Bandara Baru Ramah Lingkungan, Serasa di Tengah Kebun Kurma

Bandara AMAA di Madinah, bagai di tengah kebun kurma.

Bandara AMAA di Madinah, bagai di tengah kebun kurma.

Catatan Perjalanan Umrah Bulan Ramadan 1436 H (Bagian Pertama)
Kota Surabaya, Bhirawa
“Labbaika Allahumma umrotan… fi syahri Ramadhan.” (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, untuk beribadah umrah pada Bulan Ramadan). Inilah niat yang diucapkan oleh setiap jamaah umrah. Lebih afdol manakala diucapkan dalam bahasa aslinya, dengan bimbingan ulama atau ustad. Tambahan frasa kata fi syahri Ramadhan, digunakan sebagai penguat tekat. Karena umrah pada Bulan Ramadan, niscaya lebih berat (secara fisik). Namun imbalan (pahalanya) disetarakan dengan berhaji bersama Kanjeng Nabi SAW.
Harus diakui, tidak mudah melaksanakan umrah pada Bulan Ramadan. Khususnya jamaah dari Indonesia, tarif perjalanannya lebih mahal sampai 20% dibanding umrah selain Bulan Ramadan. Begitu pula harga tebus visa meningkat, bisa mencapai 400 dollar AS per orang. Hampir seluruh provider (semacam pemilik izin visa dari perwakilan penanggungjawab perjalanan di Arab Saudi), menaikkan harga tebus visa. Bagai paradigma supply and demand. Beberapa jadwal umrah, niscaya mengalami penundaan menunggu antrean.
Di Jakarta, melambungnya harga visa umrah (berlaku untuk 30 hari), bukan tidak menimbulkan kegaduhan. Misalnya, terjadi pada jamaah umrah di bawah penyelenggara al multazam internasional (berbasis di Solo). Lebih dari 100 visa mengalami ‘penyanderaan’ (dan upaya pemerasan tebusan) yang berakhir pada laporan kepolisian. Syukur, penundaan pemberangkatan selama 10 hari berakhir hikmah. Yakni, bisa menikmati umrah Ramadan dengan tarif murah, tanpa tambahan harga.
Toh, tarif perjalanan umrah (yang mahal) tidak menyurutkan tuntutan spiritual untuk mendatangi al haramain (dua kota suci: Makkah dan Madinah). Inti ritual umrah, memang berada di Masjidil Haram di Makkah. Namun klangenan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, tak kalah hebatnya dengan ibadah umrah. Keinginan umat muslim di seluruh dunia (yang beribadah umrah) seperti itu. Ada yang memilih lebih dulu ke makam Nabi SAW di dalam masjid Nabawi di Madinah.
Ada pula yang memilih umrah (ke Makkah) dulu, kemudian disusul menziarahi makam Nabi SAW dan kedua sahabatnya (Sayyidina Abubakar as-Shiddiq, dan Sayyidina Umar bin Khatthab). Kedua pilihan sama-sama afdol. Jarak antara kota Makkah dengan Madinah bisa ditempuh dengan berkendaraan mobil rata-rata selama 4 jam. Hampir tiada kemacetan, karena sepanjang perjalanan bagai melaju di jalan tol (dengan 6 lajur), tapi gratis.
Kecuali menjelang masuk kota Makkah, macet tak terhindarkan. Rata-rata pengemudi di Arab Saudi  tidak sabaran. Selain mengemudi dengan kecepatan tinggi (karena jalan mulus), juga suka menerobos ruang sempit. Tak kalah nekat dibanding pengendara motor di Indonesia. Bedanya, ketika lampu kuning di traffict light menyala, seluruh pengemudi sudah menghentikan kendaraan. Hebatnya, tiada berita kecelakaan lalulintas.
Perjalanan umrah pada Bulan Ramadan bagai puncak musim panen usaha penyelenggara haji dan umrah. Juga sebagai puncak pick season maskapai dari dan ke Arab Saudi. Seluruh maskapai (dalam negeri) maupun holding “Etihad” (kelompok maskapai penerbangan negara-negara Timur Tengah, kini menjadi yang terbesar di dunia), selalu dalam keadaan full-seat. Rata-rata juga menggunakan armada jenis Boeing, berisi lebih dari 700 penumpang. Kargonya, bisa mencapai 40 ton, milik penumpang dan awak saja. Tidak termasuk kiriman parsel.
Karena setiap pesawat dalam kapasitas maksimal, maka pada setiap trip (sekali jalan) memerlukan istirahat. Termasuk, yang paling diprioritaskan adalah audit  teknis pesawat. Konstruksinya diperiksa setiap mur bautnya. Baling-baling, lampu luar, sampai sistem navigasinya diinvestigasi rigid. Mesin dan sistem kontrol udara (AC) niscaya diperiksa paling njelimet. Begitu pula pilot dan co pilot serta kru kabin, menjalani uji kesehatan.
Pengistirahatan pesawat dan kru itu, menyebabkan beberapa jadwal penerbangan mengalami delay (penundaan), sampai beberapa jam. Seperti yang saya alami, penerbangan SV (Saudia Airline) 825 Jakarta – Madinah, yang mestinya berangkat pukul  13:10, menjadi pukul 16:20. Tiba di Madinah pukul 22:00 waktu setempat (selisih sekitar 3 jam 50 menit, ‘lebih muda’ dibanding Waktu Indonesia Barat, WIB).
Bandara Madinah, merupakan terminal pendatang baru di Saudi Arabia. Sebelumnya, jamaah asal Indonesia selalu landing di bandara King Abdul Aziz di Jeddah. Bandara Madinah mulai dioperasikan pada 5 April 2015. Berdiri di dalam Bandara Madinah, bagai berada di kebun kurma. Karena bangunannya dibentuk mirip pohon kurma, lengkap dengan pilar bermozaik pelepah dan daun korma. Lampunya sangat terang benderang, walau malam hari terasa bagai siang.
Bandara Pangeran Muhammad bin Abdul Aziz (dengan bahasa disebut, Mathar al          Amir Muhammad bin Abdul Aziz ad-Dualy). Biasa disingkat sebagai bandara AMAA dengan kode kota penerbangan (IATA) MED. Istimewanya, bandara seluas 4 juta meter persegi ini memperoleh sertifikat golden category (LEED) untuk bangunan yang ramah lingkungan. Ini merupakan bandara di luar Amerika pertama yang mendapatkan sertifikat tersebut.
Petugasnya, rata-rata mengenakan kostum nasional Arab saudi (berjubah putih, dan surban dengan tali hitam melingkar di kepala). Terdapat 16 pintu keberangkatan yang tersambung dengan 32 jembatan langsung menuju pesawat. Bandara ini memiliki 64 konter untuk proses boarding, serta 16 konter proses boarding tambahan untuk musim haji. Nyaris tidak ada petugas perempuan di bandara, siang maupun malam. Ini berbeda dengan di Jeddah, mayoritas petugas memakai kostum internasional, celana panjang dan baju seragam berwarna.
Dalam kesibukannya, seringkali petugas menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, untuk mengomando, dengan kata-kata  “haji … terus … terus,” atau “jalan sini … jalan.” Ini melegakan jamaah Indonesia, sekaligus bisa dianggap sebagai sambutan welcoming yang akrab. Tidak bertele-tele, meski beberapa petugas wajib dilewati oleh setiap jamaah. Hanya dalam hitungan 1 – 2 menit, semuanya beres. Begitu pula escalator untuk bagasi cukup panjang sehingga memudahkan antrean. [Yunus Supanto]

Tags: