Bahasa Kekerasan

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Mahathir Muhammad Iqbal SIP, MAP
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Akhir-akhir ini kita kerap disuguhi fenomena yang sungguh membuat miris hati nurani. Tidak ada lagi rasa cinta dan belas kasih. Kemanusiaan mengalami kemerosotan tajam yang kerap kali diistilahkan dengan proses dehumanisasi. Manusia tanpa beban dan rasa sesal mencoba menegasikan manusia yang lain. Plautus dalam karyanya yang berjudul Asinaria mengistilahkan fenomena ini dengan sebutan homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Bagimana tidak, lihat saja beberapa fenomena yang menjadi berita headline di berbagai surat kabar beberapa hari ini. Dua petani yang menolak penambangan pasir di Lumajang, Jawa Timur, telah dianiaya secara keji sehingga satu orang tewas dan satu orang luka berat (26/9) lalu.
Di Jakarta, seorang bocah perempuan berumur 9 tahun, ditemukan tak bernyawa di dalam kardus air mineral, dan dibuang di kawasan Kalideres sebelum ditemukan oleh empat pejalan kaki yang kebetulan melintas (JP, 5/9). Di Kabupaten Malang, karena terbakar api cemburu dan dendam kesumat, seorang laki-laki tega membunuh secara brutal dan membabi buta dengan sebilah senjata tajam seseorang yang diduga selingkuhan istrinya (4/9). Astaghfirullahaladzim.
Kebuntuan Akal Sehat
Pertanyaannya, mengapa bahasa kekerasan menjadi bahasa yang seringkali dipilih untuk menyelasaikan persoalan yang menjerat? Suka atau tidak, ketika akal sehat mengalami kebuntuan, masyarakat memilih kekerasan sebagai solusinya. Dalam teori, masalah-masalah sosial dipecahkan melalui dialog yang bebas dan setara. Hal ini sekurang-kurangnya ditunjukkan dalam sejumlah aliran neo-pencerahan. Secara filosofis, pemecahan masalah dilakukan memanfaatkan akal sehat. Kenapa harus menggunakan akal sehat?
Rene Descartes menjawab karena setiap orang memiliki akal sehat sehingga setiap orang bisa mengakses pertimbangan seseorang atau kelompok lain. Ketika akal sehat tak cukup, pemecahan masalah sosial bisa dilakukan melalui komunikasi yang dilandasi oleh kesetaraan dan kebebasan. Manakala komunikasi buntu, lembaga-lembaga peradilan menjadi alternatif jalan keluar rasional yang telah disepakati bersama. Namun, dalam praktiknya atau dalam perspektif empirik, hal itu tak selalu mudah karena prosedur nalar dianggap bertele-tele dan tak membuahkan hasil yang memuaskan. Barulah Antonio Gramsci yang kemudian menunjukkan betapa kekuasaan akan selalu muncul di balik setiap upaya pemecahan masalah. Mekanisme nalar untuk memecahkan masalah akan terbentur pada parktek-praktek kekuasaan yang digenggam oleh para pelaku.
Empat Alasan
Kita percaya, pemecahan masalah sosial semestinya didasarkan pada kekuasaan yang berpijak pada nilai-nilai bersama. Masalahnya, kekuasaan kekuasaan tidak diarahkan pada pengembangan nilai yang telah disepakati bersama. Dalam wilayah praksis, masyarakat mengalami disorientasi. Ada tiga alasan mengapa bahasa kekerasan menjadi solusi persoalan sosial.
Pertama, skematisasi sosial yang didorong oleh pragmatisme dan ekonomisasi segala nilai. Masyarakat mengejar kekayaan dengan cara melakukan apa saja (machiavellian) asal jadi uang. Kepentingan ekonomi memiliki ekses terhadap kepentingan politik, sosial, dan budaya. Buktinya, konflik sosial yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia sebetulnya berawal dari upaya kelompok modal memperluas perusahaan untuk kepentingan ekonomi. Mekanismenya pun hampir sama, mereka para pemodal selalu melakukan “perselingkuhan” dengan representasi pemerintah di daerah. Akhirnya, rakyatlah yang jadi korban.
Bahkan Karl Marx sudah mengatakan, negara sudah kehilangan otonominya ketika sudah dijadikan executive committe of the borgeoise class. Kelas borjuis dengan kemampuan finansial yang besar dapat “membeli” negara tidak ubah sebagai panitia yang menjalankan perintah ddan kehendak borjuis. Dengan bahasa yang lebih keras, negara menjadi boneka permainan kelas borjuis/kapitalis. Undang -undang yang seharusnya dibuat untuk melindungi kepentingan umum dibelokkan sehingga melindungi kepentingan sektoral kelas kapitalis. Bahkan, ideologi dapat dicptakan sedemikian rupa sehingga mengabdi pada kepentingan mereka.
Kedua, kekerasan dianggap memiliki dimensi kognitif sosial. Dengan adanya masalah itu, warga memiliki legitimasi logis untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Penganiayaan orang lain yang terlibat konflik dianggap sebagai tehnik yang efektif untuk mencapai kepentingan pribadi maupun golongan. Dimensi kognitif dari kekerasan itu nyata telah menjadi bagian dari proses pembelajaran. Itulah mengapa dalam kasus-kasus pendidikan di Indonesia, kekerasan dijadikan sebagai “jalan keluar” bagi siswa-siswa yang menemui masalah.
Ketiga, kekerasan memiliki dimensi komunikatif. Kekerasan dianggap sebagai pesan. Sebab, melalui kekerasan, pelaku mengirimkan pesan kepada orang lain tentang akibat-akibat yang terjadi jika mendapati masalah yang sama. Penganiayaan hingga mengakibat orang lain meninggal atau cedera sebetulnya terselip sebuah pesan, “rasakan akibatnya”. Itu, dijadikan pesan yang bernuansa mengancam.
Keempat, kinerja aparat yang tak responsif. Harus diakui, polisi sebagai aparat negara yang menurut Max Weber mempunyai prinsip dasar “the monopoly of the legitimate use of phisical force”, tidak ada kelompok lain di masyarakat yang boleh memakai kekerasan kecuali (aparat) negara, seringkali bekerja tak maksimal. Mereka seperti pemadam kebakaran dan polisi di film-film India klasik yang hadir ketika sudah terjadi tindak kejahatan.
Secara internal, jelas mereka harus mampu memperbaiki diri. Karena hal ini akan memberikan implikasi serius pada eksistensi bangsa. Tertib masyarakat akan hancur jika tidak ada monopoli pemakaian kekerasan.
Jelaslah, bahasa kekerasan menjadi kognisi masyarakat sekaligus sebagai pesan ancaman terhadap orang lain. Ketika bahasa kekerasan menjadi model ucap baru dan legitimasi tindakan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat kini diambang krisis. Iniliah ironi yang dimaksud: nilai-nilai kebajikan lama sudah pudar, nilai-nilai baru yang didasarkan pada nilai-nilai kebersamaan sebagai bangsa tidak memperoleh tempat yang memadai di tengah-tengah negara. Lebih dari itu, negara harus mampu memanifestasikan prinsip “hukum sebagai panglima” dengan konsisten dan tanpa bulu.

                                                                                                              ——————- *** ——————-

Rate this article!
Bahasa Kekerasan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: