Gegap gempita menyambut Timnas U-22 setelah memenangi podium tertinggi SEA Games, masih terasa. Bagai penglipur dahaga selama 32 tahun tidak merasakan juara sepakbola se-Asia Teggara. Timnas bermain “sempurna,” dengan memenangi seluruh (6 laga) pertandingan, sejak penyisihan grup hingga final. Menandakan Indonesia bisa bangkit dalam perburuan medali emas sepakbola. Terutama pada even khusus sepakbola piala AFF (ASEAN Football Federation).
Timnas sudah membangun “mental juara.” Karena beberapa berlaga pada level Asia Tenggara. Selalu kandas. Harus diakui ada perasaan “takut” saat menghadapi timnas Thailand. Lalu bertambah “takut” pada Vietnam. Problem mental, menyebabkan Timnas Garuda sering dikandaskan. Termasuk “dipecundangi” pada ajang AFF trahun 2022, dengan sistem head to head. Gagal mencapai final, walau dalam posisi juara grup, di atas Vietnam dan Thailand.
Penyebabnya? Timnas tidak mampu mencetak gol Ketika lawan Vietnam dan Thailand (berakhir 0-0). Sedangkan laga Vietnam vs Thailand, bisa terjadi gol (1-1). Skor ini menjadi protes PSSI, dianggap sebagai “sepakbola gajah.” Masyarakat gibol (penggila bola) sudah menunggu selama lima periode final AFF. Gagal pula pada kesempatan ke-enam. Maka kemenangan pada ajang multi even (SEA Games), terasa Bagai mem-bangun-kan mental juara.
Timnas U-22 juga mencatatkan dua nama top skor SEA Games, melalui Muhammad Fajar Fathur Rahman, dan Ramadhan Sananta. Keduanyanya masing-masing mencetak 5 gol. Namun permainan cemerlang Timnas tidak lepas dari peran gelandang. Pada lapangan tengah, antara lain terdapat Marselino Ferdinan, Witan Sulaiman, Irfan Jauhari, Ananda Raehan, Taufany, dan Beckam Putra. Seluruh pemain tengah, juga membuat gol. Bahkan pemain belakang, Pratama Arhan, dan Muhammad Ferarri, juga membuat gol.
Anak asuh Indra Sjafri, patut memperoleh penghargaan lebih (berupa bonus uang dari Ketua Umum PSSI) dari Presiden Jokowi. Melalui kemenangan dengan skor telak 5 – 2, sekaligus menghapus rasa “takut” bermain melawan Thailand. Juga terbukti bisa menjadi superioritas saat melawan Vietnam, walau dengan 10 pemain (tanpa bek, Pratama Arhan). Kemenangan melawan Vietnam (dengan skor 3 – 2) pada Injury time, mengantar Timnas Garuda, melaju ke babak final.
Menjadi juara sepakbola pada ajang multi even SEA Games, patut dirayakan. Sudah 32 tahun lalu, podium tertinggi berlalu. Saat ini piala emas ke-3, setelah tahun 1987, dan 1991. Sejak pertama kali SEA Games digelar (tahun 1959), Thailand sudah 16 kali menjadi juara sepakbola. Disusul Malaysia (6 kali), Myanmar (5 kali), dan Vietnam (3 kali). Begitu pula predikat juara umum, masih kukuh didominasi Thailand (13 kali), disusul Timnas Indonesia (10 kali).
Pada ajang SEA Games, Timnas Indonesia masih kalah disbanding Thailand. Termasuk pada ajang SEA Games ke-32 di Kamboja. Realitanya, Indonesia hanya mampu menempati peringkat ketiga. Juara umum, kini di-raih Vietnam dengan total 355 medali (136 emas, dan 105 perak). Prestasi Vietnam pada level ASEAN akan menjadi ancaman Timnas Indonesia. Bisa jadi, Timnas akan menjadi “langanan” juara ketiga. Di bawah Thailand, dan Vietnam.
Harus diakui, tidak mudah meraih emas. Negara tetangga, juga mengalami proses serupa, sama-sama tidak mudah. Tidak mudah meraih 276 medali (dengan 87 emas, dan 80 perak). Namun realitanya, negara tetangga lebih berprestasi. Pendulang medali Timnas terbanyak masih tergolong Cabang olahraga (Cabor) “tradisional.” Yakni, Pencaksilat, atletik, dan Badminton.
Indonesia dengan jumlah penduduk, dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) terbesar di ASEAN patut memperoleh posisi lebih dari peringkat ke-3.
——— 000 ———