Awas Ada Berhala di Rumah Kita

Abd BasidOleh :
Abd. Basid
Aktif menagajar di Ma’had Aly PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Alumnus PP. Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Madura

Seorang teman pernah berujar “sekarang ini ada dua berhala dalam rumah kita, yaitu smartphone dan TV”. Disadari atau tidak ujaran di atas ada benarnya dan fakta tak terbantahkan. Bagaimana tidak, di zaman globalisasi ini masing-masing individu pasti mempunyai gadget, mulai dari anak-anak hingga dewasa tidak asing dengannya. TV pun demikian, di setiap rumah pasti ada televisi, bahkan tidak hanya di satu sudut ruangan. Di setiap sudut kamar gampang kita temukan TV dengan berbagai bentuk, ukuran, dan merk. Mulai dari ruang tamu, kamar tidur, hingga kamar anak pun tidak sulit kita temui.
Penulis masih ingat cerita kakek-nenek di desa kelahiran dulu ketika TV dan gadget belum ada dan masih merupakan barang langka di perkotaan, “cong, pada akhir zaman nanti luar negeri itu jaraknya tidak akan jauh lagi, mendatanginya tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan, dan memperbincangkannya tidak lagi merupakan hal yang istimewa. Kita bisa melakukannya hanya dengan duduk santai di rumah”. Mendenganya, waktu itu, penulis merasa heran dan bahkan menganggapnya aneh karena seakan-akan tidak mungkin. Namun, keanehan dan ketidakmungkinan tersebut kini terbukti di era globalisasi ini. Untuk mengetahui keadaan dan kabar luar negeri kita cukup melihat TV sambil duduk santai-bahkan tidur-tiduran-di kamar. Untuk menginjakkan kaki di sana kita cukup naik pesawat, dengan hitungan jam sudah bisa sampai. Sungguh luar biasa.
Dengan kehebatan dan kecanggihan dunia informasi dan komunikasi yang kian mengglobal, jika kita terlena akan keduanya bisa dipastikan kita akan memberhalakannya. Bagaimana tidak, karena gadget kita bisa abai akan kewajiban, tanggung jawab, dan amanah sebagai khalifah fi al- ard (minimal peran sebagai orang tua). Waktu santai yang semestinya dinikmati bersama anak-anak dan keluarga, tidak jarang kita asyik dengan gadget masing-masing. Efeknya, anak cenderung mencari parhatian dengan tingkah laku “aneh” yang kadang kita anggap sebagai tingkah kenakalan. Padahal “kenakalan” itu timbul karena sikap orang tua yang abai terhadap sekitar (anak, pasangan, dan keluarga).
Ayah Edy, seorang parenting consultant dan praktisi pendidikan anak, pernah berujar dalam Funpage AYAH EDY Parenting-nya bahwa 99% anak yang berperilaku bermasalah memiliki orang tua yang bermasalah dalam mendidik anaknya. Hemat penulis, salah satu faktor pemicunya adalah akibat gadget dan TV yang tak terkontrol.
Bisa kita lihat tanyangan TV dewasa ini, rata-rata-untuk tidak mengatakan semuanya-menayangkan hal-hal yang tidak mendidik, terutama bagi anak-anak. Dalam hal musik, misalnya, sangat sulit ditemukan anak SD deawa ini yang tahu dan hafal lagu daerah dan kebangsaan, tapi kalau ditanya lagu cinta, erotis, sedih mereka tahu, seperti lagu Goyang Dumang, Buka Sitik Joss, dan sejenisnya, padahal semua itu belum waktunya untuk dikonsusmi anak-anak. Anehnya, mereka juga hafal siapa nama penyanyi asli lagu-lagu tersebut. Dari mana mereka tahu semua itu? Tidak lain TV, baik langsung maupun melalui perbincangan dari teman ke teman yang juga dari TV.
Tayangan film pun juga demikian, tidak jarang menampilkan adengan ciuman, perkelahian, iri-dengki, dan kemusyrikan. Bisa dilihat film Anak Jalanan yang dibintangi Stefan Willian dan Dylan Carr yang menyajikan cerita geng motor brutal, tauran, dan bercinta di ruang publik. Film-film FTV yang tidak sesuai dengan kehidupan nyata, konflik tanpa ujung, dengan karakter antagonis diperkuat, dan seringkali menyajikan sikap iri-dengki antar sesama. Film-film dari negeri tetangga, semisal Uttaran, yang sangat berbahaya bagi mindset anak, anak-anak bisa saja mengikuti bagaimana tokoh utama Uttaran yang begitu mudah melepas masa depannya hanya demi keinginan semu. Itu belum lagi ritual keagamaan dan keyakinan yang di luar mayoritas agama anak Indonesia. Dan banyak lagi tayangan-tayangan sejenis yang semua itu tidak mendidik dan anehnya juga digandrungi anak-anak kecil.
Dari fakta di atas, bisa disimpulkan bahwa gadget dan TV dewasa ini harus kita waspadai karena ia seakan menjadi barang primer dalam keseharian kita. Di mana-mana kita tidak bisa lepas dari keduanya. Sejak bangun tidur, hal pertama yang dicari adalah gadget. Setiap saat hingga menjelang tidur gadget dan TV menjadi teman setia. Hal itu karena keduanya dapat menghadirkan dunia yang sangat menarik, sebuah realitas semu tempat di mana para penggunanya “hidup” sebagaimana di dunia nyata.
Gadget dan TV memang tidak selamanya negatif, di balik efek negatif yang bisa ditimbulkannya ada sejuta manfaat yang juga bisa dinikmati jika kita bisa mengaturnya. Untuk itu, yang perlu disadari adalah bagaimana setidaknya kita tidak dikendalikan oleh dua berhala tersebut, melainkan bagaimana setidaknya kita yang mengendalikannya dengan menfungsikan sebagaimana mestinya.
Sebagai orang tua, tentunya kita lebih tahu akan masa depan anak-anak untuk menjadi maju dan tidak terjajah oleh globalisasi. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah agar generasi emas kita bisa terselamatkan dari cengkrama “berhala” modern. Setidaknya orang tua bisa melaksanakan beberapa langkah berikut; pertama, abaikan gadget ketika bersama anak. Hal ini untuk tidak mengurangi kwalitas hubungan emosional anak dengan orang tua. Menurut penelitian Dr. Diana Suskind, peneliti dan dokter bedah di University of Chicago, AS, penggunaan gadget yang berlebihan bisa berdampak pada kualitas bahasa anak, terutama usia dini. Dalam penelitiannya Dr. Suskind merekam enam keluarga, di setiap keluarga dilakukan dua kali perekaman, yaitu pertama dengan keadaan smartphone dan komputer menyala dan kedua dengan keadaan dua alat tersebut mati. Hasilnya, pada anak dengan orang tua yang meminimalkan penggunaan gadget saat bersama anak jumlah kata yang mampu diucapkannya jauh lebih banyak dibanding ketika anak berinteraksi dengan orang tua yang selalu menatap layar gadget (Ummi, 2016).
Kedua, matikan TV saat maghrib. Setelah seharian anak asyik bermain, waktu maghrib sebagai awal permulaan malam merupakan waktu yang tepat bagi orang tua untuk menempa karakter religius anak dengan menanamkan kesadaran beribadah kepada Tuhannya. Hal ini bisa diisi dengan shalat berjamaah, ngaji al-Qur’an, dan belajar bersama. Jika di siang hari sudah asyik bermain di luar rumah, maka waktu malam (maghrib) saatnya diajak mendekatkan diri kepada Tuhan yang Esa.
Ketiga, temani anak ketika nonton TV atau bermain gadget. Hal ini dimaksudkan agar anak nonton TV dan main gadget sesuai dengan konten dan tayangan yang tepat, bahkan bila perlu orang tua harus membuatkan jadwal, karena jika anak dibiarkan menonton TV atau ber-gadget tanpa ada batasan malah akan membuat anak menjadi kecanduan dan tidak bisa lepas. Lebih-lebih, seperti yang sempat disinggung di atas, tayangan TV dewasa ini cenderung tidak mendidik-termasuk film anak sendiri (kartun) sendiri, seperti Naruto, Tom and Jerry dan sejenisnya yang memang kelihatannya lucu dan menarik karena diselingi dengan efek animasi yang membuatnya tampak hebat, namun adegan-adegan dalam film tersebut sangatlah tidak mendidik karena menunjukkan perseteruan, perkelahian, bahkan berujung pada pembunuhan. Yang ditakutkan adalah anak-anak akan menangkap bahwa apa yang dilakukan oleh tokoh kartunnya adalah hal yang legal dan benar, padahal tidak sama sekali.
Keempat, imbangi dengan mainan edukatif. Agar anak tidak selalu meminta nonton TV dan bermain gadget yang bisa menjadi candu, maka orang tua harus mengalihkan candu tersebut pada hal-hal lain yang anti gadget. Seperti diajak ke luar rumah (ruang terbuka) bermain bongkar pasang hingga petak umpet bersama teman-temannya.
Kelima, ajak anak jalan-jalan. Hal ini untuk menghibur dan mengusir kejenuhan anak yang wajar terjadi jika setiap harinya selalu monoton dan itu-itu saja. Solusinya perlu diagendakan, anak-anak diajak rekreasi atau jalan-jalan baik menikmati pemandangan alam maupun jalan-jalan ke toko buku yang dapat menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan, sosial, dan minat baca.
Alhasil, perlu disadari bahwa candu gadget, tayangan TV, dan internet sekarang ini semakin sulit diawasi oleh pihak-pihak terkait, apalagi pihak pengelola siaran mengutamakan bisnis dan rating dan seringkali mengenyampingkan efek negatif dari apa yang ditampilkan. Sekarang kita tinggal memilih, ingin jadi korban globalisasi dengan terus terlena pada fasilitas yang ada atau berusaha menyelamat generasi emas kita dengan mendidik dan menyadarkannya akan bahaya globalisasi jika tidak disadari? Usaha inilah yang sejatinya diingatkan oleh Sayyidina Ali untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya (‘allimu awladakum ghaira ma ‘ullimtum fa innahu khuliqu li zamanin ghaira zamanikum). Mendidik anak “sesuai dengan zamannya” pada perkataan Sayyidina Ali di sini perlu difahami dengan penafsiran yang tidak hanya berorientasi duniawi, tapi juga ukhrawi guna menjawab tantangan zaman yang semakin tidak karuan. Dalam artian, jika kita dulu tidak diajari tentang bahaya nonton TV (karena konten masih aman), maka kini saatnya mengajari anak-anak kita akan bahaya TV. Jika dulu orang tua kita tidak mengajari bahaya gadget (karena mungkin belum ada gadget), maka di zaman ini sudah saatnya kita mengawasi anak-anak kita agar bebas dari cengkaraman gadget dan menjadi candu.

                                                                                                            ———– *** ————

Rate this article!
Tags: