Banyak Orang Tua di Jatim Tak Paham Gizi

Adriyanto

Adriyanto

Surabaya, Bhirawa
Untuk mengatasi masalah gizi buruk di Jatim perlu peran serta semua pihak dalam menanganinya. Sebagai pengambil kebijakan pemerintah diharapkan lebih proaktif dalam memberikan sosilisasi dan edukasi kepada masyarakat luas.
Ketua Persatuan Ahli Gizi (Persagi) Jatim Adriyanto mengatakan, salah satu penyebab terjadi gizi buruk, bukan disebabkan karena faktor kemiskinan melainkan kurang pahamnya orang tua dalam memberikan gizi terhadap anaknya. Di Jatim, Beberapa daerah yang masih langganan menyumbang angka gizi buruk ada pada Pulau Madura, Sibubondo dan Malang Selatan.
Berdasarkan data yang di miliki Persagi Jatim sebesar 39,6 persen orang tua tidak memiliki pegetahuan akan pemenuhan gizi, Sedangkan alasan kemiskinan hanya mencakup 21 persen, dan hal tersebut merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan
.”Prosentase gizi buruk lebih tinggi dari prosentase angka kemiskinan, itu PR yang harus dipikirkan,” ungkap Adriyanto.
Sementara itu ketika di singgung kasus gizi buruk di wilayah Surabaya, Adriyanto justru memberikan apresiasi pada kota Pahlawan, karena menurutnya Kota Surabaya dalam tiga tahun ini berhasil mengentas gizi buruk. “Terbukti, sudah tidak ada kasus gizi buruk di Surabaya,” ujarnya
Selain kasus gizi buruk, permasalahan balita pendek juga juga menjadi catatan Persagi, menurut Adriyanto berdasarkan data  setidaknya 36,5 persen dari jumlah penduduk Jatim yakni sebanyak 40 juta penduduk menderita penyakit ketidak proposionalan tinggi badan ini.
Oleh sebab itu Adriyanto menyarankan pada orang tua yang memiliki balita untuk tetap aktif memeriksakan anak ke posyandu. Karena menurut pakar gizi ini konsep posyandu sangat membantu dan bisa memantau berat badan anak, sehingga dapat diketuhui tentang kecukupan gizinya.
Staff Seksi Gizi Dinkes Jatim, Lies Setiowati mengaku, data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim kasus gizi buruk di wilayah Jatim sudah mengalami penurunan selama periode tiga tahun ini. Dari keseluruhan jumlah balita di Jatim yang mencapai 3.013.119 jiwa yang mengalami permasalahan gizi buruk sampai tahun 2014 mencapai 2 persen atau turun dari periode 2 tahun sebelumnya yang mencapai 2,2 persen.
Meski pengalami penurunan serta masih di bawah target nasional yaitu 3 persen. Namun angka penderita gizi buruk pada balita di Jatim ini masih masuk dalam taraf yang perlu diperhatikan. Khususnya setelah melihat hasil survei yang dilakukan Dinkes, kasus terbesar gizi buruk terjadi bukan karena kemiskinan namun lebih karena pola hidup dan pola asuh yang salah dari orang tua.
Banyak keluarga di Jatim yang secara finansial mampu namun karena pola hidup dan gaya hidup saat ini, yang lebih mengedepankan status sosial membuat perhatian serta asupan makanan kepada balita kurang diperhatikan.
“Selain gizi buruk Jatim juga mengalami balita pendek, dari 2013 sebesar 30,1 namun turun di 2014 sebesar 29 persen,” katanya,
Lies Setiowati menambahkan selain kasus gizi buruk, keamanan pangan di Indonesia khususnya Jatim tampaknya masih mengkhawatirkan. Banyak kasus keracunan makanan terjadi di Indonesia. Dalam beberapa minggu di tahun ini saja sudah terjadi kejadian luar biasa keracunan pangan di sejumlah daerah. Inilah yang masih harus menjadi PR besar pemerintah bersama dengan masyarakat untuk bisa bersama-sama menerapkan pola hidup yang sehat. [dna]

Tags: