“Bahan Dapur” Naik

Karikatur Ilustrasi

Hujan deras telah sering mengguyur seiring ke-ekstrem-an cuaca. Menyebabkan banjir menggenangi jalan, permukiman, sampai ladang aneka tanaman. Dampak musim mulai menunjukkan tren makin meluas. Tak terkecuali melanda sentra tanaman pangan. Ketidak-mampuan lingkungan menghadapi hujan, telah menimbulkan multiplier-effect. Tak lama, niscaya akan menghambat mobilitas perekonomian seluruh sektor.
Inflasi biasa merambat naik, dipicu harga bahan “kebutuhan dapur,” konsumsi harian keluarga. Terutama ikan, sayur, telur dan bumbu-bumbuan, mulai melonjak. Ironisnya, harga komdoitas pangan yang naik, dan ke-gagal-an panen biasanya akan “digoreng” menjadi isu strategis. Maka kenaikan patut dikendalikan, agar tidak berlanjut ke-parah-an. Bahkan harga cabai pernah menjadi perhatian utama rapat terbatas di istana negara.
Kenaikan harga “bahan dapur” telah melonjak antara 50% hingga 80%. Terutama cabai, bawang merah, bawang putih, dan tomat. Selain disebabkan kebutuhan meningkat, juga disebabkan musim. Karena seluruh jenis bawang-bawangan, dan cabai rentan terhadap guyuran hujan. Pembusukan lebih cepat juga terjadi pada seluruh jenis sayur, dan buah-buahan (termasuk tomat). Tetes air hujan yang menembus kulit buah menyebabkan fermentasi lebih cepat, berakibat pembusukan.
Masa petik di kebun sayur, dan buah-buahan juga tidak akan menggembirakan. Sayur dan aneka tanaman bumbu: cabe, bawang merah, tomat, sawi, brokoli, semuanya sangat rentan terhadap guyuran hujan. Padahal puncak musim hujan baru berjalan sebulan. BMKG ((Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) me-warning, bahwa cuaca ekstrem masih akan berlanjut sampai Pebruari, dan Maret.
Kenaikan harga kebutuhan dapur, “dipimpin” oleh melonjaknya harga cabai. Di pasar induk Kramatjati (Jakarta), harga cabai rawit merah (bertepatan hari libur Imlek) sudah mencapai Rp 85 ribu per-kilogram, biasanya Rp 25 ribu. Harga cabai merah menjadi Rp 80 ribu per-kilogram. Sedangkan di pasar induk Tuban (Jawa Timur) harga cabai merah mencapai Rp 65 ribu per-kilogram. Padahal Tuban, merupakan sentra cabai, penyangga stok cabai nasional.
Bahan dapur yang lain juga naik, antara lain minyak goreng. Disebabkan harga bahan, kelapa sawit, (CPO, Crude Palm Oil) naik pesat. Di tengah “embargo” kelapa sawit Uni Eropa, harga kelapa sawit dalam negeri malah naik. Nampaknya, pemerintah sukses melaksanakan program “hilirisasi” kelapa sawit untuk bahan bakar biodiesel, B-20, dan B-30. Harga sawit melonjak menjadi US$ 600,- per-ton, padahal harga internasional masih US$ 55,-.
Melonjaknya harga bahan baku minyak goreng, juga disebabkan butuh proses tambahan akibat cuaca. Yakni proses fatty acid, pemutihan minyak sawit agar tidak kehilangan senyawa bioaktif yang bermanfaat untuk kesehatan. Kenaikan bahan baku karena dampak cuaca, wajib dipantau pemerintah. Manakala cuaca telah normal, harga minyak goreng seharusnya turun menjadi normal. Pemerintah mem-pagu HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak goreng sebesar Rp 11 ribu per-liter dalam kemasan.
Selain minyak goreng, harga gula juga naik. HET gula seharga Rp 12.500,- per-kilogram, saat ini menjadi Rp 13.500,-. Bulog mulai menggelar operasi pasar, antara lain, di Sidoarjo, dijual seharga Rp 11.500,- per-kilogram. Namun kenaikan harga gula lebih disebabkan siklus tanam. Puncak musim hujan (bulan Januari) menjadi periode musim tanam. Panen dilakukan sekitar bulan Juli, dan mulai musim giling pada bulan Agustus.
Pemerintah (dan daerah) perlu kerap menggelar operasi pasar, sebagai cara mengendalikan ke-liar-an kenaikan harga “bahan dapur.” Kerjasama juga harus didukung pedagang pasar, serta pedagang besar. Pedagang tidak perlu berspekulasi menaikkan harga. Berdasar pengalaman, spekulasi menaikkan harga pangan berakibat mengurangi niat beli masyarakat. Omzet merosot .
——— 000 ———

Rate this article!
“Bahan Dapur” Naik,5 / 5 ( 1votes )
Tags: