Bahasa dan Nasib Tenaga Kerja Kita

Qaafyan MardinOleh :
Qaafyan Mardin
Pengajar LC Universitas Muhammadiyah Malang

Kebijakan memberlakukan aturan tenaga kerja asing harus berbahasa Indonesia yang digadang – gadang awal 2015 oleh Kementerian Tenaga Kerja rupanya hanya sebatas mimpi saja. Terbukti, lewat Permenaker No 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA, pemerintah sendiri kemudian menghapus syarat berbahasa Indonesia bagi TKA yang ingin bekerja di Indonesia.
Padahal penyusunan materi uji kemampuan bahasa Indonesia juga telah disiapkan dengan menunjuk Binapenta dan menggandeng Lembaga Pengembangan Bahasa UI. Namun, presiden membatalkan persyaratan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing di Indonesia. Untung, Kemenaker masih melakukan upaya dengan menyiapkan SK agar TKA menjalani pelatihan bahasa Indonesia saat tiba di sini (Indonesia).
Pembebasan berbahasa Indonesia
Pernyataan Ketua Serikat Pekerja Nasional Iwan Kusmawan sekiranya patut menjadi cerminan. Menurut Iwan, kalau tenaga kerja Indonesia yang ingin berangkat ke Taiwan diwajibkan belajar bahasa setempat, kenapa tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia malah dibebaskan? Bagi dia, alasan untuk mempermudah investor tak masuk akal.
Globalisasi memang membuat batas negara nyaris hilang. Perkembangan teknologi semakin pesat untuk mendukung gerak polah manusia lintas perbatasan negara. Berbagai perjanjian perdagangan bebas, ekonomi, pendidikan, budaya, semua dapat melintas dari satu negara ke negara lain dengan gampang dan Indonesia memang pasar yang menarik di era globalisasi tersebut. Banyak korporasi asing yang melirik negara ini. Artinya, akan banyak sekali orang asing yang terus berdatangan ke Indonesia. Tidak ada masalah dengan itu.
Namun, jika mereka akan datang, berinvestasi dan mencari ”untung” dari bangsa ini, setidaknya mereka juga perlu melakukan pengorbanan dan perjuangan untuk itu. Salah satunya, belajar bahasa Indonesia. Apakah orang Indonesia yang harus ”rela” menggunakan bahasa asing yang disebut bahasa internasional? Mungkin boleh, tapi tidak selalu.
Globalisasi, perdagangan bebas, atau apa saja penyebutannya tak selayaknya menggoyahkan rasa cinta tanah air kita. Kita tak perlu silau dengan semua yang ”berbau” asing. Ketika hal itu membawa kebaikan, tak apa dilakukan. Pertukaran mahasiswa, studi banding, kerja sama bisnis, investasi, atau kegiatan positif lainnya harus tetap dilakukan. Namun, jangan sampai kegiatan positif itu justru membawa ”dampak negatif” bagi bangsa sendiri.
Bahasa juga merupakan alat untuk mempertahankan dan melindungi bangsa. Lihat saja kebijakan yang mengharuskan kita menguasai level tertentu dari bahasa asing jika kita hendak melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Untuk apa itu dilakukan? Untuk mempermudah kita berkomunikasi dengan dosen, mahasiswa, dan lingkungan sekitar ketika berada di sana. Untuk mempermudah kita menimba ilmu dan menyelesaikan pendidikan di sana.
Apakah sebatas itu? Rasanya tidak. Hal itu juga digunakan untuk mengukuhkan bahasa tempat universitas itu berada. Sehingga, siapa pun yang hendak belajar di negara mereka, menimba ilmu di negara mereka, orang tersebut harus menghargai bahasa mereka.
Sampai kapan pun, rasanya tak pantas bagi kita untuk meremehkan sederet sejarah perjuangan kebahasaan di Nusantara hingga bahasa Indonesia dikukuhkan menjadi ba hasa persatuan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan menjadi bahasa nasional sesuai UUD 45 pasal 36. Seyogyanya, kita justru menjadikan globalisasi sebagai sarana yang strategis untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia.
Jika kita sadar bahwa bangsa Indonesia adalah pasar menggiurkan bagi bangsa lain untuk datang dan berinvestasi, globalisasi semestinya juga menjadi peluang emas untuk mengembangkan bahasa Indonesia. Bahasa yang mempersatukan kita, bangsa yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan ratusan bahasa daerah itu, harus dengan bangga kita perkenalkan kepada sebanyak-banyaknya orang asing dari berbagai negara. Bukankah begitu? Dan kalaupun tenaga kerja (naker) asing tak wajib berbahasa Indonesia. Luruh rasanya. Padahal, Kemenaker (Kementerian Tenaga Kerja) serius mematangkan aturan soal bahasa Indonesia sejak 2015.
Korelasi bahasa terhadap naker
Kebijakan plintat plintut ini yang mengesankan pemerintah tak punya pendirian. Seolah gelap mata hanya memburu peningkatan investasi asing tetapi tidak memikirkan efeknya. Sikap melunak pemerintah Jokowi dalam aturan berbahasa ini pun menimbulkan pertanyaan, ada apa sebenarnya? Adakah ada deal-deal khusus dengan negara tertentu?
Harus diakui, persyaratan berbahasa Indonesia sebagai filter bagi kita dalam menerima invasi tenaga kerja asing (TKA). Dengan begitu tenaga kerja yang datang juga selektif. Namun bila syarat ini dihapus, maka semua TKA mudah saja masuk. Efeknya, peluang tenaga kerja lokal (Indonesia) bisa terancam.
Logikanya sederhana saja, perusahaan asing akan lebih familiar merekrut TKA dari negaranya sendiri untuk dibawa ke Indonesia karena mereka mudah berkomunikasi dan memiliki latar belakang budaya yang sama. Sedangkan terhadap tenaga kerja Indonesia mereka masih asing dan cilakanya lagi tenaga kerja kita pun banyak sekali tuntutannya.
Meski tidak berpengaruh besar tetapi syarat berbahasa Indonesia ini paling tidak menyaring serbuan TKA. Sama halnya ketika negara asing mendatangkan tenaga kerja Indonesia seperti Korea, mewajibkan tenaga kerja kita harus bisa berbahasa Korea sebelum dikirim ke sana. Dan di Filipina sendiri sudah ada lembaga pendidikan berbahasa Indonesia untuk tenaga kerja mereka yang akan ke Indonesia.
Memang soal serbuan tenaga kerja asing ini masih cerita yang dibesar-besarkan. Belum ada jaminan benar akan terjadi karena dalam hitung-hitungan bisnis, selagi upah kerja setara dengan tenaga kerja Indonesia, maka logikanya perusahaan akan memilih tenaga kerja setempat sebab tak perlu mengeluarkan banyak biaya di luar upah, seperti izin tinggal, administrasi, ongkos transport, akomodasi dan lain-lain. Selagi ketrampilan tenaga kerja lokal setara dengan tenaga kerja asaing, pasti tenaga kerja lokal yang diprioritaskan. Namun last but not least menyangkut mentalitas. Kalau tenaga kerja kita terlalu banyak menuntut kenaikan upah, tunjangan ini itu sampai uang parfum segala, perusahaan dalam negeri saja angkat tangan konon lagi perusahaan asing. Apalagi sampai gila demo.
Sebaiknya, pemerintah justru harus mendorong kesempatan tenaga kerja Indonesia bisa berbahasa minimal Inggris dan Mandarin agar dapat berkompetisi dengan tenaga kerja asing di dalam negeri maupun luar.Tugas pemerintah untuk mencerdaskan tenaga kerja kita. Jika tidak, alamat tersisih secara alami, dan angka pengangguran pun dipastikan semakin meningkat dan itu berbahaya bagi negara.
Saat ini saja, jumlah pengangguran di Indonesia sampai Mei 2015 lalu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (NPS) mencapai 7,45 juta jiwa. Dan sebagian besar tenaga kerja kita hanya tamatan Sekolah Dasar yaitu 45,19 persen. Sementara pekerja lulusan sarjana hanya 8,29 persen. Bagaimana mampu bersaing.

                                                                                                             —————- *** —————-

Rate this article!
Tags: