ASN “Terbang” Tinggi

Foto Ilustrasi

Menjadi aparatur sipil negara (ASN), kini menjadi cita-cita paling populer rakyat Indonesia. Setiap pembukaan rekrutmen ASN selalu diserbu ribuan peminat. Namun tidak mudah menjadi pegawai pemerintah berstatus ASN, dibutuhkan kesabaran dan loyalitas kepada negara. Juga wajib menjadi teladan masyarakat. Sebagai “pelayan” publik, tak jarang, ASN dituding sebagai sumber hambatan birokrasi. Dianggap mempersulit ke-administrasi-an.
Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan, memuji ASN telah terbukti sanggup menjadi pemersatu bangsa. Juga kesetiaan terhadap NKRI. Terutama ASN yang bertugas di daerah terpencil, terluar, dan termiskin. Bersama TNI, dan Polri, ASN mengemban misi kesatuan nasional. UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), membebani ASN sebagai “wakil” pemerintah dan negara.
UU ASN pada pasal 10 huruf c, menyatakan fungsi utama ASN sebagai menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Bahkan fungsi tersebut diulang (lebih jelas) dalam pasal 11 huruf c, bahwa tugas ASN “mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Fungsi, dan tugas ASN, sesungguhnya tak beda dengan TNI dan Polri. Wajib menjamin keutuhan bangsa dan negara. Maka ASN, tidak boleh terpecah-pecah berdasar ego ke-suku-an, dan wajib bebas keterlibatan partai politik (parpol).
Namun seiring beban tugas, harus diakui ASN sering terbelenggu ego-sektoral. Bahkan pembangunan infrastruktur sering terkendala ego-sektoral. Misalnya, pembangunan jalan sering terhambat status kepemilikan lahan. Pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum) wajib “mengurus” lahan milik negara, yang dikuasai Kementerian lain. Lebih lagi, pembangunan jalan kabupaten, dan jalan propinsi, wajib “membeli” lahan negara.
Presiden selaku pimpinan tertinggi pemerintahan, telah meminta ASN menghapus ego-sektoral. Karena seluruh permasalahan di masyarakat selalu bersifat lintas sektoral. Juga meminta ASN menghapus kinerja lambat, dan hambatan birokrasi. Pada upacara peringatan Hari Korpri ke-47, kecepatan kinerja ASN dibutuhkan sebagai daya saing (kompetitif) negara. Terutama meraih investasi, yang berujung peningkatan perekonomian negara, dan kesempatan (lapangan kerja) rakyat.
Saat ini terdapat sebanyak 4,375 juta ASN (sekitar 1,69% total jumlah penduduk). Tak jarang, jumlah ASN yang besar menjadi incaran politik. Pada masa lalu (orde baru), pegawai negeri menjadi pilar partai politik rezim selama 6 kali pemilu (tahun 1971 sampai 1997). Begitu pula TNI dan Polri. Sehingga terdapat jurang pemisah, antara rakyat dengan aparat. Ironisnya, kesejahteraan ASN (juga TNI dan Polri) ter-abai-kan. Gajinya sangat kecil.
Kini berdasar UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, seluruh pegawai pemerintahan, dilarang menjadi kader parpol. Tetapi tidak kehilangan hak pilih pada setiap pergelaran politik, tetap memiliki hak suara pada pemilihan legislatif, pilpres, dan pemilihan Kepala Daerah. Dalam UU ASN pasal 23 huruf a, dinyatakan, “setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah.”
Terdapat frasa kata “setia pada pemerintah yang sah.” Bermakna tidak turut terlibat dalam rencana makar. Juga dilarang terlibat dalam gerakan mengganti falsafah dasar negara (Pancasila), dan dilarang terlibat dalam upaya mengubah konstitusi negara (UUD). Namun seiring pergaulan sosial, bisa terjadi ke-terpengaruh-an ideologi yang menggerogoti kesetiaan terhadap Pancasila. Karena itu patut dibuat metode sistemik pada awal rekrutmen, menghindarkan ASN dari gerakan politik menyimpang.
Harus diakui, masih terdapat ASN terlibat berbagai gerakan politik, serta tindak kriminal. Antaralain disebabkan kompetensi (kecakapan) yang rendah dan suasana sosial. Tetapi KORPRI (sebagai organisasi ASN) berjanji akan “terbang lebih tinggi, berlari lebih cepat, dan melompat lebih jauh.”

——— 000 ———

Rate this article!
ASN “Terbang” Tinggi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: