Awas Prostitusi Tak Terkontrol di Kota Surabaya

(Rencana penutupan Lokalisasi Dolly)
Surabaya,Bhirawa
Rencana penutupuan lokalisasi Dolly disebut akan menimbulkan masalah lain yang lebih parah, penyebaran prostitusi tak terkontrol. Sosiolog Unair, Bagong Suyanto memperingatkan Pemkot Surabaya akan potensi berbagai masalah social pasca penutupan lokalisasi Dolly.
Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto mengatakan, Pemkot cenderung memandang mudah dalam menutup Dolly. Pemkot menganggap bahwa, ketika Pekerja Seks Komersial dan mucikari diberi uang saku, maka masalah bisa selesai. Sebaliknya, masalah timbul ketika masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari menggeliatkan ekonomi di Dolly, tidak lagi mendapat penghasilan.
“Malah yang nanti dikhawatirkan, ketika Dolly ditutup, wisma-wisma yang ada disana (Dolly) akan tetap berpraktik seperti biasa. Tentunya, ini akan sulit bisa dikontrol oleh pemerintah,” ujarnya.
Penulis buku ‘Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modern’ ini menjelaskan, Pemkot sejauh ini tidak memiliki kebijakan lanjutan setelah Dolly ditutup. Padahal lokalisasi peninggalan seorang noni Belanda, Dolly Van Der Mart ini telah menghidupi banyak orang.
Kemudian, lanjut Bagong,kalaupun nanti PSK dipulangkan, belum tentu wanita penghibur ini kembali ke rumahnya. Sebab, wanita menjadi PSK itu bisa jadi karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sehingga, tidak mungkin si wanita ini akan kembali berkumpul dengan suaminya.
“Saya tidak setuju dengan penutupan, itu akan menimbulkan masalah baru. Menutup itu mudah, tapi pasca penutupan itu bagaimana langkah pemkot,” katanya dengan sedikit bertanya.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unair ini meminta, dalam penutupan Dolly ini, Pemkot lebih mengedepankan pendekatan personal. PSK terjebak dalam ‘lembah hitam’ ini disebabkan masalah yang berbeda-beda.
Sehingga, penanganannya juga harus berbeda-beda pula. Pemkot bisa menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau konselor untuk mendampingi para PSK.
“Yang harus diselamatkan pertama itu harus PSK-PSK yang di bawah umur. Sebab, ini tentu pelanggaran pidana. Baru kemudian bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan keamanan PSK. Misalnya, bagaimana PSK ini tidak semakin sengsara atau dipermainkan oleh mucikari,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Timur (Jatim) Muhammad Junaidi dengan tegas menolak penutupan lokalisasi Dolly. Jika pada 19 Juni nanti benar-benar ditutup, maka para PSK yang selama ini menghuni wisma-wisma akan bertebaran di pinggir jalan lantaran sudah tidak ada tempat lagi.
Akibatnya, bahaya virus HIV/AIDs akan suklit dikontrol. Menurut dia, masalah Dolly bukan hanya pengalihan skill profesi semata, melainkan persoalan mengubah mindset berpikir.
“Bagaimana seorang PSK dalam semalam bisa menghasilkan uang hingga ratusan ribu rupiah. Sementara pemkot hanya membekali skill ketrampilan seperti menjahit. Mencari uang satu juta hanya dari menjahit akan susah. Mereka pasti akan kembali menjalani profesinya sebagai PSK lagi,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) yang juga  aktivis perempuan PMII Jatim, Nuri, menyoroti tentang kekhawatiran timbulnya dampak pasca penutupan Dolly.
“Penutupan Dolly merupakan rencana yang kurang tepat untuk mengatasi kemaksiatan di kota Surabaya. Justru akan ada masalah baru bagi warga kota, Jika para PSK ini kemudian berpraktek di jalan jalan, penyebaran penyakit yang tidak terkendali. Sebab selama mereka menghuni Dolly, pemantauan kesehatan terhadap para. PSK dilakukan secara rutin dan terdata oleh petugas kesehatan maupun LSM yang mendampinginya,” terangnya. [gat]

Tags: