Awas, Kelaparan dan Ketahanan Pangan!

Oleh:
Hendrizal SIP MPd
Dosen PPKn FKIP Universitas Bung Hatta Padang ; Mahasiswa Program Doktor/S3 UNP

Bagi pemimpin dan cerdik pandai di Indonesia sekarang, kiranya perlu memikirkan hal ini. Bahwa ada pakar memprediksikan, pada tahun 2030 nanti akan muncul krisis pangan di Indonesia. Masalah ini mengingatkan agar kita bisa menyiasati supaya terbebas dari kelaparan atau kerawanan pangan, yang merupakan salah satu aspek kehidupan tak ternilai maknanya.
Warning itu penting kita garis-bawahi dan antisipasi. Krisis pangan artinya terjadi ketidakberesan di level produksi, distribusi dan daya beli (kesejahteraan) rakyat. Ini tentu perlu diperhatikan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit, rakyat betul-betul mengharapkan agar pangan murah dapat diakses dengan mudah sehingga beban kesulitan tak makin bertambah.
Arah krisis pangan itu memang harus diwaspadai agar jangan sampai melahirkan krisis politik. Kalau rakyat dapat makan kenyang, urusan politik biarlah ditangani elit politik, yaitu oleh para birokrat eksekutif dan legislatif serta pengamat politik di luar lingkaran pemerintahan. Tapi kalau rakyat kelaparan lantaran harga beras mahal sementara pendapatan mereka kurang, kekhawatiran atas tidak adanya kestabilan politik kian signifikan.
Itu penting dipikirkan. Apalagi bagi bangsa Indonesia, beras merupakan komoditas strategis karena hampir seluruh rakyatnya makan beras. Tapi ironisnya, nasib petani beras masih saja terpuruk. Mengingat itu, kebijakan pertanian harus diupayakan agar dapat memberikan insentif yang menguntungkan bagi petani beras, sehingga gairah menanam padi terus tumbuh dan kita menjadi tak terlalu tergantung pada impor dari luar negeri.
Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 245 juta orang. Negara kita akan mengalami instabilitas hebat kalau tak mampu memacu bidang pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya. Cadangan beras internasional tak akan cukup untuk memberi makan rakyat Indonesia.
Kita menyadari, beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia hingga kini belum tergantikan peranannya oleh pangan sumber karbohidrat lain. Walau telah ada Inpres Nomor 14/1974 yang disempurnakan menjadi Inpres Nomor 20/1979 tentang Penganekaragaman Menu Makanan Rakyat, tapi realitasnya konsumsi beras Indonesia masih bertengger pada angka 134 kg/kapita/tahun. Sementara sebagai sesama pemakan nasi, Jepang mengkonsumsi beras cuma 60 kg/kapita/tahun.
Untuk mengantisipasi krisis pangan, harus ada persepsi bahwa daerah-daerah tetap memiliki kewajiban mendukung ketersediaan beras nasional. Sementara pemerintah pusat harus memiliki grand design tentang pembangunan pertanian untuk penyediaan pangan nasional. Kepada tiap daerah perlu ditekankan pentingnya menciptakan ketahanan pangan.
Ini semua untuk merespons isu ketahanan pangan yang mulai mencuat sejak dirumuskan dalam International Congress of Nutrition di Roma, Italia (1992). Dinyatakan, ketahanan pangan rumah tangga merupakan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu supaya bisa hidup sehat dan mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Dalam kondisi krisis ekonomi ditambah gejolak harga dalam perberasan nasional, bisa jadi akan muncul ancaman ketahanan pangan serius. Setidaknya akan muncul apa yang disebut hunger paradox, yaitu suatu fenomena telah mantapnya ketahanan pangan nasional, yang dicerminkan ketersediaan kalori dan protein di atas angka kebutuhan gizi, tapi kekurangan gizi masih terjadi di mana-mana. Gejala itu mulai tampak pada masyarakat Indonesia dengan munculnya beberapa kasus busung lapar dan gizi buruk di berbagai daerah Nusantara.
Krisis pangan yang memicu kenaikan harga beras juga akan membuat masyarakat miskin kian terpuruk. Bahkan, sebetulnya yang menderita akibat krisis pangan bukan cuma golongan miskin, melainkan mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan juga akan terkena imbasnya. Jika krisis pangan terjadi, tentu akan melahirkan instabilitas politik hebat.
Kini mari kita diskusikan ketahanan pangan bangsa ini. Dr Y Baliwati (2001) telah menganalisis ketahanan pangan pada rumah tangga petani. Ditemukan, 44% petani sampel termasuk kategori miskin. Dan ternyata mereka yang mengalami rawan pangan lebih 80%.
Penting dicatat, masyarakat miskin pasti akan mengalami ketidaktahanan pangan, namun mereka yang rawan pangan belum tentu cuma dari golongan miskin. Mengapa? Sebab, batas kemiskinan di Indonesia cenderung ditetapkan dengan cut off-pint terlalu rendah, sehingga yang dikatakan rumah tangga miskin sebetulnya sudah masuk kategori amat sangat miskin dan mereka yang ada sedikit di atas garis kemiskinan sesungguhnya sudah sangat miskin.
Jika gejolak krisis pangan tak bisa diatasi segera, masyarakat miskin akan melakukan strategi coping, yakni mereka akan mengurangi frekuensi makannya dan mencari bahan pangan konvensional yang dalam keadaan normal jarang dimakan. Di beberapa kabupaten di Jawa Barat hal itu sudah tampak, yakni beberapa warga terpaksa membeli dan mengkonsumsi nasi aking (nasi sisa yang dikeringkan). Ini mau tak mau harus mereka lakukan untuk mempertahankan hidup. Sesuai teori Abraham Maslow, usaha memenuhi kebutuhan fisiologis (pangan) memang adalah yang pertama kali mesti dilakukan untuk mempertahankan hidup.
Fenomena selanjutnya anggota keluarga yang selama ini tak mencari nafkah (anak-anak, orang tua, dan perempuan) mulai terjun bekerja apa saja untuk memperoleh upah tunai. Kalau ini masih tak memecahkan persoalan, mereka mulai menjual aset yang dipunyai. Dan langkah terakhir mereka adalah migrasi mencari nafkah ke luar daerah. Ini juga mulai tampak memfenomenal di berbagai daerah Nusantara.
Itu penting direnungkan dan selanjutnya dicarikan solusi demi terciptanya ketahanan pangan. Perlu dicatat, di era otonomi daerah ini, pembangunan pertanian perlu menggeser paradigma dari pembangunan yang bersifat non resource based menjadi resource based. Indonesia merupakan negara agraris, karenanya resources agraris harus dimaksimalkan pemanfaatannya. Daerah perlu dipacu menghasilkan komoditas pertanian yang bersifat site spesific dan laku di pasar. Daerah-daerah penghasil beras penting dipertahankan. Sementara konversi lahan pertanian subur untuk kepentingan industri dan perumahan harus dihindari.
Selama ini pembangunan pangan di daerah cenderung mendasarkan diri pada sistem target. Kepala daerah merasa bangga kalau produksi pangan memenuhi target yang ditetapkan pemerintah pusat, walaupun petaninya tetap hidup melarat. Kini, idealnya, kesuksesan memenuhi target tidak lagi menjadi indikator kesuksesan kepemimpinan daerah. Apalagi arah krisis pangan yang mulai tampak sekarang dapat menjadi indikator ketidaksuksesan pembangunan pangan tadi.
Itu penting direnungkan. Apalagi mengingat, tercukupinya kebutuhan pangan bagi semua warga merupakan wujud penerapan hak asasi manusia di bidang pangan. Tapi untuk mencukupi kebutuhan pangan itu jangan dilakukan dengan mengorbankan petani lewat kebijakan pertanian yang diskriminatif dan disinsentif. Petani harus tetap punya posisi tawar yang baik sehingga pendapatannya bisa memenuhi syarat untuk hidup yang layak.

                                                         ——- *** ——–

Rate this article!
Tags: