Bang Along

Oleh :
Siska Dewi

Terlihat lelaki duduk di bangku plastik. Di bawah langit malam dengan cahaya bulan, ia mengibas-ngibaskan baju pada badannya yang telanjang dada. Itu adalah kebiasaan Bang Along ketika merasa gerah. Sedang aku sebagai pemerhati setia di depan pintu rumah.
***
‘Aku benci, Bang Along!’ ungkapan isi hati anak usia sepuluh tahun kepada saudara kandungnya. Ya, anak itu adalah aku. Anak ke dua dari pasangan Mak Inah dan Pak Giman. Amarahku kian memuncak, saat bapak dan mamak yang terus memberi perhatian lebih pada Bang Along dan tidak peduli padaku. Seolah-olah diriku hanyalah seorang anak yang dipungut dari jalanan.
Hampir setiap hari mereka selalu pergi bertiga lalu membiarkanku di rumah sendirian. Aku tidak pernah tahu mereka pergi ke mana, tetapi setiap pulang ke rumah, ada barang baru yang dibawa Bang Along, baik buku cerita, alat tulis, sandal dan lain-lain, sedangkan aku tidak pernah dibelikan. Aku selalu mendapat barang bekas pakai Bang Along. Setiap pagi, mamak juga seringkali pilih kasih. Mamak memberi sarapan kami dengan menu yang berbeda. Menu yang baru dimasak untuk Bang Along dan menu kemarin yang dihangatkan untukku makan. Lagi dan lagi, Along … Along dan Along terus.
***
“Dek! Abang boleh ikut main, ya,” seru anak manja itu kepadaku.
“Tidak, aku tidak sudi bermain denganmu!” ucapku dengan tatapan sinis.
Wajahnya langsung murung sejak ucapan itu keluar dari mulutku tadi Aku tidak pernah sudi bermain dengannya. Aku enggan mengakui bahwa dia adalah abangku. Sungguh, itu adalah hal yang memalukan, pikirku. Punya seorang abang yang fisiknya lemah, ia tak sanggup bermain bola dan sepeda seperti seorang abang pada umumnya yang selalu melindungi adik jika ada yang menjahilinya. Namun, berbeda dengan Bang Along, sikapnya begitu kemayu, bahkan malah diriku yang sering menolongnya ketika dia diejek oleh teman sebayanya saat keluar rumah untuk bermain.
***
“Angah, kau jaga rumah, ya. Mamak dan Bang Along pergi dulu,” ucap mamak sambil mengambil sebuah bodybag di meja.
“Mak, Angah boleh ikut ya, sekali saja,” rengekku pada wanita berpakaian gamis kuning yang berdiri dengan tangan menggandeng Bang Along. Style mereka begitu rapi dan sangat berbeda denganku yang hanya memakai kaus tidak berlengan dengan bermandikan keringat sebab sehabis pulang dari lapangan.
“Lihat tampilanmu, kucel kali. Pergi mandi! Sudah sore, sebentar lagi Bapak juga pulang kerja. Mamak dan Bang Along akan pulang malam dan kau harus tetap di rumah sampai Mamak pulang! Dengar?” tegasnya.
“Iya, Mak,” sahutku.
Tampak Bang Along menggandeng tangan mamak dengan erat. Si Along ini benar-benar, buatku semakin naik pitam saja. Mamak tidak pernah sekalipun mengajakku pergi dengannya sebab mamak selalu mengajak anak manja itu.
***
Sore ini, mamak menyuruhku membeli kencur di warung Wak Lapo. Kencur untuk obat perut anak kesayangannya yang sedari tadi merengek kesakitan. Kencur sendiri berguna untuk menghangatkan badan dan pengeringan luka.
“Alamak! Mati aku!” gumamku sambil menepuk jidat.
“Kenapa pulak ko, Angah?” tanya seorang teman.
“Jam berapo ini?” tanyaku panik.
“Kayaknya sekitar jam enam-an!”
“Busett, bisa ngamok mamakku,”
Aku bergegas kembali pulang, berlari dari lapangan menuju rumah yang jaraknya lumayan jauh.
“Marah besar pasti Mamak, nih,” gumamku.
Sesampai di rumah, teriakan mamak melebihi guntur di siang bolong, kencang dan mengejutkan. Ia sudah berdiri dengan rotan di tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang pinggang, sudah sama seperti model-model di tivi-tivi. Matanya melotot, bibir merahnya menambah kesan galak dan sangar yang siap memangsa.
“Angah!” teriaknya.
Aku ketakutan dan menunduk, berjalan dengan langkah pelan, seperti hendak menghampiri Mak Lampir, pikirku. Benar-benar menakutkan. Dilibasnya aku dengan rotan yang ia bawa.
“Ampun, Mak. Ampun,” teriakku kesakitan.
“Mak, jangan pukul, Angah,” ucap Bang Along kepada mamak.
“Adekmu ini tak bisa dibilangi, sudah sepatutnya dipukul. Biar dia ingat perintah Mamaknya. Mak suru dia pigi ke warung untuk membeli obatmu malah main bola dengan kawan-kawannya,”
“Angah lupa, Mak.”
Mamak terus memukulku dengan rotan. Betis kakiku lebam akibat pukulannya. Terlihat Bang Along menangis dan memohon kepada mamak untuk menghentikan pukulannya. Pukulan yang membabi buta itu pun berhenti. Mamak benar-benar sudah terpengaruh dengan anak manja itu agar selalu menuruti semua keinginannya. Badanku lebam seperti ini sebab dia. Kalau saja dia tak mengeluh sakit di dadanya, mamak tak akan menyuruhku membeli kencur ke warung.

***
Sejak saat itu seminggu lebih ia menginap di rumah sakit. Setiba pulang ke rumah, dadanya semakin membusung, badannya semakin kurus tinggal tulang dan kulit saja. Tak tega aku melihatnya. Sebenci-bencinya aku padanya, ia tetap abangku juga. Kujumpai mamak menangis di kamarnya. Entah apa yang terjadi sampai membuat mamak sebegitu sedihnya. Mungkin karena kondisi Bang Along yang semakin parah.
Sore ini ia terus merintih kesakitan merasakan di bagian dadanya. Otakku terus bertanya, sebenarnya penyakit apa yang diderita Bang Along. Sebelumnya dadanya memang membusung tapi tidak separah saat ini. Aku menguping mamak dan bapak yang sedang berdiskusi di kamar, Mamak bilang bahwa Bang Along menderita kanker hati dan sudah divonis oleh dokter umurnya tak akan lama lagi, itulah mengapa Bang Along dibawa pulang saja, sebab pihak rumah sakit tidak sanggup berbuat apa-apa lagi, selain menunggu kematiannya.
Debukkk
Tak sengaja aku menabrak lemari ketika hendak beranjak. Mamak dan bapak melihatku, dan memanggilku untuk duduk bersama mereka. Mamak bercerita mengenai kondisi Bang Along dan ternyata selama ini mereka pergi bertiga, meninggalkanku sendiri di rumah untuk mengobatkan Bang Along, mereka juga sengaja menuruti semua keinginan, dan selalu mengutamakan dirinya sebab Bang Along sedang sakit parah.
Betapa berdosanya aku yang sudah membenci abangku sendiri, sebab cemburu yang tak terelakan dalam kalbu. Amarah dan rasa geram menutup mataku melihat mana yang baik dan buruk. Aku menyesal sudah membenci Bang Along. Aku berlari ke kamarnya, memeluk dengan erat.
“Angah, minta maaf,” ucapku sambil mendekapnya dalam pelukkan.
Bang Along hanya diam dengan mata tertutup, wajahnya pucat. Tangannya dingin. Aku benar-benar menyesal telah berprasangka buruk padanya selama ini. Maafkan aku, Bang Along…
Rumah Diksi, 28 Mei 2021

Tentang Penulis : Siska Dewi, lahir di Kecamatan Tebing Tinggi, Desa Paya Lombang yang merupakan mahasiswi semester akhir di UINSU Medan. Siska mahasiswi prodi sistem informasi yang giat menulis di komunitas Diskusi Sastra Indonesia.

———- *** ———

Rate this article!
Bang Along,5 / 5 ( 1votes )
Tags: