Beasiswa Membangun Bangsa

Oleh :
Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang. Alumni Awardee LPDP PK 44-Sthana Citraloka

Veronika Koman Liau (biasa disebut VK) kembali menjadi pusat perhatian dan topik bahasan. Postingannya di media sosial, Facebook, menjadi viral. VK bercerita tentang LPDP yang meminta kepadanya untuk mengembalikan dana beasiswa yang sudah ia terima sebesar kurang lebih 700 Juta Rupiah. Menyikapi postingan VK tersebut, banyak timbul pro dan kontra, tak hanya di kalangan masyarakat umum, namun di dalam internal awardee LPDP sendiri. Mailing list atau milis LPDP mendadak muncul 2 thread dengan respon cukup banyak yang berisi seruan solidaritas untuk VK dan penalti atau hukuman bagi alumni awardee LPDP yang gagal memenuhi kontrak.

Sebelum terlibat jauh dalam perdebatan yang tidak ilmiah, seyogyanya perlu kita cermati latar belakang kedua belah pihak yang saat ini sedang terlibat adu argumen. VK tercatat lahir di Medan, 14 Juni 1988. Ia menyelesaikan kuliah di Universitas Pelita Harapan Jakarta dengan spesifikasi Hukum Internasional (2006-2011). Pada tahun 2017 dia melanjutkan kuliah di Australian National Univesity (ANU) melalui beasiswa LPDP. VK tercatat pernah bergabung bersama LBH Jakarta dan beberapa aktifitas probono (memberikan bantuan hukum cuma-cuma) lainnya. Nama VK mendadak menjadi buah bibir saat diduga sebagai dalang aksi kerusuhan Papua setahun yang lalu. Postingannya di Twitter, banyak berbau provokasi tanpa diimbangi dengan fakta dan realita yang memadai.

Pihak yang saat ini berseberangan dengan VK adalah LPDP. Lembaga pemberi beasiswa yang didirikan sekitar tahun 2012 dengan Dewan Penyantun (pengelola) saat itu berada pada empat Kementerian, yaitu Kemdikbud, Kemenristekdikti, Kemenag dan Kemenkeu. Hingga saat ini, sudah ada ratusan ribu penerima manfaat beasiswa LPDP, baik yang sedang on-going studi maupun yang menyandang status sebagai alumni. Layaknya lembaga pemberi beasiswa pada umumnya, LPDP menyodorkan kontrak kepada para awardee, sebutan untuk penerima manfaat beasiswa LPDP. Kontrak tersebut sifatnya mengikat kedua belah pihak, meliputi hak dan kewajiban yang diterima dan dibebankan kepada kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya. Dalam kaidah hukum, kontrak antara LPDP dan awardee didasari pada asas Pacta Sunt Servanda atau asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak yang mengikatkan dirinya, berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak tersebut. Kedua belah pihak harus tunduk dan memenuhi segala hal yang disepakati dalam kontrak. Disinilah akar masalah yang terjadi antara VK dengan LPDP. Pihak LPDP meminta agar VK emngembalikan dana yang telah ia terima disebabkan karena VK melakukan wanprestasi. Jenis wanprestasi yang dilakukan oleh VK adalah ketidaksanggupan memenuhi syarat kembali mengabdi kepada bangsa dan negara serta tidak mampu menjaga keutuhan dan setia kepada NKRI. Agar kasus serupa tidak kembali terjadi, baik bagi LPDP maupun lembaga pemberi beasiswa yang lain, seyogyanya perlu dilakukan beberapa hal.

Pertama, memperjelas makna dan penafsiran kembali mengabdi kepada bangsa dan negara. Secara umum, banyak lembaga pemberi beasiswa, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta, menghendaki adanya prestasi atau timbal balik dari penerima manfaat beasiswa. Salah satunya adalah kembali mengabdi tersebut. Biasanya, rumusan jumlah waktu mengabdi ditentukan berdasarkan rumus seperti 2n+1, 3n+1 dan sejenisnya. Variabel (n) merupakan jumlah lama studi penerima beasiswa. Artinya, jika penerima beasiswa Master rata rata menghabiskan waktu 2 tahun untuk studi dan 4 tahun studi untuk jenjang Doktor, maka variabel (n) mereka tentu berbeda. Frasa mengabdi juga perlu diberikan penafsiran tegas, apakah mengabdi bisa diartikan dengan bekerja di dalam negeri atau bekerja di luar negeri tapi di perusahaan milik pemerintah Indonesia atau BUMN.

Dalam kasus VK, yang bersangkutan merasa telah kembali ke Indonesia walau hanya sepintas lalu. Disinilah muncul permasalahan tersebut. LPDP beranggapan bahwa VK tidak memenuhi ketentuan 3n+1 (setelah tahun 2016, isi kontrak awardee LPDP menentukan rumus tersebut) untuk tinggal dan berkonribusi di tanah air. Sehingga, LPDP mengangap VK melakukan tindakan wanprestasi terhadap kontrak yang telah mereka sepakati. Kedua, memberikan keterangan terhadap frasa cinta kepada tanah air. Secara spesifik, lembaga pemberi beasiswa mungkin perlu memberikan rambu-rambu rasa nasionalisme bagi calon penerima beasiswa. Misalnya, perlu adanya diklat bela negara, bimtek dan sejenisnya terkait menumbuhkan rasa nasionalisme tersebut. Khusus untuk LPDP, materi-materi tersebut bisa disisipkan dalam materi Persiapan Keberangkatan (PK). Kasus VK seyogyanya cukup untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi pemerintah untuk lebih selektif dalam proses rekrutmen. Karena sejatinya, dana yang diperoleh dari pemerintah sudah sepatutnya digunakan untuk turut membangun bangsa dan negara ini, bukan malah sebaliknya untuk memecah belah bangsa melalui provokasi.

Ketiga, penalti. Dalam kontrak yang disodorkan oleh LPDP kepada calon awardee, jelas tertulis penalti atau hukuman bagi awardee yang gagal memenuhi ketentuan yang disebutkan oleh LPDP. Sama halnya dengan beasiswa yang lain, pihak pemberi beasiswa berhak untuk menghukum penerima beasiswa yang tidak tunduk pada perjanjian yang sudah mereka buat. Maka, aneh sekali jika kemudian VK mengunggah permintaan LPDP terkait penalti yang ia terima, padahal ia dengan sadar menandatangani kontrak tersebut. Terlebih, jika melihat VK yang memiliki background ilmu hukum, tentu ilmu dasar tentang hukum perikatan sudah pasti ia pahami.

Ke depan, semoga tidak ada lagi kasus seperti VK. Langkah LPDP dalam menjatuhkan penalti berupa permintaan pengembalian dana beasiswa dirasa sudah cukup tepat. Momentum peringatan kemerdekaan tak sepantasnya dijadikan sebagai ajang panjat sosial oleh oknum yang ingin memecah belah bangsa. Bak nila setitik yang merusak susu sebelanga, ulah VK cukup mencoreng nama LPDP, baik secara institusional maupun yang kami rasakan sebagai alumni. Beasiswa diberikan oleh pemerintah, untuk bisa membangun bangsa dengan kontribusi yang dipunya. Bukan malah digunakan untuk melakukan aksi provokasi yang justru akan memecah belah bangsa ini.

———- *** ———-

Rate this article!
Beasiswa Membangun Bangsa,5 / 5 ( 1votes )
Tags: