena mengutuk dirinya. Cerpen Run karya Imara mengingatkan diksi yang begitu misteri dan menilai suatu makna yang belum terselesaikan.
Laki-laki muda yang sedang membidikkan kameranya itu bernama Rahman. Menurutku dia tidak terlalu tinggi, gemuk ataupun tampan. Dia biasa saja bagiku. Yang tidak biasa menurutku adalah kebiasaannya memotret. Dan itu sering membuatku jengkel bukan kepalang. Ketika kami tengah serius berbicara, sering kali tiba-tiba Rahman berdiri tegak dan ngeloyor begitu saja demi memotret entah yang menurutnya menarik.” (Hal 130).
Cerita tersebut mengisahkan tentang Rahman sedang memotret kota. Ia bertujuan untuk mengambil gambar dari setiap lokasi yang dikunjungi. Perjalanan ini membuat susah payah ditengah masalah yang menghambat petualangan Rahman. Meski tidak mengeruhkan tekad kita membuat usaha akan membawa hasil. Cerpen Potret Rahman karya Imrotus Sa’adah ini membangkitkan kisah potret ke dalam dimensi yang mengugah sumber pariwisata.
Dari cerita pendek tersebut menilai diksi ini memiliki filosofi dan penguatan argumentasi yang dimana memiliki sebuah pemberdayaan sastra terhadap kehidupan sehari-hari. Jadi cerpen ini membawa kota kecil bisa membangun kekayaan kata di setiap karya yang mengugah jiwa sastra dan budaya.

                                                                                                     ———— *** ————–

Tags: