Ayah yang Tak Biasa

foto ilustrasi

Oleh:
Tyas Wulan

Jangan pernah mengabaikan keadaan orang tua bagaimanapun kondisinya. Sebab mereka tak pernah mengabaikanmu sejak kau belum mengenal dunia. Aku dan kedua kakakku sepakat hal itu. Tak elak kami selalu membela kepentingan orang tua. Ayah terutama, sebab ibu kami lebih banyak mengalah. Namun, tidak untuk kali ini. Ayah terlalu berlebihan. Ia seperti ditutupi ambisi. Entah apa yang membuatnya demikian. Mungkin karena besannya orang kaya sehingga ia ingin menyamai kedudukannya.

Mertuaku seorang pegawai negeri, mertua Kak Nurdin menjadi manager di perusahaan milik negara, sedangkan mertua Kak Ali bekerja di perusahaan swasta. Ini bisa dibilang keberuntungan. Kami bertiga menikah dengan gadis-gadis yang salihah. Meski mereka berasal dari keluarga berada, istri kami tidak neko-neko. Kebetulan kami meminangnya lantaran mereka adalah teman sekampus. Tak banyak yang mereka pertimbangkan. Mungkin dari segi agama, kami cukup tekun. Dan dari segi materi, kami telah mampu menafkahi. Begitulah jodoh.

Sejak aku menikah, ayah berubah. Omongannya lebih menyindir. Lebih mudah emosi. Dan nampak lebih egois. Berbeda dengan ayah yang dulu rela bersakit-sakit demi membesarkan ketiga putranya. Aku sangat kenal ayahku.

Selama ini memang aku yang lebih dekat dengan ayah. Apapun kebutuhanku sejak kecil selalu diutamakan oleh ayah ketimbang kebutuhan kedua kakakku. Pun sebaliknya, semua keinginan ayah tak pernah kulewatkan setelah aku sukses bekerja. Mulai dari uang bulanan, renovasi rumah, sampai membeli motor untuk jualan cilok. Ya, ayah kebanggaanku adalah penjual cilok keliling. Dan dari ketekunannya, ia berhasil membuat anak-anaknya meraih beasiswa hingga mapan bekerja. Sebab itulah, ayah naik pitam setelah sejak kecil kami diasuh potang-panting, giliran kami sukses menjadi bos kantoran lantas sekarang tidak mengindahkan keinginan ayah. Sungguh, bukan itu maksudku.

Aku dan kakakku sepakat agar ayah tidak lagi berjualan cilok. Kami ingin ayah rihat di rumah menikmati masa tuanya bersama ibu. Kami ingin melihat ayah dan ibu bahagia. Sudah cukup mereka bercucuran keringat membakar tungku di pagi buta demi mengukus cilok lalu menjajakan di pojok-pojok keramaian dengan memantik sendok di atas mangkok. Jika penat melanda, ayah tertidur. Bersandar di dinding kayu rumah kami. Kakinya menjulur ke depan, tangan kanan-kirinya memegang sebilah caping dan serbet. Kutanyakan padamu, adakah hati yang tak teriris melihat pemandangan seperti itu?

Kuulur kembali kenangan bersama ayah. Ayah yang supersibuk itu selalu meluangkan waktu untuk mengajakku jalan-jalan sepekan sekali di pasar malam. Bukan untuk menjual cilok, tapi sekedar mengisi waktu keluarga. Makan gula kapas sambil menunggu waktu salat, lalu ke Masjid Akbar untuk berjemaah. Kenangan masa kecil yang tak pernah kulupa, ketika aku meronta ingin memiliki mainan mobil-mobilan berenergi baterai yang dijual di sana. Aku sangat ingin memainkannya seperti teman-temanku. Padahal aku tahu, ayah tak punya uang untuk membelinya. Lantas, dia menggendongku dengan napas tersengal dan mengatakan bahwa suatu hari nanti aku dapat membeli mobil sendiri jika aku jadi anak pintar di sekolah. Kalimat ayah yang teduh itu rupanya mengetuk pintu langit. Sekarang, sebuah mobil matic berwarna putih mendekam di garasiku.

Namun, ayah yang bijaksana itu kini menjadi tak biasa. Entah apa yang membuatnya demikian. Seperti yang kukatakan. Mungkin karena besannya orang kaya sehingga ia ingin menyamai kedudukannya. Kali ini keinginan ayah melebihi kapasitasku. Persis masa kecilku. Ayah ingin mobil. Sementara aku dan kakakku baru saja lunas mengkredit. Ayah bilang, pakdheku bisa menyetir, mengapa adiknya kalah? Jadi, diam-diam ayah kursus mengemudi lalu membuat SIM A.

Tentu saja pakdhe dan ayah berbeda. Sejak muda pakdhe seorang sopir, sementara ayah pedagang. Pakdhe lihai menyetir meski sekarang sudah berusia lebih dari setengah abad. Sedangkan ayahku, baru belajar diusianya yang senja. Rambut ayah sudah memutih. Bahunya yang dulu kekar, kini kurus dan sedikit membungkuk. Bisa dibayangkan bukan kekuatan kakinya ketika menggas atau menginjak rem? Ini yang aku khawatirkan. Apalagi jarak pandangnya yang tak setajam dulu malah membuat jantung berdebar ketika mengendalikan arah.

“Meneng wae di rumah gitu, Yah, tidak usah aneh-aneh, ingat umur!” tegasku di ponsel dengan ketus. Bukan yang pertama aku beradu mulut dengan ayah hanya karena aku dianggap tidak lagi peduli kepadanya.

“Jangan terlalu keras menasihati ayah, Bur!” tutur Kak Nurdin di suatu kesempatan pertemuan tiga bersaudara.

“Bukannya sampeyan bicara baik-baik, oleh ayah malah tidak digubris?” Aku emosi. Sementara Kak Ali hanya bisa menghela napas dalam.

Sesekali anak juga boleh mengingatkan orang tuanya. Bukan untuk menasihati, tapi mengarahkan. Ini semua demi kebaikannya. Akan salah jika anak membiarkan orang tuanya melenceng. Itu justru lebih tidak peduli.

Tapi ayah keras kepala. Kata ibu, ayah hendak bertransaksi mobil sendiri tanpa merepotkan anaknya. Tetangga sebelah rumah menawarkan mobil carry bekas dengan harga murah. Pas sekali dengan tabungan ayah.

“Mobil ini murah, Kang, bodynya mulus dan mesinnya kuat. Saya hanya ambil untung dikit yang penting laku. Maklum, saya butuh uang,” kata Kang Paimo.

Ayah senyum semringah, seolah mendapat keberuntungan.

“Yah, Ayah, apa tidak lebih baik uangnya ditabung dulu untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat.” Aku mencoba menegur ayah lebih tenang di ponsel.

“Ini sudah bermanfaat, Bur. Ayah membantu keuangan Kang Paimo. Dia butuh biaya untuk renovasi rumah.”

Ayah? Kata itu kuulangi dalam hati untuk mengendalikan amarahku.

“Pokoknya Ayah akan membelinya sendiri. Kalau nanti butuh uang, Ayah bisa menjualnya lagi, tidak masalah,” pungkasnya menutup ponsel.

Badai itu bergemuruh lagi. Tentang ayah yang tidak kumengerti keinginannya. Mungkin ayah hanya ingin bersenang-senang dengan mobil barunya. Atau mungkin sekedar ingin memiliki serupa dengan apa yang dimiliki anak-anaknya. Atau bisa jadi ayah tidak ingin ketinggalan dengan besannya. Aku semakin tak punya alasan untuk mengarahkan ayah kembali. Tubuhku lemas terhuyung di bangku dekat taman menunggu kedatangan kakakku. Berharap kutemukan titik terang untuk menghadapi ayah.

“Burhan, kita hanya harus bersabar untuk merawat ayah. Dia butuh kasih sayang, ayah butuh perlakuan ikhlas dari anaknya.” Kak Nurdin memahamkan.

“Kita hanya perlu memantau saja. Bukankah merawat orang tua lanjut usia seperti kita merawat anak-anak kita yang masih balita? Semakin berat dijalani, semakin besar pula pahala yang ditawarkan.” Kak Ali menimpali.

“Tidakkah kau ingat janjimu untuk patuh kepada ayah?” Kak Nurdin mengingatkan.

Aku mencoba memikirkan kata-kata kakakku. Dengan berat hati, kuputuskan untuk mengalah demi ayah. Ayah bagiku adalah pahlawanku. Kasih sayangnya, jerih payahnya, perjuangannya untukku tak akan pernah terbayar oleh apapun. Bagaimanapun, ayah pernah mendapatkan perlakuan yang sama sepertiku. Berada dipilihan sulit ketika aku memaksa mengendarai motor di usiaku yang belum genap tujuh belas tahun. Teman-temanku bersorak atas keberanianku. Dan saat itulah rasa percaya diriku tumbuh sebagai seorang remaja lelaki. Dengan penuh angkuh, aku mengitari lapangan bola seluas tribun olahraga yang berhimpitan dengan kuburan di desaku. Motor berbunyi rong-rongan harimau itu kugas sekencang angin hingga melesat tanpa kendali. Di tengah aksiku, ban motor tiba-tiba terselip pada tanah basah bekas hujan. Aku terpental sedangkan motor terpelanting membentur pohon jati. Sejak saat itu aku bertekad untuk tidak lagi melanggar kata-kata ayah.

Ahad pagi, berbekal mobil carry yang akan dibeli, ayah melarikan mobilnya di batas kampung. Warga yang melihatnya langsung heboh. Sebagian ada yang terkekeh melihat gaya ayah yang seperti orang kaya. Sebagian lagi ketakutan dan berteriak “minggir” karena ayah menyetir dengan oleng. Mobil itu terombang-ambing lalu direm mendadak sehingga terasa jedal-jedul. Menurut warga, ayah lebih baik tidak usah menyetir. Mereka mengkhawatirkan kondisinya. Bahkan untuk memarkir mobil saja belum benar, posisi roda berputar kekanan dan kekiri.

Aku menarik napas panjang setelah mendengar kabar tak sedap. Mencoba menghempaskan kepanikan yang bersemayam dalam diri. Menormalkan lutut yang gemetaran lantas mencari energi yang kuharap masih ada untuk membuang kekesalanku yang tertahan. Langkahku berlari cepat ke arah rumah dan melewati kerumunan orang yang menunggu kedatanganku.

“Ayah!” Emosiku meledakkan tangis. Aku mengintip ke kamar ayah. Melihatnya pulas dengan balutan perban di pelipisnya.

“Ayahmu terluka setelah membuka pintu mobil, disrempet truk karena parkirnya kurang menepi,” jelas ibu.

Tatapan kecewaku pada ayah berubah iba. Aku duduk di samping ranjang ayah dan mencium tangannya. Aku takut kehilangannya. Sangat takut. Bagaimanapun ayah tulus mencintaiku, aku pun demikian. Sebenarnya kami tak harus marah, hanya perlu saling pengertian.

“Mobilnya aman, Bur, jadi tidak perlu ganti rugi.” Suara ibu terdengar parau. “Pemiliknya juga bilang tidak jadi menjual mobilnya pada ayahmu,” pungkasnya.

Rasa lega menjalar tubuhku. Ayah pasti bisa mengambil hikmah dari peristiwa yang dialami. Aku mendekati ayah perlahan. Khawatir mengganggu tidurnya. Lalu memijit betisnya yang mengurus. Wajah ayah pun begitu, nampak lebih tirus. Guratan keriput berbicara seolah beban ayah berat untuk dilalui. Ayah lantas memalingkan kepalanya ke sisi tembok. Dalam keterjagaannya ia menggigau, aku tidak rela mati sebelum menyetir mobilku sendiri.

Mulutku terkatup rapat ketika adegan yang terdengar di telingaku tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ayah belum takluk.[]

Tentang penulis:
Tyas Wulan, alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Pegiat FLP (Forum Lingkar Pena) Sidoarjo.

——— *** ———-

Rate this article!
Ayah yang Tak Biasa,5 / 5 ( 1votes )
Tags: