Banjir dan Tanggung Jawab Hukum

Aan EffendiOleh:
A’an Efendi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember

Datangnya musim hujan menjadi peringatan nyata bagi warga Kota Surabaya untuk bersiap menyambut datangnya “musim banjir”. Benar saja, hujan deras perdana yang mengguyur Kota Surabaya (5/12/2004) telah mengubah wilayah Surabaya menjadi “lautan”.
Tanah yang harusnya menjadi tempat resapan air hujan dan kemudian menyimpannya menjadi air tanah untuk kehidupan tak lagi mampu menjalankan perannya. Sungai-sungai yang mestinya menjadi tempat bersemayamnya air hujan telah over load dan akibatnya air bebas mengalir ke mana saja tanpa kendali. Air hujan mengalir sampai jauh dan tanpa pandang bulu menerjang apa saja yang ada dihadapannya. Hujan yang sejatinya berkah berubah menjadi musibah.
Bencana banjir tidak terjadi karena “alam sudah bosan bersahabat dengan kita” sebagaimana dendang merdu nan mendayu Ebit G. Ade. Alam tidak punya kehendak apalagi kehendak jahat untuk menyengsarakan umat manusia. Manusialah yang punya banyak kehendak dan keinginan dan tentu saja kemampuan mewujudkan kehendak dan keinginannya itu. Sebaliknya, manusialah yang menampilkan dirinya sebagai musuh lingkungan. Manusia yang tidak mau bersahabat dengan alam.
Dalam konteks bencana banjir di Surabaya, lihat saja bagaimana para penghuni Kota Surabaya berperilaku terhadap lingkungannya. Tanpa segan apalagi malu warga Surabaya telah merampas tempat-tempat di mana seharusnya air hujan berdiam. Akibatnya air hujan menjadi liar mencari tempat lain untuk pelabuhannya. Tanpa rasa risih selokan air (got) dijadikan tempat sampah. Sungai-sungai menjadi tong sampah massal nan gratisan untuk membuang limbah rumah tangga dan pabrikan.
Seakan tak mau ketinggalan, laut yang  harusnya berfungsi sebagai tempat akhir perjalanan air hujan dari sungai telah beralih fungsi menjadi penyangga hunian mewah kaum elit. Belum cukup semua itu, lahan yang mestinya untuk tempat resapan air hujan pun telah dirampas untuk dijadikan “taman-taman beton”. Jadi, apabila kini banjir datang menghampiri maka sebenarnya warga Surabaya telah memanen apa yang telah mereka tanam sendiri. Ibarat pepatah “siapa menabur angin ia yang akan menuai badai”.
Gerakan penyadaran terhadap warga Surabaya agar “bertaubat” dari tabiat buruknya terhadap lingkungan mendesak dilakukan dan itu menjadi tanggung semua stakeholders di Surabaya. Memang, berbicara lingkungan tidak berbicara tentang lingkunganku atau lingkunganmu tetapi lingkungan semua orang yang hidup. Pemerintah Kota, DPRD, akademisi, aktivis lingkungan, para pemuka agama, dan semua yang peduli lingkungan harus kerja bareng dengan menampilkan “tupoksinya” masing-masing untuk itu. Tanpa perubahan tabiat warga Surabaya terhadap lingkungannya maka harapan Surabaya yang bebas banjir hanya akan menjadi mimpi. Yang nyata bukan Surabaya bebas banjir tapi banjir bebas di Surabaya.
Dulu Surabaya punya Perda Kota Surabaya No. 4 Tahun 2000 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Pasal 25 Perda ini melarang setiap orang membuang  sampah  di  sungai-sungai,  selokan-selokan  atau  got-got,  riol-riol,  saluran-saluran,  jalan-jalan  umum,  tempat-tempat  umum, trotoar-trotoar atau di tempat umum lainnya. Barangsiapa melanggar larangan ini diancam hukuman kurangan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak lima juta rupiah. Namun Perda ini tidak mampu membendung orang untuk membuang sampah sembarangan. Perda yang bagus ini tidak ditegakkan dengan baik dan konsisten. Jadinya Perda ini hanya macan kertas, dibuat tapi tidak untuk ditegakkan. Kini Perda ini telah dicabut dengan Perda Kota Surabaya No. 10/2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Berbeda dengan Perda yang sebelumnya, Perda No.10/2012 tidak mengatur mengenai larangan membuang sampah sembarangan. Baru saat disusun Rancangan Perda Kota Surabaya tentang Pengelolaan Sampah diatur kembali tentang larangan membuang sampah sembarangan. Tidak main-main, bagi siapa saja yang membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan bisa dijerat hukuman denda paling banyak lima belas juta rupiah dan kurungan paling lama dua bulan. Apabila Raperda ini nanti disahkan menjadi Perda maka yang dibutuhkan adalah penegakan hukumnya yang konsisten. Jika tidak maka Perda ini nasibnya akan sama dengan Perda No.4/2000. Hanya dibuat tapi tidak untuk ditegakkan.
Tanggung Jawab Hukum Pemkot
Dari sudut pandang hukum, Pemkot Surabaya adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk tampil di depan perang menghadang laju bencana banjir. Hukum lewat UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menyematkan amanah mulia kepada Pemkot Surabaya untuk melakukan pengelolaan lingkungan di Surabaya. Meminjam istilah pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo, Pemkot Surabaya memiliki kewajiban untuk ngrumat-ngramut-ngruwat lingkungan. Pengelolaan lingkungan bertujuan untuk melindungi lingkungan supaya terjaga dari kerusakan yang ujungnya mengakibatkan pelbagai bencana lingkungan, termasuk bencana banjir yang seperti telah menjadi agenda tahunan di Surabaya.
Dalam menjalankan amanahnya melakukan pengelolaan lingkungan, oleh hukum (UU No.32/2009) Pemkot Surabaya diberikan kekuasaan-kekuasaan yang harus didayagunakan untuk mencegah perilaku merusak lingkungan dan memaksa setiap orang untuk mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat untuk melindungi lingkungan. Kekuasaan penting Pemkot Surabaya yang dalam hal ini yang dilakukan oleh Walikota Surabaya adalah menerbitkan izin lingkungan dan melakukan penegakan hukum lingkungan. Izin lingkungan dan penegakan hukum lingkungan adalah alat bagi Pemkot Surabaya untuk menjaga lingkungan Surabaya dari kerusakan oleh aktivitas manusia.
Izin lingkungan adalah syarat wajib bagi setiap orang atau korporasi yang akan melaksanakan usaha atau kegiatan di wilayah Surabaya yang mana usaha atau kegiatan itu memiliki kecenderungan atau berpotensi merusak lingkungan. Tanpa memiliki izin lingkungan maka usaha atau kegiatan itu dilarang untuk dilakukan dan apabila nekat dilakukan berarti telah terjadi kejahatan lingkungan. Aparat Kepolisian di Surabaya dapat langsung bertindak bila di wilayah Surabaya ditemukan kejahatan lingkungan oleh karena kejahatan lingkungan bukan kejahatan aduan. Purna terbitnya izin lingkungan oleh Walikota tidak menjadikan kewenangan Walikota selesai atau berhenti. Kewajiban Walikota terus berlanjut melakukan penegakan hukum untuk menciptakan ketaatan hukum bagi pemegang izin lingkungan.
Di sini Walikota melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa pemegang izin lingkungan mematuhi syarat izin yang telah ditetapkan. Bila ditemukan pemegang izin lingkungan yang mokong tidak mematuhi syarat izin lingkungan maka tindakan Walikota adalah menjatuhkan sanksi mulai yang paling ringan teguran dan paling berat pencabutan izin.
Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa dalam perkara lingkungan penegak hukum utama adalah Walikota bukan Polisi, Jaksa, atau Hakim. Walikota dengan kewenangannya yang mampu mencegah mencegah dan menghentikan kerusakan lingkungan yang terjadi di Surabaya. Apakah Pemkot Surabaya telah menjalankan amanah hukumnya dengan baik? Kapan Pemkot Surabaya mampu menjadikan hujan sebagai nikmat bukan laknat bagi warga Kota Surabaya? Kita tunggu saja aksinya.

                                                     ———————— *** ———————-

Rate this article!
Tags: