B to B Malapetaka Kedua Pengusaha Korban Lumpur

foto ilustrasi

Sidoarjo, Bhirawa
Nasib pengusaha korban Lumpur Lapindo kian tak jelas setelah pemerintah melimpahkan penanganan B to B atau ganti rugi kepada PT Minarak Lapindo Jaya (PT MLJ). Pengusaha skeptis tuntutan ganti ruginya terkabulkan saat berhadapan dengan PT MLJ.
Mengembalikan ganti rugi dengan B to B, bagi pengusaha seolah menjadi bencana kedua, karena sudah lama kedua belah pihak sudah muncul ketidakpercayaan. Keduabelah pihak memiliki argumentasi yang sulit dipadukan. Pengusaha tadinya sudah plong ketika pemerintah akan menalangi ganti rugi, tetapi dalam taklangan ini akhirnya terlihat pengusaha tak mendapat ganti rugi. Untuk menyelesaikan kemelut kini pengusaha lebih memilih jalur hukum.
Terlebih pemerintah telah membubarkan BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) pada 2 maret 2017 dan selanjutnya penanganan Lumpur Lapindo diambil alih Kementerian PUPR dengan membentuk PPLS (Pusat Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) yang dalam strukturnya di bawah Dirjen Sumber Daya Air. Pemerintah sudah memberikan dana talangan Rp718 miliar untuk warga korban, namun sayangnya ganti rugi tanah (pabrik) pengusaha yang mencapai Rp500 miliar lebih tidak masuk dalam dana talangan.
Pemerintah menyerahkan ganti rugi pengusaha dengan skema B to B kepada PT MLJ. Artinya akan menemukan jalan terjal karena sudah kerap kali PT MLJ dengan pengusaha selalu tidak sepakat dalam banyak hal, diantaranya penetapan harga, ada yang meminta dibayar 70% dari seluruh ganti rugi karena PT MLJ sebelumnya sudah membayar 100%. Dan masih macam-macam lagi. Bertahun-tahun persoalan
PT MLJ dengan pengusaha untuk mencari jalan damai sulit tercapai, bahkan sampai ditengahi Pansus DPRD tentang Lumpur Lapindo.
Ketua Pansus DPRD, HM Mahmud, ditemui Rabu (3/5), menyelesaikan ganti rugi tanah milik pengusaha ini pelik, karena pengusaha tak ada satu suara dalam menyikapi ganti rugi. ”Pansus akan mengundang GPKLL (Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo), untuk meminta penegasan soal kesepakatan ganti rugi,” tandasnya.
Pansus akan menemui Menteri PUPR untuk membicarakan masalah ganti rugi pengusaha serta tanah wakaf dan 84 warga yang belum dibayar. Namun satu syarat yang diminta Pansus, agar pengusaha harus menyepakati dulu besaran ganti rugi. ”Jangan membawa SKIM ganti rugi sendiri-sendiri, kalau pengusaha bersikeras membawa agenda sendiri pasti kandas,” kata anggota Fraksi PAN ini.
Setelah 11 tahun bencana Lumpur Lapindo, sejauh ini masih ada 84 korban di peta terdampak yang belum dibayar dan pengusaha yang mendiami peta terdampak baru dibayar 30% di awal tahun, tanah wakaf masjid, mushola, langgar dan Fasum dan Fasos luapan lumpur. Anggota Pansus DPRD, Khoirul Huda, menyebut problematik cukup banyak.
Untuk 84 warga yang tanahnya di peta terdampak seharusnya sudah selesai. Tapi warga dengan PT MLJ berbeda pendapat status tanah itu. PT MLJ menganggap tanah 84 orang ini tanah sawah yang harganya Rp120 ribu per meter. Sementara warga menganggap tanahnya itu darat (padat) yang mintai dihargai Rp1 juta per meter.
Perbedaan pandangan ini tidak ketemu, sampai akhirnya dicarikan jalan tengah dengan membelah harga menjadi Rp560 ribu per meter. Sanpai di titik ini tidak ada deal.
Akhirnya menjadi mentah hingga sekarang. Andaikan dulu warga sepakat dengan harga itu, pasti sudah tuntas proses pembayaran 84 warga ini. Bagaimana dengan pengusaha? Huda menyebut lebih rumit lagi, pengusaha terbagi menjadi 3 kelompok.
Kelompok pertama meminta siap dibayar sisanya 70% (karena yang 30% sudah dibayar MLJ), kelompok kedua menghendaki minta dibayar 100% dengan melupakan 30% yang sudah dibayar, kelompok ketiga meminta harga tanahnya disamakan dengan warga yakni Rp1 juta. Sementara PT MLJ menyebut harga tanah milik pengusaha dihargai Rp300 ribu. Konsep ini ditolak pengusaha. PT MLJ sendiri mengaku tidak mau rugi sendiri. Kalau rugi sama-sama rugi, tetapi kalau untung harus sama-sama untung.
Ditambahkan Mahmud, yang terpenting PPLS memperhatikan hak korban lumpur. Mudah-mudahan ke depan masalah itu cepat selesai. Sebelumnya pemerintah membubarkan BPLS dengan pertimbangan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan. Pemerintah memberikan waktu pengalihan paling lama satu tahun sejak tanggal diundangkan Perpres ini.
Berdasar Perpers Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS yang diteken mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak berlaku. BPLS dibentuk untuk meningkatkan upaya penanganan dengan memperhitungkan risiko lingkungan yang terkecil dari musibah lumpur Lapindo.
Hingga kini masih 213 berkas warga dan Fasum/Fasos yang berlokasi di 66 rukun tetangga di luar area peta terdampak (PAT) Lumpur Lapindo. Ada pula 84 berkas korban yang berada di dalam PAT belum dibayar.
Sementara PPLS yang baru dibentuk memiliki tugas yang tidak beda dengan BPLS, selain membayar ganti rugi, lembaga baru ini akan menata kawasan yang terkena luapan lumpur agar bisa dikembangkan. PPLS tak akan membiarkan terus seperti itu. Nantinya akan dilakukan pengendalian.
Koordinator Korban Lumpur Lapindo, Abdul Fatah menilai BPLS kurang serius menilai penyelesaian masalah ganti rugi. Pihaknya sering diundang pertemuan BPLS untuk membahas pelunasan ganti rugi, tapi tak kunjung ada realisasi. Padahal berkas sudah divalidasi. Masih ada 150 an warga korban yang belum mendapat ganti rugi. Dari jumlah itu 84 berkasd belum mendapat pelunasan, 30 berkas belum mendapat ganti rugi sepeserpun dan sisanya tidak jelas. [hds]

Tags: