Bangun Kemandirian Ekonomi Lewat Desa Devisa

Oleh :
I Gede Alfian Septamiarsa
Kepala Sub Bagian Komunikasi Pimpinan / Pranata Humas Ahli Muda Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur

Dampak terjadinya pandemi COVID-19 telah terjadi di berbagai sektor. Termasuk terdapat efek perlambatan laju ekonomi baik di perkotaan maupun pedesaan. Hal tersebut membuat pemerintah mulai melirik dan mengembangkan potensi desa. Itu terlihat dari berbagai program yang digenjot untuk mendorong desa menjadi mandiri. Baik mandiri secara birokrasi maupun ekonomi.

Konsep pembangunan desa pernah diutarakan Bung Hatta pada buku yang berjudul “Beberapa Fasal Ekonomi”. Buku tersebut mengulas latar belakang masyarakat Indonesia pada masa kolonial Belanda.

Kota merupakan satu wilayah yang dipengaruhi kehidupan pada masa itu. Lalu desa merupakan area yang ditempati sebagian besar pribumi dengan beragam potensi. Karena itu, pada masa kolonial ada dua wajah pada produk ekonomi.

Kawasan pedesaan menjadi penyuplai komoditas bahan baku. Seperti sayur, beras, rempah-rempah, dan beragam produk agro lainnya. Kemudian kota menghasilkan barang olahan. Seperti kain, sepatu, tas, dan banyak komoditas lainnya.

Persamaannya adalah kedua wilayah tersebut memiliki potensi untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Lalu perbedaannya, jenis bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan produk komoditas tersebut. Perbedaan itu terasa dan membawa dampak besar pada saat COVID-19 melanda di Indonesia.

Perekonomian di desa cenderung sempat bertahan. Mereka mengandalkan bahan baku yang didapat dari alam. Berebeda dengan kota yang mengandalkan olahan. Mereka membutuhkan mesin, SDM, dan modal. Pandemi membatasi ruang gerak insdustri.

Produktivitas terganggu karena pembatasan jam kerja dan jumlah karyawan. Dampaknya, banyak karyawan yang dirumahkan. Efek lainnya, daya beli masyarakat menurun. Produk sulit terjual. Pertumbuhan ekonomi melambat.

Pedesaan di awal pandemi lebih stabil. Mereka tetap bisa bercocok tanam, mengolah hasil tanam lalu mengirim ke kota. Aktivitas ekonomi tetap bergerak. Dampak pandemi mulai terasa ketika daya beli masyarakat perkotaan turun. Pergerakan ekonomi desa menjadi lambat.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki langkah taktis dalam menyikapi fenomena itu. Di saat pandemi melandai, pemerintah provinsi menguatkan potensi yang dimiliki masyatkat pedesaan. Aktivitas ekonomi yang semula separuh jalan. Proses produksi tuntas di desa dan siap dikirim ke kota dalam bentuk komoditas siap jual.

Karena itu, program Desa Devisa menjadi strategi yang dianggap tepat. Pelaku usaha di tingkat pedesaan didorong mampu membuat produk yang berkualitas dan daya saing. Tidak hanya itu, pemerintah turut memikirkan perkembangan pasar mereka. Dengan begitu, pelaku usaha di pedesaan bisa merambah pasar internasional.

Desa Devisa merupakan salah satu program yang dipelopori Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)/Indonesia Eximbank untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing komoditas yang dihasilkan suatu wilayah. Bahkan bisa jadi memperluas pasar hingga ke mancanegara.

Program Desa Devisa dapat memberikan pendampingan dan pengembangan kapasitas pelaku usaha berorientasi ekspor. Sehingga para pelaku usaha ini tentunya sangat terbantu agar produknya dapat memenuhi kualitas dan kuantitas sesuai standar ekspor.

Adanya program desa devisa tersebut disambut baik oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Bahkan dalam setiap kunjungannya ke daerah-daerah, Khofifah seringkali mengecek potensi desa-desa yang ada Jawa Timur untuk diusulkan sebagai desa devisa.

Bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Program Desa Devisa ini dapat menjadi pelecut kebangkitan ekonomi mulai dari usaha desa untuk mengentaskan kemiskinan.

Sebagai contoh ketika berkunjung ke Kabupaten Blitar, tepatnya pada Desa Minggirsari Kecamatan Kanigoro memiliki keistimewaan memproduksi Kendang Djimbe. Kendang Djimbe ini telah merambah pasar mancanegara di China dan sedang mencoba pangsa pasar di Brazil. Sehingga patut diusulkan ke LPEI sebagai desa devisa.

Saat di Kabupaten Madiun, Oemah Batik Candi di Desa Candimulyo Kabupaten Madiun layak untuk diusulkan menjadi satu dari 15 desa devisa karena selama ini sentra batik tersebut konsisten dengan produk batik tulisnya.

Selain di Oemah Batik Candi di Desa Candimulyo Kabupaten Madiun, sebelumnya Mantan Mensos RI itu telah berkunjung ke Desa Plumbon Gambang, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang yang memiliki potensi sebagai penghasil manik-manik berbahan dasar limbah beling yang telah memiliki pasar ekspor.

Gubernur Khofifah juga telah berkunjung ke Desa Margorejo dan Desa Kedung Rejo di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban sebagai desa perajin batik tulis tenun gedog khas Tuban.

Di Jawa Timur sendiri tercatat pada Oktober tahun 2021, baru 3 desa yang sudah disetujui oleh LPEI dan sudah mendapatkan penguatan sebagai Desa Devisa. Ketiga Desa tersebut berada di Desa Devisa Tenun Gresik, Desa Devisa Rumput Laut Sidoarjo, dan Desa Devisa Agrowisata Ijen Banyuwangi. Sementara untuk tahun 2022 terdapat kuota dari LPEI sebanyak 15 desa untuk dijadikan sebagai desa devisa, yang diharapkan bisa diperluas hingga 20 desa devisa untuk Jawa Timur pada tahun 2022.

Untuk dapat diusulkan menjadi desa devisa, sebuah desa harus memenuhi beberapa kualifikasi yang ditetapkan LPEI. Diantaranya memilki produk yang unik, memiliki produk mandiri, terdapat beberapa pengrajin dalam desa tersebut, dan pengrajinnya telah ada dalam satu asosiasi.

Adapun beberapa syarat menjadi desa devisa diantaranya produknya unik, produk sendiri bukan menjual produknya jasa lain jasa devisa, satu desa itu ada beberapa unit pengrajinnya, serta di desa itu unit pengrajin ini sudah terasosiasi dalam pengelompokan koperasi atau asosiasi.

Jika program desa devisa ini terus ditingkatkan, maka ada harapan bisa meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat setempat. Selain itu juga dapat semakin meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat utamanya bagi daerah yang tersentuh oleh pengembangan komoditas dan program desa devisa.

——— *** ———-

Tags: