Audit BPK Bikin Lemas Gairah Penelitian

Konsentrasi Peneliti Habis untuk Laporan Keuangan
Surabaya, Bhirawa
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai turun tangan memelototi aktifitas penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen perguruan tinggi. Otomatis, hal ini membuat para peniliti cemas dan semakin kehilangan gairah. Baik dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta merasa tertekan dengan audit BPK yang ekstra rumit tersebut.
Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Warsono menuturkan, tahun ini kebetulan BPK sedang menegakkan aturan sangat ketat. Jadi ini yang sering kali membuat peneliti menjadi tidak bergairah. Salah satu di antaranya peneliti tidak boleh menerima honor penelitian. Selain itu, alat penelitian yang digunakan selama proses penelitian juga harus dikembalikan sebagai aset negara.
“Konyolnya itu, dosen katanya memang sudah tugasnya meneliti dan pengabdian masyarakat. Jadi selama kita jadi dosen punya tugas tri dharma, termasuk penelitian dan pengabdian masyarakat,” tutur Prof Warsono dikonfirmasi kemarin, Seasa (7/8).
Warsono mengaku, honor dulu masih boleh. Ketentuannya, tidak boleh lebih dari 20 atau 30 persen dari dana penelitian. Dari segi pelaporan keuangan, Warsono juga mengaku cukup rumit. Menurutnya, hal ini tampaknya untuk mewujudkan clean and good goverment. “Kebetulan kita memang jadi sampling BPK untuk diaudit. Tapi kita masih mendapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) karena memang kesalahannya masih bisa ditoleransi, ” tutur dia.
Dari audit BPK tersebut, Warsono mengaku hanya ada temuan sekitar Rp 70 juta untuk 12 judul penelitian. Penelitian tersebut berangkat dari dana hibah yang dialokasikan Kemenristek-Dikti. “Memang sekarang ini haduh…. Makanya gairah peneliti ini agak gimana ya. Sehingga kita juga harus mengalkkasikan anggaran dari internal, ” kata dia.
Di Unesa, Warsono mengaku telah mengalokasikan anggaran untuk penelitian sebesar Rp 24 miliar. Nominal tersebut masih sekitar 10 persen dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Unesa sebesar Rp 250 miliar. “Seharusnya kita berkewajiban mengalokasikan 15 persen dari PNBP. Tapi belum terlampaui kuota itu, ” tutur dia.
Warsono berharap, penelitian ke depan tidak kontraknya adalah kontrak hasil, yaitu berbasis output. Jadi kalau kontraknya misal mengeluarkan publikasi tingkat internasional, maka cukup itu laporan. Karena hasil penelitian sebenarnya kan hasil atau produknya. “Dikti sebenarnya sudah memperjuangkan ke arah hasil. Tapi BPK ini kan masih mengacu laporan keuangan berdasarkan Menteri Keuangan,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdia Masyarakat (LPPM) Universitas 17 Agustus Surabaya Dr Muslimin Abdulrohim. Menurutnya, ada perbedaan persepsi antara Kemenristek-Dikti dengan BPK yang mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Tahun ini, BPK menggunakan acuan PMK 49 dan 106. Sementara aturan tersebut belum disosialisakan sampai ke peneliti. Sehingga nomenklatur pelaporan dan nominal belanja mengalami banyak kesalahan.
Di Untag, tahun lalu tercatat ada sekitar 30 penelitian dan pengabdian masyarakat yang mendapat pendanaan dari Kemenristek-Dikti. Dari angka tersebut, 13 judul di antaranya terdapat temuan dari BPK. Temuan itu khususnya untuk honor peneliti, pajak dan Surat Pertanggungjawaban Belanja (SPtB). “Kalau dulu pelaporan ke Kemenristek – Dikti tidak masalah. Terus sekarang pindah ditangani BPK jadi ketat sekali, ” tutur dia. Dengan ketatnya aturan tersebut, Muslimin berharap semangat dosen untuk meneliti tidak suruta. Meski pihaknya juga tidak menyangkal, banyam dosen yang harus berpikir dua kali sebelum melakukan penelitian. “Kalau Kemenristek-Dikti laporan itu berbasis output penelitian. Tapi kalau BPK ini justru lebih cenderung pada laporan keuangan, sehingga review pun dikoreksi per kwitansi, ” tutur dia.
Sementara itu, Ketua LPPM Universitas Muhammadiyaj Surabaya Dr Sujinah mengungkapkan, di kampusnya tercatat ada 47 penelitian dan pengabdian masyarakat yang tahun lalu didanai Kemenristek-Dikti. Dari jumlah tersebut, 21 judul penelitian harus melakukan review berulang-ulang karena adanya temuan BPK.
Salah satu temuan yang paling banyak ialah terkait pembayaran pajak. Pihaknya mengaku, peneliti umumnya membayar pajak secara kolektif dengan menggunakan nama institusi kampus. Pada saat pembayaran tersebut yamg seharusnya dikenakan 5 persen berkirang menjadi hanha 2,5 persen. “Tapi oleh BPK itu jadi temuan dan harus membayar 2,5 persen. Selain itu kita juga harus melakukan review ulang dengan melihat semua kwitansi yang dilaporkan, ” tutur dia.
Sujinah mengaku, untuk satu judul penelitian, peneliti bisa mengikuti review pelaporan keuangan hingha tiga kali. Hal inilah yang membuat peneliti stres. Sebab membuat laporan keuangan ternyata lebih rumit dari pada melaksanakan penelitiannya. “Bahkan sampai ada yang trauma. Tapi kita juga tidak bisa mengelak, karena kalau tidak mau membuat review akan berdampak masalah hukum,” pungkas dia. [tam]

Rate this article!
Tags: