Australia-Indonesia Pasca Eksekusi “Bali Nine”

Syaprin ZahidiOleh :
M. Syaprin Zahidi, MA.
Dosen Pada Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Pasca eksekusi mati duo Bali Nine, Australia dibawah rezim Abbott benar-benar menunjukkan kekecewaannya dengan penarikan duta besarnya. Menurut Abbott Duta besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson akan ditarik kembali ke Australia untuk dimintai keterangannya terkait eksekusi mati tersebut dan melihat dampaknya bagi hubungan bilateral kedua negara. Di sisi lain, penarikan Duta Besar ini juga dilakukan untuk menghargai dua nyawa warga negara Australia yang ditembak mati di Nusakambangan. Abbott mengeluarkan statement di kantornya yang mengungkapkan bahwa “Ekseskusi mati itu kejam. Seharusnya itu tak perlu dilakukan” (Tempo, 2015).
Reaksi Abbott ini menjadi menarik bagi penulis untuk menganalisanya secara lebih mendalam karena penarikan duta besar ini baru pertama kali dilakukan oleh Australia disebuah negara dimana warga negara Australia dieksekusi mati karena kasus narkotika. Sebelumnya, Australia tidak pernah memilih opsi untuk menarik Duta Besarnya ketika warga negaranya dieksekusi mati di Singapura tahun 2005 serta di Malaysia tahun 1986 dan 1993.
Sebagai contoh di Singapura, ketika Pengadilan Singapura menjatuhkan hukuman mati pada Nguyen Tuong Van karena tertangkap di Bandara Changi, Singapura tahun 2002 akibat membawa 392,2 gram heroin dari Kamboja. John Howard yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Australia hanya menyatakan kecewa dengan proses eksekusi tersebut karena pemerintah Singapura dibawah pimpinanan Perdana Menteri Lee Hsien Loong tidak pernah memberitahu kapan proses eksekusinya akan dilaksanakan padahal keduanya sempat bertemu pada KTT APEC di Korea Selatan.
Berdasarkan fakta tersebut diatas maka bisa penulis simpulkan bahwa kebijakan penarikan Duta Besar yang dilakukan oleh Australia dibawah pemerintahan Tonny Abbott lebih banyak merupakan usaha dari Tonny Abbott untuk merebut simpati dari masyarakat Australia agar terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Australia pada pemilu periode berikutnya karena Tonny Abbott menyadari bahwa popularitasnya mulai menurun akibat dari kebijakannya yang dinilai tidak mampu mensejahterakan masyarakat Australia yang ini disebabkan oleh melemahnya perekonomian Australia yang berkorelasi pada merosotnya neraca perdagangan Australia dengan beberapa negara ditambah lagi perselisihannya dengan partai buruh di parlemen. Kebijakan bias gendernya juga menjadi masalah karena tidak sesuai dengan kampanyenya yang akan memprioritaskan jumlah wanita di kabinetnya. Realita yang terjadi baru ada dua wanita di Kabinetnya yaitu Susan Ley dan Julie Bishop.
Jadi dengan kata lain apa yang dilakukan oleh Tonny Abbott menjadi suatu hal yang wajar dilakukan oleh seorang politikus demi mencapai kepentingannya. Istilah dalam politik yang menggambarkan tidak ada kawan atau lawan yang abadi namun hanya ada kepentingan yang abadi menjadi cocok untuk menggambarkan kebijakan Abbott demi mempertahankan posisinya sebagai Perdana Menteri apa lagi fokus masyarakat Australia mengarah pada pelaksanaan eksekusi mati duo bali nine maka bisa dikatakan Abbott melihat ini menjadi sebuah peluang menjadi isu nasional dan kebijakannya yang tidak hanya mengecam namun juga sampai menarik Duta Besarnya merupakan suatu tindakan yang paling rasional bagi Abbott agar mendapatkan simpati dari masyarakat Australia sendiri.
Apabila Tonny Abbott hanya mengeluarkan kebijakan yang sebatas mengecam tanpa ada tindakan apapun tentunya ini akan menjadi suatu kebijakan yang kontraproduktif bagi posisi Abbott sebagai seorang Perdana Menteri karena posisinya yang sudah tidak aman sebelumnya akibat dari pertentangannya dengan parlemen dan tagihan-tagihan masyarakat terhadap janji-janji politiknya.
Lalu, apakah Abbott akan mengambil suatu kebijakan yang ekstrim seperti misalnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia? Analis penulis sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena pada kenyataannya beberapa hari setelah penarikan duta besar dan kecaman yang dikeluarkannya, Perdana Menteri Australia tersebut mengeluarkan suatu pernyataan yang berbeda dengan pernyataan sebelumnya yaitu “Hal penting yang harus dilakukan sekarang adalah tidak melakukan hal yang membuat situasi lebih buruk. Dalam minggu dan bulan-bulan ke depan kita perlu memperbaiki hubungan kita dengan Indonesia”.
Pernyataan Abbott tersebut diatas diperkuat dengan pernyataan Menteri Luar Negerinya Julie Bishop pada Konferensi Pers di Perth pada Jumat (1/5) Ia menyatakan “Saya pikir ini waktunya bagi kita untuk move on. Kita butuh membangun hubungan di level pemerintahan dan rakyat, dan saya pikir kita perlu melihat hubungan jangka panjang.” Dari pernyataan pemerintah Australia tersebut dapat dikatakan bahwa Australia tidak akan sampai memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Indonesia karena bagi Australia, kerugian yang akan didapat jika memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia akan lebih besar dari pada keuntungan yang didapat.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh tiga pemateri dalam diskusi dengan tema “In The Zone 2015” di Perth, Australia yaitu Stephen Smith (Mantan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan Australia), Profesor Krishna Sen (Peneliti Politik dan Media Massa Indonesia) dan Gordon Flake (CEO Perth USAsia). Mereka bertiga sepakat mengatakan Australia akan rugi jika memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia karena potensi Indonesia yang sangat besar sebagai pasar  produk-produk Australia kedepannya. Dalam kesempatan tersebut juga ketiga pemateri menjabarkan perspektif mereka mengenai pentingnya Indonesia bagi Australia seperi misalnya Gordon Flake yang menyatakan bahwa dalam perspektif jangka panjang Indonesia terlalu penting untuk diabaikan oleh Australia. Dalam pandangannya “Ketika orang Amerika, Jepang, India, dan Tiongkok melihat Indonesia, mereka melihat peluang, peluang, dan peluang”. “Jumlah penduduk yang besar, dengan kelas menengah yang akan melampaui 100 juta pada tahun 2050, Indonesia adalah pasar yang luar biasa besar,” terangnya menambahkan.
Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh Stepen Smith. Ia menyebutkan bahwa pada tahun 2050 Indonesia akan menjadi negara dengan populasi terbanyak ke- 4 di dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika jika Australia mengabaikan hal ini maka Australia akan kehilangan keuntungan ujarnya.

                                                                                                                       ————– *** ————– 

Tags: