Bangun Sportivitas Olahraga Sepakbola

Oleh :
Dr Lia Istifhama, MEI.
Sekretaris MUI Jatim

Tragedi pesepakbolaan di stadion Kanjuruhan Malang, menjadi catatan tragedi 2022 yang tak terlupakan di negeri ini. Meninggalnya ratusan orang dalam Laga Arema FC vs Persebaya Surabaya pada Sabtu malam 01/1/2022, menjadi tragedi sepakbola paling mematikan kedua di dunia, setelah insiden di Estadion Nacional, Peru. Saat itu, tepat pada 24 Mei 1964, terjadi perkelahian antar supporter di tengah Laga Timnas Peru vs Argentina, yang kemudian menewaskan 328.
Tragedi di tengah suasana yang seharusnya dipenuhi dengan nuansa suka cita sang pecinta bola, kemudian justru menghadirkan nuansa duka cita. Hal ini kemudian menjadi atensi publik, yang mana potret euforia masyarakat usai dua tahun mengalami pandemi dengan segala keterbatasan kegiatan berkumpul saat itu, harus disikapi bijak oleh kita semua.

Kehidupan asosiasional, penguat solidaritas
Rasa bahagia masyarakat untuk berkumpul bersama sesama anggota masyarakat lainnya, menjadi penanda kuatnya kehidupan asosiasional (associational life), yaitu yang dapat dimaknai sebagai potret kuatnya jaringan hubungan sosial di tengah masyarakat. Potret ini tentunya potensi kuatnya modal bangsa, namun justru karena kuatnya potensi tersebut, pembangunan mental bangsa bermodal sosial justru harus lebih dikuatkan.
Modal sosial inilah yang diharapkan sebagai benteng terjaganya masyarakat madani (civil society), yaitu masyarakat beradab yang memiliki solidaritas sosial tinggi unuk kemudian menjadi pondasi penguat kedamaian dalam suatu bangsa.
Dijelaskan oleh Francis Fukuyama (2000), bahwa ketiadaan masyarakat sipil dalam suatu negara, juga menyebabkan negara memiliki tugas berat, yaitu mengatur individu-individu yang mereka tidak bisa mengatur diri mereka sendiri. Dengan begitu, terbentuknya masyarakat sipil melalui modal sosial dan kolektivisme, menjadi kekuatan bagi suatu negara.
Sedangkan dalam Islam sendiri, karakter solidaritas sosial dalam masyarakat, terlihat jelas sebagai identitas dari ukhuwwah Islamiyyah, yaitu persaudaraan dalam hubungan antar manusia (hablum minannas).
Ditarik pada realita saat pandemi, modal sosial terbukti telah menjadi indikator penting kemampuan bangsa Indonesia melewati masa krisis saat itu. Tingginya solidaritas sosial masyarakat terbukti dalam berbagai potret nyata gotong royong antar masyarakat, mulai dengan masifnya pembagian masker, makan gratis, hingga peminjaman tabung oksigen yang dilakukan antar warga. Fakta inilah yang menjadi pengejawantahan teori Michael Woolcock tentang “social capital’, bahwa modal sosial merupakan bentuk asosiasi yang menjadi aset penting perilaku saling membantu ketika salah satu individu lainnya dalam situasi krisis.
Sikap tolong-menolong atau yang merupakan bagian dari altruism, dalam Islam diterangkan sebagai at-ta’awun, yaitu perilaku resiprositas (saling timbal balik) dalam kebaikan. Ikatan tersebut menjadi penguat institution as a relative, yaitu relasi kelembagaan, yang mana individu mengenal simbol hubungan sebagai sister, brother, meski tidak sedarah. Karakter-karakter masyarakat dalam kehidupan asosional tersebut, merupakan indikator penting lahirnya generasi bangsa yang memiliki tepo seliro satu sama lain.

Membangun Sportifitas Melalui Modal Sosial

Kembali kepada tragedi pesepakbolaan di Malang 1/10/22 kemarin, maka kita pun tertampar bahwa pembangunan mental bangsa yang berkarakter modal sosial, belum berhasil sepenuhnya. Negeri ini butuh karakter bangsa yang kuat, dan karakter utama adalah dengan kuatnya sportifitas di berbagai momen kehidupan, tak terkecuali di sebuah kompetisi.
Dalam sejarah persepakbolaan misalnya, beberapa tragedi yang ditengarai akibat lunturnya sportifitas, menjadi alasan turunnya sanksi berat bagi negara terkait. Sebelumnya, FIFA pernah menjatuhkan sanksi berat terhadap klub Inggris ketika terjadi tragedi Heysel pada 29 Mei 1985. Saat itu, setidaknya ada 39 orang tewas dan 600 orang lainnya terluka sehingga menyebabkan pada 2 April 1985, UEFA memberikan hukuman larangan bermain untuk klub-klub Inggris di kompetisi Eropa untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Meski kemudian, pada Desember 1985, FIFA mengumumkan bahwa klub Inggris bisa memainkan laga persahabatan di Eropa.
Namun, sportifitas yang ditekankan pada tulisan ini bukanlah sekedar etika memiliki sikap legowo di dalam sebuah kompetisi pertandingan, melainkan sikap legowo dalam setiap situasi yang dihadapi. Mengingat, usainya pandemi telah membuka kran masifnya kegiatan berkumpul di tengah masyarakat. Sebut saja euforia konser musik. Berkumpulnya masyarakat di dalamnya tidak memiliki relevansi sebuah pertandingan antar yang didukung dengan lawannya, melainkan sepenuhnya potret masyarakat yang merindukan nuansa hiburan bersama masyarakat lainnya.
Sikap sportif tetap dibutuhkan, karena ternyata masyarakat masih memiliki lawan yang tak terlihat oleh kasat mata, yaitu sikap individual yang berlebihan. Sebagai contoh, ingin mendapatkan posisi ternyaman saat menonton konser musik, ataupun ingin berkumpul dengan ikatan dalam linking social capital-nya, yaitu teman satu komunitasnya, namun ternyata tanpa disadari telah menghalangi penonton lainnya untuk memiliki hak sama dalam menikmati pertunjukan musik.

Nobody Wanted War
Tegas diterangkan oleh Ralph K White, bahwa nobody wanted war, tidak seorangpun yang menyukai peperangan (konflik). Tidak ada manusia yang memiliki niat menciptakan konflik, terlebih kerusuhan ataupun peperangan. Namun mengapa masih terjadi konflik-konflik sosial masih rentan terjadi? Menarik kemudian menganalisa karakter yang disebut Ralph K White sebagai penyebab terjadinya konflik, antara lain diabolical enemy image (pandangan bahwa musuh jahat seperti setan), vipile self image (pandangan bahwa dirinya jantan), moral self image (pandangan dirinya lebih bermoral), selective inatention (tidak memperhatikan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan), absence of emphaty (tidak adanya empati), military over confidence (keyakinan yang berlebihan akan kekuatannya).
Karakter-karakter yang terbentuk akibat gagalnya membangun sportifitas berdamai dengan pikiran diri sendiri, akan sangat mudah tersulut emosi saat berhadapan dengan situasi di luar ekspektasi atau harapannya. Terlebih, saat terjadi provokasi yang menyulut timbulnya prasangka sosial akibat fanatisme yang berlebihan, apalagi kepada sesama manusia.
Berbicara fanatisme, sangatlah penting karena tidak ada manusia yang mampu memberikan kesempurnaan atas keinginan manusia lainnya. Sedangkan, fanatisme berlebihan akan menjadi beban bagi manusia itu sendiri, guna mencoba memenuhi kesempurnaan tersebut.
Pada akhirnya, penting bagi kita semua untuk memiliki internalisasi diri akan nobody wanted war, bahwa kita sebagai makhluk sosial memiliki sikap welas asih satu sama lain dan tidak mungkin ingin membawa kerugian bagi manusia lainnya. Maka, marilah kita senantiasa membangun sportifitas dan kita jaga euforia sebagai bentuk penguat kita untuk berkumpul dengan bahagia bersama manusia lainnya yang teafiliansi dalam ikatan sosial dengan kita.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: