Awas Darurat Penjara

Lima anggota kepolisian gugur melaksanakan tugas pengamanan markas, melawan napi terorisme. Ironisnya, “perang” terjadi di dalam Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, kota Depok (Jawa Barat). Sebagai markas pasukan elit kepolisian, seharusnya menjadi area sangat aman. Namun terusik dendam teroris. Berbagai rusuh di rumah tahanan, dan penjara, patut dilakukan klasifikasi narapidana lebih sistemik. Disertai pengawasan perilaku ber-keadilan.
Rusuh di penjara (Lapas, lembaga pemasyarakatan) makin meluas, sejak lima tahun terakhir. Sasaran utamanya melumpuhkan petugas. Bahkan bukan hanya di dalam, melainkan di luar lapas (di rumah dinas) petugas terus diburu. Karena itu sejak tahun 2013, Menteri Hukum dan HAM menyatakan kondisi darurat lapas. Diawali kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan (Juli 2013). Kerusuhan penjara terjadi berantai.
Over-load, masih menjadi isu utama (dan lama). Beberapa kali rezim berganti, namun problem “kelebihan muatan” tetap tak terpecahkan. Lebih lagi setelah terbit undang-undang (pemberantasan korupsi dan penanggulangan narkoba) jumlah napi bagai booming. Lapas di seluruh Indonesia makin overload sampai lebih 150%. Seperti di Tanjung Gusta yang berisi 2600 napi, padahal kapasitasnya cuma 1.050-an.
Area dalam rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas), merupakan kawasan paling sensitif psikologis. Karena di dalamnya dikungkung pelaku kejahatan yang telah divonis pengadilan. Sebagian warga binaan menerima hukuman sebagai pertobatan. Namun sebagian lain memendam rasa dendam sangat mendalam. Potensi dendam, akan menjadi alasan menjalin hubungan antara narapidana (napi) dengan pihak lain (penjahat yang masih bebas).
Harus diakui, masih terdapat perbedaan perlakuan terhadap warga binaan di dalam penjara oleh petugas. Termasuk perbedaan dalam proses remisi. Seperti kerusuhan di Lapas Banyuwangi (Jawa Timur). Protes napi disebabkan sistem pengajuan remisi yang dianggap tidak adil. Bukan berdasarkan perilaku (baik) selama di penjara, melainkan membayar lebih besar. Selain itu Lapas Banyuwangi yang berkapasitas 260 orang, dihuni oleh 820 napi.
Bukan rahasia lagi, banyak petugas lapas memungut uang sewa kamar dan uang makan. Setiap kamar berbeda tarifnya, disesuaikan dengan fasilitas. Bahkan terdapat kamar yang harganya setara dengan tarif hotel bintang tiga, dilengkapi “bilik asmara.” Napi koruptor dan bandar narkoba biasanya menghuni kamar “bintang tiga.” Kamar mewah untuk satu orang, menyebabkan semakin berkurangnya ruang tahanan. Ke-kumuh-an tak terelakkan.
Diskriminasi pengurusan remisi, sudah dijadikan ajang KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Padahal, napi yang bukan terorisme dan bandar narkoba, seharusnya diprioritaskan memperoleh remisi. Problem yang telah akut tidak bisa ditanggulangi hanya dengan penambahan kamar baru. Kecuali disertai perbaikan mental petugas, termasuk penambahan personel dan konsekuensi remunerasi (tambahan penghasilan).
Pemerintah perlu kukuh melakukan klasifikasi napi (narapidana), sesuai arah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP ini merupakan perubahan ketiga regulasi serupa. Perubahan diantaranya pada pasal 34A, yang membatasi pengecualian untuk napi empat kejahatan utama. Yakni napi korupsi, terorisme, bandar narkoba, serta kejahatan pelanggaran HAM berat.
Penjejakan PP Nomor 99 tahun 2012, ternyata benar. Kerusuhan selama ini selalu dipicu oleh napi empat kejahatan yang telah dikecualikan melalui pasal 34A. Termasuk kerusuhan di rutan Mako Brimob (Selasa malam, 8 Mei 2018). Teroris yang dendam membunuh polisi dengan siksaan kejam. Bahkan media masa berkelas dunia memapar bendera ISIS di rutan Mako Brimob.
Maka diperlukan klasifikasi pembinaan dan pengamanan super ketat, sampai isolasi. Terutama pada napi terorisme dan bandar narkoba.

——— 000 ———

Rate this article!
Awas Darurat Penjara,5 / 5 ( 1votes )
Tags: