Batu Bocor

Oleh :
Mardianti

“Nak, pergilah! Jangan pernah pulang sebelum mendapatkan ilmu,” ucap Ibunya sambil mengelus kepala Hasan disertai air mata yang tak terbendung. Hasan mengangguk pelan lalu dengan cepat ia memeluk Ibunya erat seakan tidak mau berpisah. Ia sebenarnya tidak tega meninggalkan Ibunya seorang diri sedang Ayahnya telah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena sakit. Suara isak tangis terdengar jelas dari kedua insan itu hingga membuat para tetangga menangis terbawa suasana.

Setelah berpamitan, Hasan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya jauh dari Ibunya. Sebelum itu ia membuka jendela mobil untuk melihat Ibunya yang terakhir kali. Sungguh, perpisahan ini sangat menyakitkan bagi Hasan, rasanya ia ingin membatalkan kepergiannya. Tapi, dia tidak mungkin mengecewakan Ibunya yang rela menjual sepetak tanah milik Ayahnya untuk biaya sekolahnya di rantau. Mobil berlaju dengan cepat meninggalkan semuanya, Hasan duduk sambil menatap sendu foto Ibunya.

“Bu, Hasan akan segera kembali,” batinnya lalu mencium foto Ibunya.

Setelah menempuh satu hari satu malam akhirnya Hasan tiba di pondok Al- Huda. Kedatangan Hasan di sambut baik oleh petugas penjaga gerbang pesantren dan dia juga langsung membantu Hasan mengangkat barangnya sekaligus mengantarkan Hasan ke asrama yang telah di sediakan. Setibanya di asrama, Hasan menjadi pusat perhatian para santriwan yang ada di dalam asrama itu. Ada yang menatapnya dengan tatapan bersahabat dan ada pula yang menatapnya dengan tatapan yang susah diartikan. Sedang Hasan membalasnya dengan senyuman yang ramah. Setelah itu ia memasukkan semua barangnya ke dalam lemari yang telah disiapkan.

Tabuh azan zuhur terdengar jelas di kawasan pesantren, para santri berhamburan ke musala sedang Hasan tengah kebingungan mencari peci semata wayangnya. Lalu tiba-tiba Ia menepuk jidatnya, mengingat bahwa ia lupa memasukkannya. Ia tak mungkin pergi tanpa peci sedang identitasnya adalah santri baru.

Tanpa Hasan sadari sepasang mata tengah memperhatikannya dari tadi

“Kenapa, Khi?” tanya seorang santriwan.

“Mmm, aku lupa memasukkan peciku, khi. Jadi aku tak berani ke musala ,” jawab Hasan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Santriwan itu pun tersenyum mendengar cerita Hasan, ia pun melangkah menuju lemarinya lalu mengambil sebuah peci kemudian memberikannya ke Hasan.

“Ini pakai!” tuturnya lembut. dengan ragu-ragu Hasan mengambil peci itu lalu berucap terima kasih.

“perkenalkan namaku Fahri Khairi. Namamu siapa?”

“Namaku Hasan Ibrahim.”

Setelah perkenalan itu Fahri dan Hasan mulai akrab bahkan keduanya bersahabat.

Setiap hari Hasan belajar dengan tekun dan semangat. Tapi, hal itu tidak menjadikan ia murid yang berprestasi padahal segala cara telah ia lakukan. Hingga ia pernah tidak tidur semalaman hanya untuk menghafalkan bait Al-Fiah tapi hanya lima bait yang bisa ia hafalkan.

Kini, sudah hampir dua tahun Hasan mondok. Tapi, membaca kitab kuning belum dapat dia kuasai padahal teman-temannya sudah mahir dalam hal itu termasuk temannya, Fahri. Hasan menangis di belakang asrama mengingat Ibunya yang menunggunya di desa, menaruh harap kepada anaknya semoga alim dan datang membawa ilmu.

“Ya, Allah. Kenapa kau tak berikan aku ke pahaman? aku sudah mengulang pelajaran berkali-kali tapi sedikit pun aku tak paham.”

Hasan menangis sejadi-jadinya mengingat dirinya dan anak-anak lain berbeda. Mereka cepat dalam mendapatkan hafalan dan ke pahaman sedang ia walau sudah seharian hanya sedikit sekali yang bisa ia hafal. Ia. terus menangis hingga ia tidak sadar bahwa sahabatnya Fahri sudah sedari tadi berada di sampingnya dan mendengar jelas rintihan sahabatnya itu.

Melihat temannya menangis, Fahri menepuk-nepuk punggung Hasan pelan.

“Kamu kenapa, San?” tanya Fahri sambil memegang bahu Hasan.

“Sepertinya aku harus pulang ke desa, Fahri. Aku tidak cocok disini.” Hasan menjawab dengan nada putus asa lalu pergi meninggalkan Fahri. dengan berlari kecil Fahri mengejar Hasan yang sedang menuju asrama. Setibanya di asrama, Hasan segera mengemasi barang-barangnya untuk pulang kampung. Melihat hal itu Fahri segera mencegahnya

“Kamu mau mengecewakan Ibumu, Ha!” bentak Fahri Karena kesalnya

Mendengar hal itu Hasan duduk sambil menangis, ia sangat putus asa. Melihat sahabatnya rapuh, Fahri segera memeluk Hasan dan menenangkannya.

“Pernahkah kamu mendengar kisah Syekh Ibnu Hajar, San?” Hasan menggelengkan kepalanya

“Dia adalah seorang ulama besar yang pernah berputus asa karena lambat diberi ke pahaman (Bodoh) hingga pada suatu hari ia pergi ke sebuah tempat, di sana ia melihat sebuah batu yang bocor disebabkan air hujan yang terus menjatuhinya. Lalu dia berfikir batu yang keras saja bisa bocor hanya dengan air hujan yang terus menjatuhinya, apalagi aku? Setelah melihat batu itu Syekh paham bahwa ia tidak boleh berputus asa lalu dia kembali menuntut ilmu dan setelah itu ia menjadi ulama besar. Sampai sekarang kisahnya itu di jadikan motivasi bagi kalangan santri.” ucap Fahri lembut

“Ingat kata pepatah santri, San. “lebih baik mati di gubuk derita dari pulang tanpa ilmu.” lanjutnya lalu menepuk pelan bahu Hasan.

Mendengar nasehat dari Fahri seketika hati Hasan luluh. Ia pun beristigfar memohon ampun karena telah putus asa dari rahmat Allah. Setelah kejadian itu Hasan belajar lebih giat dengan di bantu langsung oleh Abuya dan temannya, Fahri. Beberapa bulan kemudian Hasan sudah mampu meraih prestasi dalam pondok bahkan di luar pondok.

Empat tahun kemudian, Hasan pulang ke kampung halamannya dengan bekal ilmu dari gurunya. dan dia berniat untuk mendirikan pesantren di kampung halamannya. Niat baik Hasan di dukung masyarakat setempat. Hingga pesantren itu pun di bangun dan diberi nama Al-Ma’Had Tasribu Hijr yang artinya Pesantren Batu Bocor.

Embusan angin malam mengusik tubuh Hasan yang tengah duduk termenung di depan rumahnya, ia mengingat kembali masa-masa belajarnya yang penuh haru dan air mata. Banyak pelajaran yang ia dapatkan dari kejadian itu, ia mengangkat tangan dan berucap,

“Ya Ilahi, kala tabirmu tersingkap dengan nur agama maka aku semakin mengenal-Mu.”

***

Tentang Penulis :
Mardianti
Lahir di Aceh Singkil 28 November 2001. Merupakan Mahasiswi jurusan KPI (Komunikasi Penyiaran Islam) di STAI Syekh Abdur Rauf (STAISAR). Pencinta sastra dan ilmu agama. Bergabung di dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK).

——– *** ——–

Rate this article!
Batu Bocor,4.33 / 5 ( 3votes )
Tags: