Bansos, Rokok, dan Kemiskinan

Umar Sholahudin

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Mahasiswa S-3 FISIP Unair

Mulai Januari 2021, pemerintah melalui Kementerian Sosial akan menyalurkan dana cash atau bantuan langsung tunai untuk masyarakat miskin dengan total anggaran sebesar 110 trilu secara bertahap. Program Kelurga Harapan (PKH) mendapat alokasi sebesar Rp 7,17 triliun, kartu Sembako dengan anggaran sebesar Rp 3,3 triliun, dan Bansos tunai sebesar Rp 3 triliun. Per Gakin akan menerima Rp 300 ribu/bulan. Bansos tunai akan produktif dan sangat membantu masyarakat, jika tepat sasaran dan tepat pemanfaatannya, khususnya tidak digunakan untuk membeli rokok (JP, 6/1/2021) . Karena itu, gagasan Mensos Tri Risma Harini patut untuk kita dukung.
Larangan Mensos agar Bansos tunai tidak digunakan untuk membeli rokok sangat beralasan, mengingat konsumsi rokok menjadi salah satu biang kerok susahnya angka kemiskinan diturunkan. Berdasarkan data BPS maret 2020, angka kemiskinan Indonesia mencapai 26,42 juta jiwa atau 9,78% (meningkt dibanding Maret 2019 : 24,79 juta jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia, dengan menggunakan garis kemiskinan Rp 452.652/kapita. Lembaga Institute of Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi angka kemiskinan akan naik menjadi 10,34% karena dampa Pandemi Covid-19.
Menurut Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan yang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah seminar Asia Pasific Conference on Tobacco of Health (APACT) di Sydney, Australia yang berlangsung 2010 lalu, pernah mengatakan konsumsi tembakau, terutama rokok, memperburuk kemiskinan. Karena itu, kondisi ini harus menjadi kekhawatiran, terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai negara pengkonsumsi rokok ketiga terbesar di dunia setelah China dan India.
Indikasi besarnya konsumsi rokok pada kelompok masyarakat miskin juga ditegaskan oleh hasil penelitian Rijo M. John, dari American Cancer Society AS, yang mengatakan, di India konsumsi rokok meningkatkan angka kemiskinan 1,6%di desa dan 0,8% di daerah perkotaan serta menambah sekitar 15 juta orang miskin di India. Penelitian lain yang terkait, dari lembaga Demografi UI; uang untuk rokok sembilan kali pengeluaran pendidikan dan 15 kali pengeluaran kesehatan. Data dan faka ini semakin menguatkan, masyarakat miskin sebagai kelompok terbesar dalam konsumsi rokok. Dan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin semakin memperburuk kemiskinan mereka.

Rokok memperburuk Kemiskinan
Secara kasat mata, jika kita melihat kehidupan masyarakat miskin, maka kita tidak terlalu sulit menemukan para kepala keluarga miskin (Gakin) mengkonsumsi rokok. Bahkan di kalangan masyarakat miskin, rokok dianggap sebagai “obat stress” dari himpitan kemiskinan. Kepala Gakin lebih mengutamakan kebutuhan “hisap asap” daripada memberikan konsumsi gizi yang baik bagi anak-anaknya. Karena itu, tak heran jika keluarga miskin identik dengan gizi buruk. Bagaimana mau memperbaiki kesehatan anak dan Gakin, jika salah satu anggotanya masih menjadi perokok aktif.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statisik (BPS), masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan masih menghabiskan uangnya untuk membeli rokok setelah beras. Data BPS Maret 2020, menyebutkan dengan perkapita Rp 452.652/Gakin, komposisi garis kemiskinan didominasi 73,86% dari kelompok makan seeprti besar sampao rokok kretek. Padahal hal itu sangat kontraproduktif. Rokok merupakan “kebutuhan pokok” bagi warga miskin setelah beras. Karena itu cukup berasalan BPS mengatakan, salah satu faktor penghambat penurunan angka kemiskinan adalah konsumsi rokok..
Pada tahun 2017, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2KN). Setiap tahun pengeluaran untuk rokoj dari Gakin semakin meningkat. Dalam enam sampai tujuan tahun terakhir, jumlah perokok dari kalangan Gakin meningkat dari 30% menjadi 40%. ASEAN mempunyai 10% perokok dunia, sebesar 52,2% adalah perokok Indonesia. Sementara itu, hasil riset Studi Demografi UI menyebutkan, banyak rumah tangga termiskin atau berpenghasilan rendah yang terperangkap konsumsi rokok; sebanyak 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia (hampir 70 persen) memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Sedangkan 6 dari 10 rumah tangga termiskin (57 persen) memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Studi sejenis tahun 2002-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin perkotaan dan pedesaan membuktikan, kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang dengan orang tua merokok daripada tidak merokok. Kerugian yang diderita anak akibat merokok tidak hanya permasalaan malnutrisi. Ketika mereka meranjak remaja, kembali rokok menjadi suatu pokok persoalan yang mendera mereka kerena mereka menjadi target sasaran iklan rokok.
Perilaku merokok pada sebuah Gakin mengakibatkan gizi buruk pada anak karena orang tua lebih mengutamakan membeli rokok dibandingkan membeli beras, telor, ikan, dan makanan bergizi lainnya. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang anak balita.Tingginya angka balita yang bergizi buruk tentunya akan berpotensi meningkatkan angka kematian balita.

Sinergi dengan Program Kesehatan
Melihat fakta di atas, sudah saatnya program penanggulangan kemiskinan harus disinergikan dengan pengurangan konsumsi rokok pada Gakin. Program penyadaran kepada Maskin untuk berhenti merokok harus terus digalakan dan dikampanyekan. Memang tidak mudah merubah kebiasaan merokok di kalangan masyarakat miskin. Apalagi bagi perokok dari Gakin yang menganggap rokok dianggap sebagai alat penghilang stress. Menghilangkan konsumsi rokok pada keluarga miskin tentu saja tidak sekedar melalui panyadaran dan kampanye yang massif.
Dalam kajian sosiologi hukum, merubah kebiasaan buruk masyarakat tidak sekedar dilakukan melalui pidato dan kampanye, tapi harus diperkuat dengan adanya regulasi. Dalam konteks ini, merubah kebiasaan merokok dan mengurangi angka kemiskinan harus didukung dengan kebijakan yang memungkinkan Gakin bisa berhenti merokok. Salah satunya dengan tidak memberikan Bansos tunai kepada Gakin atau memastikan Bansos tunai tidak dipakai untuka memberi rokok.
Peningkatan kualitas kesehatan, terutama perbaikan gizi buruk Gakin melalui pemanfaatan Kartu Indonesia Sehat harus didukung dengan kesadaran para orang tua untuk tidak menghancurkannya dengan mengkonsumsi rokok. Para orang tua Gakin perlu diberikan pemahaman yang baik bahwa konsumsi rokok yang tinggi akan berakibat buruk pada kesehatan anak dan keluarganya. KIS dan Bansos tunai lainnya yang diberikan Gakin akan sia-sia belaka, jika masih ada para orang tua Gakin yang menjadi perokok aktif.

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: