Bagaimana Seharusnya Sekolah Penggerak?

Oleh :
Yogyantoro
Pendamping pada Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 3.

Sekolah adalah institusi yang seharusnya tidak hanya menjadi subjek yaitu pelaku yang berperan proaktif mengambil peranan dalam transformasi pendidikan tetapi juga objek (target) dari orang tua murid atau masyarakat untuk mempercayakan pendidikan bagi anak-anaknya. Sekolah dengan segala komponennya dapat menggerakkan murid dalam kegiatan belajar sekaligus sekolah itu sendiri harus ikut belajar juga. Sekolah penggerak memiliki kapasitas bermetamorfosa membentuk konsep dalam keorganisasian yang menjalankan paradigma sebagai organisasi pembelajar atau learning organization.

Sekolah penggerak adalah miniatur masyarakat masa depan. Perubahan yang sistemik di sekolah dimulai dari penguatan pemikiran dari kepala sekolah,guru dan staf untuk memilki budaya belajar sepanjang hayat (life-long learning). Lebih-lebih kepala sekolah penggerak dan guru penggerak memiliki peran sentral dalam membangun platform perubahan menuju merdeka belajar di sekolah. Kepemimpinan yang efektif di sekolah penggerak adalah ujung tombak dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Sekolah penggerak sebagai learning organization memfasilitasi dan memberikan ruang seluas-luasnya berbagai pemangku kepentingan secara sinergis dan koordinatif membentuk kemitraan dengan prinsip gotong-royong dan kolaborasi.

Jejaring perlu dibangun secara berkelanjutan oleh sekolah penggerak dengan berbagai komunitas pendidikan maupun non-pendidikan, pemangku kepentingan dan sumber daya. Oleh karena itu sangat penting bagi sekolah penggerak menciptakan dan menjaga citra baik organisasinya kepada masyarakat (publik). Pembangunan reputasi baik di suatu sekolah akan meningkatkan citra sekolah di mata masyarakat. Salah satunya adalah dengan memberdayakan peran humas. Humas adalah tulang punggung sekolah dan akan menjadi wajah dari organisasi itu sendiri. Keberadaan humas di sekolah penggerak dapat menetralisasi dan menjembatani apabila terjadi kesalahpahaman antara orang tua wali murid atau masyarakat terhadap kegiatan atau inisiatif yang dilakukan pihak sekolah. Maka dari itu, humas harus memiliki hubungan yang harmonis dan akrab dengan orang tua atau komite sekolah bahkan dengan aparat hukum di lingkungan sekolah. Mitra potensial sekolah lain adalah alumni, lembaga atau komunitas, dan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

Sekolah penggerak adalah salah satu bentuk sekolah unggul yang bisa mengedukasi masyarakat dengan memperkenalkan keunggulan dan kelebihan organisasinya melalui strategi komunikasi publik, pengelolaan media sosial sekolah, sarana marketing yang handal dan penciptaan hubungan yang baik dengan media (awak media). Hal ini mengingat tidak semua sekolah memiliki kemampuan keuangan atau pendanaan yang cukup untuk mengiklankan visi atau misi serta program-program unggulan sekolah. Sekolah penggerak yang dicirikan dengan kepemilikan program-program unggulan, praktik-praktik baik, inovasi, “icon” khusus, atau brand identity membuat sekolah penggerak seharusnya menjadi lebih menonjol, mudah dikenal, diingat dan dijadikan pembanding bagi sekolah-sekolah lainnya. Sekolah penggerak tertentu mungkin memiliki keunggulan dalam bidang seni atau olah raga dengan siswa-siswanya yang meraih sejumlah penghargaan dan prestasi atau sekolah penggerak yang lain lulusannnya banyak yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bahkan diterima di perguruan-perguruan tinggi terkenal.

Brand identity atau school branding yang dibangun sekolah penggerak merepresentasikan produk dari sekolah tersebut. Kepala sekolah dan guru adalah penggerak sekolah. Penggalian ide-ide atau gagasan baru sebagai bentuk inovasi berkelanjutan mereka akan mengerucut pada pelayanan terhadap peserta didik (student-center oriented). Sekolah penggerak peka terhadap kompetensi pasar yang perlu dieksplorasi sehingga menjadi nilai tambah pada produk layanan yang dihasilkan. Nilai tambah (value proposition) suatu sekolah tentu dapat menjadi alasan atau target orang tua menyekolahkan anak-anak mereka dan dengan adanya sistem zonasi, sekolah harus menerima peserta didik dari wilayah yang diampunya bahkan dalam radius dua ratus meter dari sekolah.

Kepala sekolah sebagai manajer memiliki tanggung jawab mengembangkan sekolah penggerak yang dipimpinnya melalui school branding. Kepala sekolah tidak boleh berpikir biasa-biasa saja (ordinary thinking) tetapi dituntut menuangkan pemikiran dan ide-ide dalam konteks kreatif. Contonya beberapa sekolah di Banjarmasin atau Palangkaraya menyulap rawa-rawa menjadi kolam ikan untuk mengajarkan aspek-aspek prakarya seperti budidaya, kerajinan, rekayasa dan pengolahan dan menjadikannya sebagai program unggulan yang dikenal masyarakat. SMPN 38 Medan menciptakan school branding dengan menampilkan slogan “Character Building Everyday” dengan produk sekolah seperti 7S (Senyum,Sapa,Salam, Sopan, Santun, Semangat, dan Sepenuh Hati) dan Gerakan Pungut Sampah (GPS). Sedangkan SMPN 3 Malang mengangkat semboyan “Bina Taruna Adiloka” yang artinya menempa generasi muda untuk menjadi manusia-manusia terbaik. Semboyan tersebut lalu diterjemahkan dalam visi sekolah yaitu Unggul dalam IPTEK, Terampil dan Mandiri berdasarkan IMTAQlalu diimplementasikan melalui empat inisiatif yang menjadi program sekolah di SMPN 3 Malang diantaranya Bank Sampah Sekolah, Klinik Sampah Dokter Gamal, Orang Tua Berbagi Keahlian, dan Pemberdayaan Alumni Sekolah.

Kepemimpinan kepala sekolah penggerak di sekolah penggerak dapat diwujudkan melalui kepemimpinan yang dicirikan dengan kemampuan mendefinisikan visi untuk sekolah, menyusun rencana yang bersifat inklusif,membangun hubungan kerja atas dasar kepercayaan (trust) dan menjadi model yang bisa beradaptasi dan bergerak dinamis (New Leaders, 2011: Listening to North Carolina’s Educators, 2013). Sekolah penggerak tidak fokus pada hambatan melainkan fokus pada inkuiri apresiatif yaitu strategi perubahan kolaboratif yang berbasis kekuatan, pembangunan jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan dan pengembangan keterampilan untuk mengelola hubungan dan komunikasi dengan berbagai pihak secara efektif. Pengelolaan atau manajemen sekolah penggerak mengusung konsep dua dimensi utama yaitu korporasi kewirausahaan dan inovatif organisasi. Sekolah penggerak tidak hanya bergantung pada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetapi harus memiliki program penggalangan dana untuk mendapatkan sumber-sumber dana lain.

Banyak sekolah yang masih memiliki sarana prasarana yang minim dan hal ini tentu berdampak pada kualitas proses pembelajaran. Sekolah-sekolah tersebut masih belum memenuhi 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana yang terungkap dalam Rapor Mutu Penjaminan Mutu Pendidikan. Kebanyakan kepala sekolah berpikir bahwa untuk memperbaiki ruang kelas atau kebutuhan fasilitas belajar harus menunggu alokasi BOS dan anggaran yang bersal dari Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD). Namun bagi sekolah penggerak tidak perlu menunggu terpenuhinya 8 SNP termasuk standar sarana dan prasarana untuk mencapai mutu sekolah. Hal ini karena penulis yakin bahwa kepala sekolah di sekolah penggerak adalah manusia kreatif yang dapat berperan sebagai activator, browser, creator, executor, financer (fasilitator) atau disingkat ABCDEF (Hendarman, 2015).

———– *** ————-

Tags: