Banalitas Kampanye Politik Televisi

Sugeng Winarno

Sugeng Winarno

Oleh :
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Pada pekan pertama kampanye politik sudah diwarnai banyak kecurangan. Beragam pelanggaran terjadi tidak hanya lewat kampanye rapat terbuka, tetapi di layar televisi juga terjadi dominasi iklan politik para pemilik media. Kampanye melalui iklan dan berita politik muncul secara tidak proporsional. Telah terjadi banalitas kampanye politik lewat televisi.
Media massa yang idealnya bisa digunakan sebagai sarana pendidikan politik justru disalahgunakan. Prinsip independensi, netralitas dan proporsionalitas telah digadaikan oleh beberapa pelaku media. Bahkan ada indikasi kuat ruang redaksi (newsroom) di beberapa media sudah tidak steril lagi. Para politisi yang sekaligus pemilik media telah mempertontonkan keperkasaannya.
Relasi antara pemilik media (media proprietor) dan masyarakat penonton memang tidak berimbang. Para pemilik media di negeri ini teramat perkasa, sementara di sisi lain tingkat pemahaman, kesadaran dan kepedulian masyarakat pada praktik media yang menyimpang masih sangat rendah. Lebih buruknya lagi, banyak pihak yang mengamini saja terhadap beberapa kecurangan yang dimainkan media, terutama dalam masa kampanye sekarang.
Rentetan pelanggaran kampanye politik di televisi sebenarnya sudah cukup lama terjadi, bahkan jauh sebelum waktu kampanye secara resmi dimulai.  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai institusi yang mengurusi lembaga penyiaran di Indonesia sepertinya belum bekerja optimal. Selama ini teguran, peringatan, dan sangsi KPI tidak cukup bertaji. Buktinya hingga sekarang tayangan kecurangan kampanye masih sering muncul di televisi.
Kampanye politik lewat media pandang dengar ini memang terbukti sangat ampuh mendukung sukses pemilu. Merujuk pada Saiful Mujani dan William Liddle dalam Personality, Party and Voter (2010) menyatakan bahwa lebih dari 88 persen pemilih pada pemilu 2009 mengikuti kampanye politik melalui televisi. Dengan angka penetrasi yang demikian tinggi, menjadi wajar jika politisi beramai-ramai meningkatkan popularitasnya melalui layar televisi.
Media audio visual ini telah membawa kandidat capres-cawapres dan para caleg berebut tampil memesona. Ada yang lewat pemberitaan, talkshow, kuis, game show, infotainment, dan iklan politik. Ada juga politisi yang ikut main sinetron, menyamar menjadi rakyat jelata seperti dalam program reality show, menyaksikan pertunjukkan live musik, dan datang di acara talent show, dengan memakai atribut partainya.
Boikot Kampanye Menyimpang
Idealnya, hubungan antara masyarakat sebagai konsumen media dan para pemilik dan pelaku media berjalan harmonis. Namun pada kenyataanya, pelaku media tidak jarang mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai konsumen media. Beberapa pengelola televisi sepertinya lupa bahwa penyiaran televisi itu meminjam frekuensi milik publik.
Mengingat kepemilikan frekuensi bukan melekat secara personal, maka esensinya televisi harus menjunjung dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Dalam kasus maraknya pelanggaran kampanye politik di televisi sekarang banyak masyarakat dirugikan karena penonton televisi disuguhi informasi pemilu yang tidak berimbang, terlalu memihak dan partisan.
Televisi telah memfasilitasi praktik kampanye yang menyimpang. Televisi melalui keperkasaannya telah melupakan salah satu fungsinya sebagai media pendidikan politik bagi masyarakat. Kalau demikian yang terjadi maka masyarakat masih mungkin berharap kepada beberapa lembaga terkait guna mencari solusi urusan ini. Lembaga seperti KPU, Bawaslu dan KPI harus bertindak atas segala kecurangan kampanye.
Namun demikian, ada cara lain yang bisa ditempuh masyarakat sebagai konsumen media adalah dengan melakukan boikot pada praktik kampanye curang di televisi. Upaya boikot ini bisa dilakukan dengan cara tidak menyaksikan iklan kampanye tersebut atau tidak mendukung politisi atau partai yang sedang berkampanye. Bahkan penonton televisi juga bisa memboikot stasiun televisi dan beberapa produk iklan serta acara yang disiarkan televisi tersebut.
Di beberapa negara maju seperti Amerika dan Australia, upaya boikot media ini dinilai cukup efektif. Sebagai bentuk perlawanan masyarakat atas praktik kesewenang-wenangan media, masyarakat memang harus berdaya. Karena televisi adalah industri, maka keberlangsungan sebuah acara sangat ditentukan oleh iklan. Ketika sebuah program sudah tidak lagi ada penontonnya, tentu pemasang iklan akan menjauh. Dan ketika sampai pada kondisi itu, maka matilah sebuah acara televisi atau bahkan stasiun televisi tersebut.
Upaya boikot pada kampanye politik yang curang bisa dilakukan guna mewujudkan pendidikan politik yang baik. Segala bentuk kecurangan dalam pemilu mendatang memang harus segera dimusnahkan, termasuk cara-cara curang berkampanye. Logika sederhana mengatakan bahwa kalau saat kampanye saja para politisi dan partai sudah berani curang, bagaimana nanti kalau benar-benar terpilih menjadi pemimpin? Tentu semua warga negeri ini menghendaki dipimpin oleh orang yang amanah, jujur, dan bersih dari segala praktik kecurangan.
Berharap Etika dan Moral
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu disebutkan bahwa setiap peserta pemilu maksimal dapat memasang iklan sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik di stasiun televisi setiap hari dan 10 spot berdurasi paling lama 60 detik untuk tiap stasiun radio setiap hari. Faktanya, kampanye dalam bentuk iklan bermunculan mengabaikan amanah undang-undang.
Eskalasi politik yang meningkat menjelang bulan 9 April 2014 semakin meningkatkan angka pelanggaran kampanye di televisi. Apalagi beberapa politisi sekaligus merangkap sebagai pemilik media. Mereka bisa lebih leluasa tampil menjual citra diri, partai dan calegnya melalui beragam wujud. Tidak hanya di televisi, kampanye terselubung melalui media elektronik yang lain, seperti radio, media online, dan media sosial diprediksi bakal semakin sulit dikendalikan.
Sikap bandel beberapa partai politik dan pengelola media penyiaran televisi bisa menodai pelaksanaan pemilu. Untuk itu KPU, Bawaslu dan KPI perlu bersinergi guna menegakkan aturan pemilu dan menghukum bagi mereka yang melanggar. Penegakkan aturan ini sudah sangat urgen mengingat pelanggaran kampanye melalui televisi sudah cukup lama terjadi.
Dalam kondisi ini yang perlu dikedepankan adalah sikap dewasa dan menjunjung etika dan moral. Bagi para politisi dan pelaku media hendaknya menjunjung sikap netralitas, proporsionalitas dan independensi. Para pengelola televisi hendaknya sadar bahwa keberadaan televisi turut menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu.
Tayangan televisi telah mengurangi peran partai politik sebagai saluran sosialisasi politik. Tayangan-tayangan televisi dari debat presiden, berita, talk show, sampai iklan politik telah memberi masyarakat akses yang luas terhadap informasi politik. Bentuk-bentuk kampanye beretika telah berganti menjadi kampanye curang melalui televisi.
Kalau sudah begini, penonton televisilah yang juga harus berperan. Sikap peduli para penikmat televisi bisa diwujudkan dengan tidak menonton acara yang beraroma kampanye. Kampanye melek media (media literacy) menjadi penting dilakukan guna memberdayakan masyarakat penonton televisi kita. *
*). Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang.

Rate this article!
Tags: