Judul Buku : Permainan Metafora dalam Karya Sastra
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : LovRinz
Cetakan : I, Juni 2022
Tebal : x + 68 halaman
ISBN : 978-623-446-341-5
Peresensi : Fathorrozi
Penulis lepas, tinggal di Ledokombo, Jember
Keunikan bahasa sastra salah satunya terletak pada makna yang tidak langsung. Ia jadi menarik lantaran ‘sindirannya’ bukan ‘labrakannya’. Ia ‘nyerempet’ tidak langsung ‘menabrak’. Ketidakterusterangannya ini yang membuat bahasa sastra tetap dipuja-puja hingga kini. Sebab, ketidaklangsungan itu yang menambah semakin penasaran. Sementara kelangsungan hanya membawa kesan klise dan menjemukan.
Seperti halnya, kala kita ingin mendeskripsikan seorang laki-laki yang ingin menandaskan hausnya dengan kalimat “Astabib minum air dengan gelas”, kayak kurang berkesan, membosankan, datar, dan tidak ada unsur seninya. Sedangkan jika gambaran tersebut ditulis dengan kalimat “Astabib mengalirkan cairan jernih ke tenggorokannya memakai kaca bening yang berbentuk tabung”, akan mendapat kesan berbeda di benak pembaca.
Atau pakai contoh lain yang lebih ringkas. Hendak menulis “Hunsalehun lumpuh” dirangkai dengan kalimat “Lelaki berambut panjang yang sejak lahir dipanggil Hunsalehun itu sama sekali tidak kuat berdiri. Setiap waktu ia hanya menekuk kedua kakinya ke belakang sambil bersimpuh di lantai.” Pasti cita rasanya berbeda, kan? Tentu, ini lebih mengena dan menyentuh ke hati pembaca daripada kalimat yang langsung berterus terang.
Inilah yang menurut Henry Guntur Tarigan (pakar linguistik Nusantara) disebut dengan bahasa figuratif. Baginya, setiap pengarang perlu membendaharai kreatifitasnya dengan bahasa figuratif. Sebab, penggunaan bahasa figuratif yang tidak umum ini akan menghidupkan ekspresi perasaan pembaca. Salah satu pengarang yang cukup lihai dalam bermain bahasa figuratif adalah Knut Hamsun, novelis asal Norwegia, sekaligus peraih Anugerah Nobel Sastra pada tahun 1920.
Di antara karya Knut Hamsun yang fenomenal adalah novel Sult (Kelaparan). Novel inilah yang ‘dibedah’ oleh Akhmad Idris dalam buku Permainan Metafora dalam Karya Sastra ini. Dengan gamblang ia ulas dengan penuh kekaguman pada sosok Knut Hamsun yang menggambarkan kelaparan tanpa menggunakan kata ‘lapar’. Kelaparan sebagai bagian dari penderitaan, diungkapkan oleh Knut Hamsun tidak sekadar dimaknai sebatas perasaan ingin makan tetapi tidak ada yang mau dimakan. Tidak hanya itu. Namun, ia memakai makna-makna lain tanpa melenyapkan hakikat kelaparan.
Bahasa figuratif yang digunakan Knut Hamsun dalam menghadirkan rasa lapar adalah dengan ‘pengertian baru’ bahwa lapar tidak hanya sekadar perut yang kosong, tetapi juga bisa berarti perut yang terisi dengan hal-hal yang tidak layak dicerna oleh perut (hlm. 40). Lebih lanjut penulis mengutip sebagian isi novel Sult:
Aku membelok di dekat air mancur di pojok pasar, dan minum air seteguk, lalu mulai berjalan lagi, menyeret kakiku satu-satu…. (Knut Hamsun, Sult: 69).
Kutipan tersebut membeberkan bahwa Knut Hamsun dalam menampilkan kelaparan lebih memilih penggambaran yang berbeda. Penggambaran yang tidak langsung, namun mengena. Lazimnya, rasa lapar dideskripsikan dengan ungkapan perut yang keroncongan, belum diisi makanan selama beberapa hari, atau langsung berterus terang dengan kata ‘lapar’, namun Knut Hamsun lebih memilih menggambarkan dengan kalimat ‘menyeret kaki satu-satu.’
Selain itu, petikan lain dalam novel Sult yang dikutip oleh penulis buku ini adalah Knut Hamsun mengganti rasa ‘lapar’ dengan kalimat ‘memungut keping kayu yang dimasukkan ke mulut,’ sebagaimana pada penggalan berikut:
Beberapa orang tukang kayu sedang melicinkan kayu di luar. Kupungut beberapa keping kayu yang bersih, memasukkan satu ke mulut dan menyembunyikan yang lain di dalam saku untuk bekal kemudian (Knut Hamsun, Sult: 107).
Deskripsi tak biasa lagi-lagi disajikan oleh Knut Hamsun untuk mempresentasikan kelaparan melalui tokoh ‘aku’ yang mengunyah kepingan kayu dan masih menyimpan kepingan lain untuk dimakan nanti. Tidak ada ungkapan lapar dalam petikan tersebut, tetapi mengunyah kayu sekaligus menyimpannya sebagai bekal perjalanan, tidak akan dilakukan kecuali oleh seseorang yang benar-benar telah dililit rasa lapar.
Inilah di antara keunikan sastra yang dimunculkan oleh Akhmad Idris, bahwa dalam berkarya sastra seorang pengarang perlu menampilkan bahasa figuratif demi menyampakkan kebosanan serta kekakuan pembaca dengan kalimat yang itu-itu saja. Alias kalimat yang hanya tampak jasad, namun tanpa ruh.
———– *** ———–