Aroma Politisasi Program Beasiswa Presiden

Ribut-LupiyantoOleh :
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration) -Yogyakarta

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meluncurkan program Beasiswa Presiden Republik Indonesia (BPRI) pada Rabu (2/4). BPRI didanai dari hasil pengelolaan dana abadi pendidikan. Peluncuran program yang mendekati pemilu ini dinilai banyak kalangan beraroma politisasi.
Kontroversi BPRI muncul akibat penamaan program yang spesifik mencantumkan Presiden RI. Seperti diketahui Presiden SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang gencar beriklan dengan jargon “Memberi bukti bukan janji”. Wajar jika publik menuding SBY kembali memainkan politik pencitraan. SBY memang tidak maju lagi dalam Pilpres, namun program ini secara tidak langsung termanfaatkan untuk Partai Demokrat. Publik berhak mengkritisi dan mengawasi agar kecurigaan ini terminimalisasi.

Celah Politisasi
BPRI merupakan jenis beasiswa yang dijalankan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sebelumnya LPDP sudah menjalankan program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Data terakhir jumlah penerima BPI sekitar 1.500 orang. Anggaran seluruhnya untuk dua jenis program beasiswa itu adalah Rp 500 miliar per tahun. Dana itu merupakan bagian dari hasil pengelolaan dana abadi pendidikan yang berjumlah Rp 15 triliun lebih.
Penamaan BPRI sebenarnya sah, tetapi kurang bijak secara etika politik. Program BPRI berpotensi muncul sebagai politik citra dan politik gentong babi. Aroma politisasi beasiswa oleh SBY sebelumnya juga mencuat karena surat Presiden SBY untuk seluruh mahasiswa peserta program beasiswa pendidikan mahasiswa miskin (bidik misi).
SBY dan Partai Demokrat nampak ingin mengulang strategi pemenangan 2004 dan 2009. Kala itu kemenangan didulang akibat optimalnya politik citra. Pemilu 2004 memunculkan citra pendzoliman Megawati kepada SBY. Pemilu 2009 memanfaatkan pencitraan atas program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pemilu 2014 sempat tercium akan digunakannya program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan penurunan kembali harga elpiji sebagai politisasi citra. Sayang program ini kurang sukses. Setelah itu beberapa sandiwara kebijakan dipertontonkan untuk mendongkrak citra. Misalnya pencabutan kembali Perpres Nomor 105 dan 106 Tahun 2013 tentang Nomor 105 dan 106 Tahun 2013, peluncuran BPJS, dan kini BPRI.
Realitas politik di Indonesia, menurut Yasraf Piliang (2005) didominasi rekayasa seakan-akan. Tradisi politik citra booming semenjak Era Reformasi yang memberikan ruang pers sebebas-bebasnya. SBY tersandera tidak bisa menjual partainya, maka yang paling memungkinkan adalah mengulang strategi rekayasa kebijakan di detik-detik akhir kepemimpiannya. Kebijakan populis paling potensial dimanfaatkan dengan judul kepahlawanan membela rakyat.
Program BPRI rentan pula menghadirkan politik gentong babi (pork barel). Kata “gentong babi” menurut Maxey (1919) berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865).  Pada masa itu, para tuan pemilik budak memberikan daging babi yang telah diasinkan kepada para budak kulit hitam untuk diperebutkan. Perilaku para legislator yang mencari subsidi pemerintah untuk kepentingan politik pribadi bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut.
Politik gentong babi kali biasanya dilakukan oleh calon incumbent yang telah memiliki kekuasaan. Teddy Lesmana dalam bukunya Politik Pork Barrel dan Kemiskinan menuturkan praktik “gentong babi” terkait perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.  Banyak kebijakan atau program yang  dimanfaatkan sebagai sumber gentong babi. Misalnya adalah dana bantuan sosial, dana aspirasi, dan dana lain dari kebijakan pemerintah,  termasuk di dalamnya adalah BPRI.

Sikap Kritis
Kebijakan populis rentan diboncengi kepentingan politik yang tidak bertanggung jawab jelang Pemilu 2014. Publik mesti dibangunkan agar sadar dan kritis dalam menyikapi setiap dinamika kebijakan yang ada. Berbagai elemen bertanggung jawab dalam pendidikan politik demi menyadarkan publik.
Pertama, pemimpin mesti menunjukkan keteladanan sikap kenegarawan. Politik citra mesti ditempatkan berdasar realita bukan rekayasa. Politik gentong babi juga tidak layak diterapkan pemimpin petahana. Akan lebih bijak jika SBY menganulir nama BPRI atau menunda peluncurannya hingga setelah Pemilu 2014.
Kedua, dunia pers mesti proporsional dan independen. Pencitraan selalu memanfaatkan pers dalam komunikasinya. Insan pres jangan sampai menggadaikan kemulian tugasnya hanya demi imbalan rente. Investigasi jurnalistik yang berimbang dibutuhkan untuk menguak setiap fenomena politik dan dinamika kebijakan. Informasi media sangat berharga bagi pencerahan publik.
Ketiga, politisi dan partai politik mesti berpolitik secara jujur dan berpihak hanya kepada kepentingan khalayak. Pro dan kontra terhadap kebijakan jangan justru dipermainkan untuk ikut mereguk pencitraan. Dukungan adalah efek alamiah terhadap konstistensi dan keberpihakan.
Keempat, kaum intelektual dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab moral mendidik dan menyadarkan publik. Produk akademik mesti disumbangkan untuk mengkaji fenomena yang terjadi. Analisis akademik yang objektif ditunggu dalam setiap keluarnya kebijakan, apalagi ketika terjadi polemik. Kritik dan pengawasan terhadap BPRI penting digencarkan demi rakyat. Publik yang kian cerdas dapat menangkal hingga menjadikan pencitraan dan politik gentong babi sebagai bumerang bagi pelakunya. Aroma politisasi yang sampai tercium publik dapat kontraproduktif dan berbuah antipati kepada sang pelaku. Pemilu 2014 menjadi pertaruhan bagi kenegarawanan pemimpin dan kedewasaan berpolitik kontestan. ***

Tags: