Banjir di Kab.Sidoarjo Merupakan Berkah Warga

Calon Bupati Sidaorjo, Saiful Ilah memperhatikan sungai yang sudah dipenuhi sampah.

Calon Bupati Sidaorjo, Saiful Ilah memperhatikan sungai yang sudah dipenuhi sampah.

Sidoarjo, Bhirawa
Banjir yang menggenangi Kab Sidoarjo jangan dianggap bencana, justru ini merupakan berkah dan hidayah dari Allah untuk mengingatkan. Bagaimana perlunya menjaga lingkungan, membersihkan saluran, stren sungai dan tak membuang sampah di sungai.
Sebagian masyarakat sudah kehilangan budaya malu, sungai yang seharusnya dijaga kebersihan malah dianggap tempat pembuangan sampah. Sampah dapur, pembalut wanita, pampers adalah kotoran yang banyak dibuang di sungai. Mereka beranggapan kalau pampers tak dibuang ke sungai, pantat anak Balitanya bisa korengen. Entah siapa yang mengajarkan hal itu.
Lutfi, warga Tanggulangin, benar-benar pusing, melihat sampah menumpuk di saluran di bawah jembatan dekat rumahnya. ”Saya sudah sediakan tempat sampah untuk mereka yang biasa membuang sampah di saluran itu. ternyata sia-sia,” ujarnya.
Masyarakat pencinta buang sampah di saluran itu tetap saja tak berubah. Padahal tempat sampah yang disediakan di bibir jembatan itu untuk mencegah saluran yang tembus ke afvur Alo itu itu bebas sampah. Ia bersedia membakar sampah agar saluran menjadi bersih.
Di Sungai Buntung yang menghubungkan Mlirip, Mojokerto sampai Tambak Sumur, Kec Waru, Sidoarjo, bahkan lebih miris. Di persimpangan jembatan mulai dari Kepuh Kiriman, Wedoro, Kedungrejo sampai Wadungasri, sering terlihat pelempar sampah itu membuang seenaknya. Tanpa tolah toleh dan tanpa kuatir ada yang menegur. Seolah kebiasaan buruk ini sudah menjadi budaya didaerah ini.
Biasanya sampah itu dilempar dari atas motor, jatuhnya sampah yang beraroma busuk itu terkadang nyantol di pipa saluran di bawah jembatan. ”Saya pernah menegur, malah dipelototi,” ujar Hamid, warga Kepuh Permai, Waru.
Malah yang lebih ekstrim, saat diingatkan, oknum itu berteriak. ”Kali iki uduk wekmu. Gak usah nglarang (sungai ini bukan milikmu, jangan melarang-larang),” salah paham seperti ini yang mmebuat warga seperti dirinya akhirnya cuek dan malas berurusan dengan oknum nekat itu.
Hamid menduga, pelempar sampah di sungai itu adalah para pendatang yang kos. Biasanya tempat kos tak menyediakan tempat sampah atau pengangkutan sampahnya tak dikordinir. Tak mau sampahnya menumpul di rumah kos, akhirnya sambil berangkat kerja, sampah yang dibungkus kresek plastik itu dibawa untuk dilempar ke sungai. Itu baru sampah dapur, parahnya ada yang membuang kasus bekas. ”Malah saya pernah menemukan spring bed rusak di buang di sungai,” ujarnya.
Penyerobotan stren sungai sudah menjadi trendi di Sidoarjo. Hampir semua stren dari tiga sungai besar seperti Sungai Alo, Pucang dan Buntung sudah dipenuhi dengan bangunan. Paling parah yang berada di Sungai Buntung. Mulai dari Krian sampai Waru sudah rapat dipenuhi bangunan. Stren yang seharusnya jalan inspeksi untuk mengeruk kotoran sungai, menjadi tidak normal. Petugas pengerukan sulit melakukan normalisasi karena hilangnya jalan inspeksi.
Ketua DPC Partai Demokrat, H Sarto mengatakan, banjir ini merupakan cara Allah mengingatkan masyarakat. Terutama masyarakat Sidoarjo untuk peduli terhadap lingkungan. Sudah lama sebenarnya kesewenang-wenangan masyarakat dilakukan terhadap sungai. Penjarahan terhadap stren sungai, membuang sampah dan lain sebagainya. Allah mempunyai banyak jalan untuk mengingatkan masyarakat, mungkin cara ini bisa menyadarkan kita semua. Kalau ternyata masih tak bisa, Allah akan memberikan ‘berkah’ lebih keras lagi. Itu semua tergantung dari manusia sendiri, kalau kita ramah dengan alam, maka alam akan menjaga kita.
Ironisnya yang menjarah stren, bukan hanya warga, tetapi juga industri. Seperti halnya di pabrik di Medaeng-Bungurasih yang menggunakan stren sebagai gudang. Petugas pemerintah sendiri tak bisa masuk ke dalam stren, bila tak izin satpam. Padahal sungai dan stren seharusnya bebas dari akses masyarakat.
H Sarto meminta, timbulnya banjir ini menjadi bahan intropeksi pemerintah daerah, masyarakat, pemilik pabrik untuk kerjasama menjaga lingkungan. Pengerukan sungai atau normalisasi hendaknya tak dilakukan simultan, tetapi harus menyeluruh mulai dari hulu sampai hilir. Masyarakat harus di edukasi pentingnya menjaga sungai karena dampak banjir ini akan menimbulkan masyarakat juga.
Kepala DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) Sidoarjo, Bahrul Amig, juga kesal melihat perilaku masyarakat yang abai terhadap lingkungan. DKP sampai membangun jarring berupa pot tanaman hidup untuk menutup pagar jembatan sungai agar masyarakat tak bisa membuang sampah di sungai. ”Tetapi tetap saja sulit dikendalikan,” terangnya. [hds]

Tags: