Bawang Merah dan Cabe Picu Kenaikan Inflasi di Jatim

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Pemprov, Bhirawa
Selama November 2016, Jatim mengalami inflasi sebesar 0,33 persen atau terjadi kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 123,93 pada bulan Oktober 2016 menjadi 124,34 pada bulan November 2016.
Sepanjang tahun 2006-2016, setiap bulan November terjadi inflasi kecuali pada November 2008 yang terjadi deflasi sebesar -0,09 persen, sedangkan pada bulan November 2014 merupakan bulan November dengan inflasi tertinggi yaitu mencapai 1,38 persen.
Diantara komoditas-komoditas utama yang memicu terjadinya inflasi ialah bawang merah, cabe merah, cabai rawit, tarif pulsa telephon dan batu bata. Kondisi musim hujan dan cuaca buruk yang akhir-akhir ini sering terjadi diduga turut mempengaruhi terganggunya produksi cabe sehingga menyebabkan pasokan dipasaran berkurang.
“Demikian juga dengan produksi batu bata, memasuki puncak musim penghujan ini menyebabkan proses produksi batu bata juga terganggu, sebab para pengrajin batu bata membutuhkan waktu yang lebih lama melakukan pengeringan batu bata sehingga mengurangi pasokan batu bata di pasaran,” papar Kepala BPS Jatim, Teguh Pramono, Kamis (1/21)
Selain komoditas yang memicu terjadinya inflasi di Jatim beberapa komoditas juga ikut memberikan andil dalam menahan laju inflasi di bulan November 2016 diantaranya ialah telur ayam ras, kentang, apel, gula pasir dan semen. Khusus komoditas semen beberapa bulan terakhir memang cenderung mengalami penurunan harga, hal ini selain disebabkan oleh stok semen di pasaran surplus, saat juga ini banyak varian merek produk semen sehingga produsen semen mulai menekan harga jual semen untuk menarik konsumen.
Dijelaskan juga kalau inflasi ini juga diikuti 8 kota di Jatim, dengan nilai inflasi tertinggi Sumenep dan Kediri sebesar 0,53 persen. Kabupaten Banyuwangi mengalami inflasi terendah sebesar 0,25 persen.
Untuk inflasi tahun kalender Januari sampai November dari 8 Kota di Jatim, Surabaya masih tertinggi inflasinya sebesar 2,64 persen, disusul Malang 2,03 persen dan Madiun 1,79 persen. Sementara Inflasi 8 kota year on year, Surabaya masih menepati inflasi tertinggi 3,61 persen disusul Malang 2,94 persen dan Madiun 2,39 persen.
Terkait Surabaya, dijelaskan pula, saat ini masih  menempati inflasi paling tinggi selama hampir setahun terakhir, karena kebutuhan pangan produk pertanian mendatangkan dari luar kota.  “Posisi Surabaya yang tidak terlalu dekat dengan area produksi pertanian juga jadi faktor inflasi relatif tinggi. Bisa juga terkendala transportasi, cuaca dan daya beli masyarakat yang membeli pangan untuk cadangan,” katanya.
Teguh mengatakan, cuaca buruk di tahun ini juga mengganggu wilayah produksi pertanian yang menyebabkan gagal panen sehingga bahan pangan mahal. Khususnya Surabaya akan menjadi kota yang terimbas. “Karena ketergantungan Surabaya pada produk pertanian dari daerah sangat tinggi,” katanya. [rac]

Tags: