BBM “Pendingin” Politik

Foto Ilustrasi

Pemerintah menurunkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) sesuai ke-ekonomi-an (dan asas kejujuran). Bagai “pendingin” pada tahun politik (2019) yang panas. Sesuai tren internasional, kini harga minyak dunia sedang merosot sampai senilai US$ 50-an per-barel. Namun penurunan harga BBM dalam negeri masih tergolong sangat tipis (kurang dari 2%). Sehingga diharapkan akan terjadi penurunan lagi, setelah penurunan harga minyak dunia lebih stabil. Ini bagai “kado” tahun baru.
Penurunan harga BBM paling kecil (0,8%) berlaku pada Dex, menjadi Rp 11.750,- per-liter. Kendaraan peng-konsumsi Dex biasanya digunakan kendaraan mewah tapi ber-silinder besar. Konsumennya terbatas, dimiliki per-orangan berpenghasilan tinggi, dan perusahaan besar multi-nasional. Sedangkan ikon BBM dalam negeri (Pertalite, dan Dexlite) berlaku penurunan sekitar 1,9%. Pertalite turun menjadi Rp 7.650,- per-liter. Dexlite Rp 11.750,-, serta Pertamax Rp 10.200,-.
Masyarakat masih menunggu kebijakan penurunan harga BBM turun lagi lebih “miring.” Terutama pertalite, yang telah menjadi ikon. Diyakini, penurunan harga BBM dalam negeri akan menjadi “pendingin” situasi politik yang makin panas. Terutama jelang pilpres serentak dengan pemilu legislatif. Penurunan harga BBM akan menggiatkan mobilitas (lalulintas) orang dan barang. Dus, sekaligus akan membangkit perekonomian nasional yang tumbuh “ragu-ragu.”
Penurunan harga BBM menjadi keniscayaan. Karena asumsi harga BBM pada APBN 2019, diancar-ancar sebesar US$ 70,- per-barel. Terdapat selisih cukup besar (28,47%) dengan perbedaan harga sampai US$ 20,- per-barel. Sehingga pengeluaran pemerintahan pada subsidi BBM bisa berkurang. Antara lain, solar untuk nelayan (bahan bakar perahu motor), dan usaha kepertanian (bahan bakar hand-tracktor). Juga solar untuk armada angkutan khusus.
Para analis memperkirakan harga minyak dunia juga diperkirakan turun lagi. Sampai pada level US$ 34,50 per-barel. Hal itu terjadi sepanjang tahun 2015 sampai akhir tahun. Seluruh dunia menyambut suka-cita penurunan harga minyak. Penyebabnya, bukan berkurangnya konsumsi BBM, maupun mengendurnya perekonomian internasional. Melainkan pasokan minyak yang berlebihan.
Tiga besar produsen minyak dunia (Arab Saudi, Rusia, dan AS) bagai berpacu menikmati harga minyak mahal. Hingga pertengahan Oktober (2018), harga minyak dunia telah melewati US$ 70 per-barel. ICP (Indonesia Crude Price, harga minyak Indonesia) juga terkatrol naik. Produksi minyak di-geber, masing-masing sampai 11 juta barel per-hari. Pasokan minyak dunia sudah over supply. Dengan harga minyak lebih murah, beberapa negara di dunia bisa mengurangi subsidi.
Tetapi lebih banyak negara-negara bukan negara produsen minyak, mengalami tekanan. Negara industri maju (di Eropa, Australia, dan Asia) menanggung dampak harga BBM mahal selama tahun 2018. Antara lain, Perancis, dilanda demo besar (dan paling anarkhis) sejak awal Desember, karena rencana kenaikan pajak BBM. Dengan penurunan harga minyak, pemerintah Perancis bisa mengurungkan kenaikkan pajak BBM. Demo “rompi kuning” bisa berakhir.
Di Asia, negara industri maju (China, Jepang, dan Korea) bisa bernafas lega. Begitu pula di Indonesia. Pemerintah hampir menaikkan harga BBM, pada pertengahan bulan Oktober (tahun 2018) lalu. Sudah diumumkan akan naik, tetapi segera diralat dalam beberapa jam. Pertimbangannya, melindungi daya beli masyarakat. Kini Pertamina, malah harus meng-kalkulasi harga ke-ekonomi-an BBM. Lebih lagi pada puncak musim hujan.
Banyak moda transportasi terkendala cuaca. Jalan tergenang banjir, dan longsor. Menyebabkan kemacetan. Juga antrean semakin panjang di pelabuhan. Terutama perdagangan interinsuler hasil pertanian, dan perikanan. Maka penurunan harga BBM lebih “miring” lagi masih diharapkan. Pertamina bisa mengkalkulasi harga yang lebih mencerahkan perekonomian. Sekaligus sebagai peredam tahun politik.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: