Bangsa yang Lupa Jati Diri

Oleh :
Abd Hannan
Pengamat sekaligus akademisi sosial di Pascasarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Belakangan ini, bangsa kita seolah terpolarisasi dan terpecah belah dari bentuk kodratinya yang majemuk, plural, dan bineka. Tenggara polarisasi dan perpecahan tersebut muncul seiring makin menyeruaknya ujaran-ujaran kebencian yang berseliweran di ruang public. segala tualang kebencian membuat bangsa kita seakan kehilangan akal sehat, kehilangan kesadaran akan jati diri sebenarnya.
Derasnya ujaran kebencian semakin menemukan momentum di saat arus informasi dan pemberitaan palsu (hoax) bergerak bebas, mengambil tempat di tengah panasnya sosial politik mejelang pilkada 2017. Beragam kebohongan, fitnah, dan penghasutan tersebar luas nan liar di dunia maya. Jejarin sosial seperti Facebook, Twitter, portal beritan online dan lainnya menjadi wahana utama. Ironisnya, banyak kalangan menyikapinya secara Taken for Granted, terperangkap dalam pusaran berita sempalan, menelan dan mengonsumsinya secara bulat dan mentah-mentah tanpa melakukan penyaringan akan kebenarannya.
Celakanya, sekian berita sampah yang muncul seringkali melibatkan isu-isu sosial berbau sensitive yang ada kaitannya dengan identitas; agama, etnis, suku, dan golongan. Isu seperti ini menjadi senjata ampuh mengelabuhi daya nalar sehat, memutarbalikkan fakta sehingga memantik perasaan emosi dan amarah. Pada waktu bersamaan, mereka ‘para peternak politik’ yang menggelagak ingin berkuasa tak segan melakukan berbagai upaya untuk mengipas keganasan perbedaan demi memuluskan tujuan dan kepentingan. Jadilah kemudian term-term penodaan agama, penistaan kitab suci, dan ancaman migran etnis tertentu disuguhkan sematang dan sebombastis mungkin sehingga membenturkan akal sehat, mengubur hati nurani terdalam dalam ruang kebencian yang memuncak.
Menyangkal Kodrati
Sejarah kebangsaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kodrati kita yang terbentuk dari kemajemukan, keanekaragaman, dan pluritas. Sedari dulu, setiap konsep, teori, gagasan yang dimunculkan menolak kodrati kemajemukan di negeri ini tidak pernah berhasil. Sejarah senantiasa bergerak dalam ruang pluralitas, dan agama pun datang mengambil tempat di tengah pluralitas. Dunial ini bukan suatu yang monolit, jadi memaksakan penyeragaman pemikiran apalagi keyakinan adalah kesia-siaan, karena sejak semula dari kelahirannya bangsa-negara ini terbentuk atas dasar kebinekaan dan pluralitas.
Dari mana kita dapat tahu akan kebinekaan dan pluralitas kita? sederhana saja menjawabnya. Dari segi konstitusional keberadaan kita di atas bumi pertiwi ini diikat oleh dasar filosofis negara, yakni Pancasila beserta turunannya berupa UUD 45. Dan itu juga diperkuat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini adalah representasi persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Adapun secara faktual bisa dilihat dari keragaman bangsa-negara kita, baik itu dalam hal natural ataupun kultural. Tengoklak ke sisi kiri dan kanan ke depan dan belakang. Lihatlah betapa bangsa ini didiami oleh macam rupa individu dengan logat bahasa dan ciri khas pakaian yang berbeda; ada yang berpostur tubuh tinggi, pendek, sedang; berwarna kulit putih, sawo mateng, hitam; berambul ikal, kriting, lurus. Diantara dari mereka semua ada yang lahir dari suku Bugis, Jawa, Minang, Papua, Batak, Dayak dan lainnya. Masing-masing hidup dalam keberagaman, saling mengisi dan saling menghidupi relegiusitas, budaya, tradisi dan seterusnya. Itulah fakta jati diri Indonesia.
Oleh sebab karenanya, segala bentuk kebencian yang ditujukan untuk mempertentangkan keberagaman sama halnya dengan menghancurkan tatanan bangsa, dan setiap tindakan yang diarahkan untuk melenyapkan tatanan kebangsaan sama halnya berusaha membumihanguskan kesatuan negara Indonesia. Demikian karena tatanan negara pada mulanya berawal dari tatanan kebangsaan, dan ini semua hanya dapat terjadi manakala ada penyangkalan terhadap jati diri bangsa-negara itu sendiri.
Pengingkaran Demokrasi
Bangsa ini sepakat bahwa sisi kebinekaan di negeri ini akan terwujud ketika dasar-dasar demokrasi dijalankan dari akar, termasuk mejaga kesatuan di tengah perbedaan. Demokrasi adalah kemufakatan yang dipilih bersama melalui kolektivitas dan kemantapan hati. Tak ada keraguan, apalagi pesimis menjadikannya tatanan berbangsa dan bernegara, karena di dalam demokrasi tumbuh mengakar nilai-nilai humanisme. Hal-hal yang ada kaitannya dengan latar suku, agama dan sejenisnya telah terkubur dalam ketika kesadaran dan hati nurani kita menasbihkan demokrasi sebagai dzikir utama kehidupan berbangsa dan bernegara.
Viscount Bolingbroke (1724) menjelaskan, demokrasi meniscayakan pada penerimaan diri terhadap perbedaan-perbedaan (politik), bahkan dengan perbedaan itulah menjadi musabab terwujudnya keseimbangan, kontrol, pengawasan dan memunculkan kekuatan baru. Multikulturalisme, pluralism dan sikap toleransi adalah jendela utama, penunjuk arah yang menghadirkan kebebasan, penghormatan, transparansi, kerukunan, kemakmuran, dan hak-hak warga secara menyeluruh. Sederhananya, standar kehidupan demokrasi merupakan suasana yang menjunjung tinggi kekeluargaan, keakraban, dan keadaban. Tidak saling menghasut, mengolok dan saling benci.
Oleh sebab itu, jika orientasi berpikir dan tindakan kita masih saja rasis dan fanatik terhadap perbedaan, maka sesungguhnya itu menandakan sekuat-kuatnya sikap dan tindakan penyangkalan kita pada makna kemajemukan. Itu artinya, ‘iman’ kita pada pesan-pesan jati diri kebangsan sebagaimana tertuang dalam semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika masih sebatas di lisan, namun inkar dalam sisi praktis.
———– *** ————

Rate this article!
Tags: