Baru Berani Menjual Setelah Empat Tahun Menunggu Hak Paten

Dosen Arsitektur UM Surabaya Gunawan menunjukkan hasil karyanya berupa konsep fly over An Nahl yang berbentuk heksagonal seperti sarang lebah, Kamis (5/11).

Dosen Arsitektur UM Surabaya Gunawan menunjukkan hasil karyanya berupa konsep fly over An Nahl yang berbentuk heksagonal seperti sarang lebah, Kamis (5/11).

Konsep Fly Over Sarang Lebah Karya Dosen UM Surabaya
Kota Surabaya, Bhirawa
Surabaya dan beberapa kota metropolitan lain di Indonesia selalu punya masalah dengan kemacetan. Tingginya volume kendaraan  dan sempitnya lahan jalan menjadi penyebab. Persoalan ini pun menginspirasi Dosen Arsitektur Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Gunawan merancang konsep fly over heksagonal seperti sarang lebah. Karya itu disebutnya konstruksi An-Nahl.
Seperti sarang lebah yang tersusun rapi dengan ruang-ruang berbentuk heksagonal, seperti itulah gambaran tentang jalan masa depan di pikiran Gunawan. Tidak banyak membutuhkan lahan dan efektif mengurai kemacetan. Khususnya pada jalan penghubung antar daerah. “Karya ini terinspirasi dari sarang lebah. Karenanya saya beri nama An Nahl yang berarti lebah,” tutur pria yang juga Dekan Fakultas Teknik UM Surabaya itu, Kamis (5/11).
Konstruksi fly over karyanya ini bisa didirikan di atas jalan maupun sungai. Jika dibangun di atas sungai, biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah karena pemerintah tidak perlu melakukan pembebasan lahan. Selain itu, dengan menggunakan lahan sungai akan sekaligus memperdalam dasar sungai saat pengerjaan konstruksi.  “Ada tiga ruang heksagonal yang bisa difungsikan menjadi jalan. Satu jalan induk, dan dua jalan sayap. Sementara ruang heksagonal di dasar bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain,” tutur Gunawan.
Jika dibangun di atas sungai, bisa dijadikan alternatif untuk transportasi air. Jika dibangun di atas lahan tanah, ruang heksagonal bawah bisa digunakanuntuk parkir atau pusat pertokoan.
Gunawan menjelaskan, jalan induk memiliki lebar 200 meter dengan tinggi 8 meter. Posisinya berada di bagian paling atas konstruksi. Sementara ruang heksagonal di bagian sayap, bisa dijadikan untuk kereta api lokal. Selain ruang heksagonal yang berfungsi untuk lintasan transportasi, tiang penghubung antar ruang dapat dijadikan lintasan utilitas kota. Sistem perpipaan dan pengkabelan dapat dirancang di sisi luar lorong jembatan sarang lebah tersebut. Dengan begitu, konsep jembatan sarang lebah semakin multifungsi.  Meski begitu, dia tidak memungkiri butuh biaya yang lebih besar dalam pembangunan jembatan sarang lebah ini. “Setidaknya butuh Rp 500 miliar setiap pembangunan lorong sepanjang satu kilometer. Tapi biaya itu tertutupi dengan banyak fungsi serta efisiensi yang dimiliki,” tegasnya.
Seandainya bisa direalisasikan di Surabaya, Gunawan lebih tertarik merealisasikannya di Jalan Ahmad Yani, mulai Aloha Sidoarjo hingga Wonokromo.  Persisnya di lahan yang saat ini digunakan rel kereta api. Menilik gambar rancangan yang dijelaskan, bagian bawah jembatan bisa menjadi tempat parkir kendaraan pengguna transportasi massal berupa kereta api atau kendaraan roda empat dan pusat pertokoan.  “Kalau ini direalisasikan akan banyak pihak dilibatkan. Ini masih pra desain. Di negara lain belum ada konsep seperti ini. Ini original karya anak bangsa,” tutur dia.
Konstruksi jembatan ini, lanjut dia, sebenarnya bisa dibongkar pasang. Karena material utamanya terbuat dari tiang. Bisa dari beton, aluminium maupun baja. Jadi produksi material bisa dibuat di pabrik dan bisa juga diekspor ke negara lain. “Yang paling kuat dan cepat pengerjaannya itu menggunakan bahan baja. Tapi biayanya jelas butuh lebih banyak,” kata dia.
Meski tergolong langka, bukan hal mudah bagi Gunawan untuk mendapat hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM. Sejak konsep ini diselesaikannya pada 2011 lalu, Gunawan langsung mengajukan hak paten. Namun, sertifikat hak paten itu baru diterimanya setelah empat tahun menunggu. Persisnya pada Oktober lalu. Padahal, dalam sertifikat tersebut sudah ditandatangani sejak 2012.
Lantaran menunggu hak paten yang lama itu, Gunawan pun belum berani menawarkan karyanya itu baik ke pemerintah maupun swasta. Sejauh ini, konsep tersebut hanya digunakan untuk seminar ilmiah. Konsep ini diakuinya tidak pernah dipublikasikan kecuali lewat seminar call for paper. Apalagi untuk menjualnya. “Kendalanya ya hak paten ini. Saya belum berpikir bagaimana jika Bappenas mengadopsi desain ini. Prinsipnya saya berkiprah untuk bangsa,” pungkasnya. [Adit Hananta Utama]

Tags: