Bangkitkan Keguyuban

Pada masa pandemi global, visi Boedi Oetomo, patut digelorakan sesama anak bangsa. Terutama memperkuat “ikatan” kebangsaan yang plural (bhinneka tunggal ika). Bangga menjadi bangsa Indonesia yang memiliki keragaman suku bangsa, dan bahasa. Pergerakan Boedi Oetomo sesungguhnya aktifitas politik tingkat tinggi, namun tidak pragmatis. Sehingga mampu menarik kalangan “mapan” (priyayi, bangsawan Jawa), dan intelektual memajukan bangsa yang tertindas bangsa asing.

Boedi Oetomo, didirikan bukan sekadar menggali rasa nasionalisme. Karena sejak 200 tahun sebelumnya, rasa nasionalisme selalu berkobar, secara terang-terangan, maupun sembunyi-sembunyi. Digelorakan di surau-surau, dan masjid, sekaligus di-transformasi-kan sebagai kurikulum kalangan pengajaran pribumi. Namun nasionalisme (kebangsaan) seolah-olah kelelap penjajahan total. Spirit nasionalisme nyaris punah.

Hari pembentukan Boedi Oetomo (20 Mei) diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Selalu dilakukan seremonial kenegaraan. sebanyak 76 kali sejak kemerdekaan RI. Menjadi saat tepat me-reorientasi makna kebangkitan nasional, karena banyak elit (pusat dan daerah) terjebak politik pragmatis. Partisan pula, hanya berebut sengit kekuasaan pemerintahan. Berujung pada nafsu kapitalisasi kekayaan negara. Perilaku ke-negarawan-an nyaris punah.

Begitu pula bersaing rebutan kekuasaan melalui pemilu (dan pilkada) sering melupakan asas ke-gotongroyong-an pesaudaraan sesama bangsa. Menyebabkan keterbelahan sosial secara diametral. Ironisnya, suasana perpecahan bagai “dipelihara.” Terbukti, beberapa tokoh masih terlibat posting penistaan, dan ujaran kebencian di media sosial (medsos).

Politik pragmatis (dan partisan) bertentangan dengan visi Boedi Oetomo. Seperti ditulis RM Suwardi Suryaningrat (bagian public relations), “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu). Visi politik kebangsaan Boedi Oetomo di-propaganda-kan oleh Suwardi Suryaningrat, dan diadopsi ke dalam konstitusi Negara Kesaatuan RI (NKRI). Antara lain, pembukaan UUD alenia pertama, dan alenia ke-empat.

RM Suwardi Suryaningrat, yang kelak dikenal sebagai Ki hajar Dewantara, menulis dalam surat kabar De Expres (yang dipimpin Douwes Dekker), menghujat pemerintah kolonial. Terbitan De Expres 13 Juli 1913, ditulis, “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas… .”

Visi kebangsaan Boedi Oetomo bertumpu pada memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan bangsa. Seperti tercantum dalam alenia ke-empat UUD-RI. Visi dilaksanakan melalui tradisi kebersamaan, gotongroyong, yang dimiliki seluruh suku bangsa Indonesia. Di Minahasa, disebut Mapalus. Suku Batak, juga memiliki tradisi Marsiadapari, yang dilakukan serentak di ladang untuk meringankan pekerjaan. Di Sulawesi Selatan juga biasa dilakukan Mappalette Bola, gotongroyong puluhan orang untuk memindahkan bangunan rumah.

Di Aceh juga terdapat tradisi Alang-tulung dalam kegiatan ekonomi (di kebun), dan kegiatan sosial bersama. Hal yang sama terdapat di Subang (Jawa Barat) disebut Sabilulungan. Ke-guyub-an sosial menjadi perekat kebangsaan. Namun bisa jadi, suasana nasional (politik, maupun kesenjangan ekonomi) bisa mempengaruhi spirit kebangsaan. Bisa pasang, bisa pula surut.

“Dimana bumi dipijak disitu langit di junjung.” Begitu kata pepatah, menunjukkan penghormatan terhadap rasa “se-bangsa,” sekaligus ke-setia kawan-an nasional. Dimulai dari kecintaan terhadap kampung tempat tinggal, serta menjaga pranata sosial. Namun spirit kebangsaan senantiasa memerlukan peng-gelora-an, agar tak lekang oleh suasana politik sesaat. Karena kebangkitan kebangsaan (nasional) tak kenal kata akhir.

Keguyuban sosial nasional patut digelorakan. Lebih lagi pada masa pandemi, telah melanda seluruh propinsi. Menyebabkan aksesi perekonomian menyusut tajam. Wabah pandemi harus dihadapi bersama, dengan gotongroyong, seperti visi Boedi Oetomo.

——— 000 ———

Rate this article!
Bangkitkan Keguyuban,5 / 5 ( 1votes )
Tags: