Beban Pajak Vs Membangun Budaya Literasi

Oleh:
Nur Cholissiyah, MPd
Pegiat Literasi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur

Beberapa hari yang lalu media memberitakan tentang pengunduaran diri atau pemberhentian kontrak Tere Lye dari sebuah penerbit yang sering mempublikasi karya-karyanya. Akibatnya, buku-buku dan karya-karya Tere lyee tidak akan lagi dicetak ulang dalam bentuk buku karena pengunduran diri beliaunya dengan pihak penerbit. Tetapi karya-karya Tere Lyee akan diposting pada media social, e-book dan website sehingga tidak akan mendapatkan royalty buku seperti pada saat sebelumya.
Sangat disayangkan jikalau penghargaaan terhadap kekayaan intelektual penulis ini menjadi terkebiri disebabkan adanya pasal baru dalam Undang- undang perpajakan yang memperlakukan pajak untuk kalangan para penulis. Penulis sejatinya adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan seni tersendiri dalam mencurahkan hati, perasaan dan daya nalar serta imajinasi bahkan ego yang papar menjadi sebuah pesan yang memiliki nilai-nilai sehingga mampu dinikmati dan menjadi referensi oleh khalayak luas. Menumbuhkan ide-ide yang inspirasif sebagai bahan perbandingan atau bahkan menghibur serta membawa pembaca kearah pemikiran dan alur penulis. Tere lyee contohnya di kancah pernovelan banyak buku-buku karya Tere lyee cukup populer. Pesona kata-kata yang mampu memikat pembaca larut dalam buah pikirnya.
Sepertinya ekspoitasi unsur pajak yang berlebihan manakala hasil karya penulis harus dikenai pajak seharusnya pemerintah harus mampu memilah manakah dari unsur pajak itu yang tidak memberatkan bahkan terkesan mengebiri penghargaan karya inteletualitas seorang penulis. Sehingga pengunduran diri Tere Lyee seperti bentuk protes terhadap undang-undang perpajakan yang pengeloaan rentan dengan penyalahgunaan ini. “Sepertinya kok mengada-ada kalau karya-karya dalam bentuk buku ini dikenai pajak” kata seoarnag peniknat novel yang tidak ingin disebut namanya. Lanjut dia, penulis cukup berjasa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa looh, masa kita seperti tidak merdeka diatas tanah air kita sendiri apa-apa kok dikenai pajak semua, sepetinya kok ndak ada yang mampu kita nikmati dengan gratis di negeri ini” , ungkapan seorang penikmat novel. Hal itu sepertinya menjadi boomerang bahwa kebijakan pemberlakuan pajak sepertinya perlu ditinjau kembali, meskipun pajak arahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan Negara. Tapi kadangkala arah pembiayaan juga kurang mengena ke lini masyarakat secara luas, penulis ini ibarat dagangan. Tidak semua dagangan yang dipasarkan ini bisa laku keras sehingga bilamana adanya pajak ini turut memmbebani konsumen atau bahkan bisa jadi upaya penyusutan income penulis. Perlu diingat pembebanan pajak konsumen juga turut menghambat laju peluang pasar bagi para penulis-penulis muda lainnya.
Semestinya giliat litersi yang mulai nampak ini tidak sertai dengan bayang-bayang hitam yang menyertai perubahan yang baru menyemai ini. Karena literasi menjadi hal ikhwal tumbuhnya kesadaran masyarakat akan penting sebuah buku bagi kehidupan dan keberlangsungan proses edukasi di kalangan masyarakat. Pemerintah semestiya ikut mendanai bahkan memberi perhatian yang lebih terhadap pegiat muda literasi yang diharapkan pada dekade dasawarsa ini menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai bangsa yang mampu berkarya sehingga peran bahasa Indonesia lebih dikenal didunia internasional karya-karya tulisan para generasi millennium sebelumnya. Sehingga mengantar bangsa indonesia sebagai bangsa yang unggul dan berdaya-saing dalam kancah kompetisi global dewasa ini.
Sehingga perwujudan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini bisa kita rasakan kelak. Kita tidaklagi mejadi bangsa yang selalu memuji keberhasilan negara lain karena keunggulannya. Kita tidak lagi bangsa harus capek-cpek mengambil referensi dari negara lain toh, para pendahulu-pendahulu pegiat literasi sudah mampu mewariskan gerakan literasi ini secara turun temurun sehingga sudah menjadi budaya yang selalu dipegang pada generasi selanjutnya.
Dari paparan penulis diatas sesunggungnya yang ingin di tekankan adalah bagaimana sebuah komunitas literasi juga akan memiliki sebuah eksistensi dan memiliki karya yang mampu menembus pasar tanpa adanya upaya pengkebiran yang dalam hal pajak tentunya bagi konsumen. Sebuah kegiatan menulis adalah kegiatan yang menuntut seseorang itu secara jujur menggambarkan realitas kondisi yang dialami, memperjuang sebuah kebenaran, sebuah idealisme atau bisa juga sebuah paparan paparan argumentasi yang dapat dituangkan sehingga mampu disumbangkan demi terciptanya kondisi masyarakat yang adil dan bahagia. Selain itu dapat pula dijadikan sebuah pengetahuan dan pengalaman untuk khalayak luas.
Pemerintah dalam setiap kebijakannya tidak sertamerta menelorkan kebijakan harus membebani rakyat tanpa melihat besarnya konstribusi gerakan ini dalam upaya mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa kita yakni upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk masyarakat yang aman, adil dan bahagia. Menurut beberapa pengamat juga pemberlakuan pembebanan pajak konsumen ini terkesan arogan, apa-apa dikenai pajak yang dapat mengakibatkan akses pemetaraan kesejahteraan masyarakat berkurang akibat peraturan pajak baru yang hanya melihat sisi keuntungan negara tanpa memperhatikan akibat dari pemberlakuanya yang berpengaruh pada kondisi finansial konsumen, dengan kata lain buku semakin mahal dan daya jangkau masyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah menjadi terbabani pajak selain selama ini yang sudah mereka keluarkan.
Penghargaan kekayaan intelektual yang selama ini dilindungi oleh negara mestinya tidak disusul dengan kebijakan pajak yang membebani konsumen. Penulis yakin bahwa konsumen selalu berharap setiap kebutuhan untuk memenuhi hajat hidupnya di Negara Indonesia tercinta ini selalu menginginkan adanya kondisi barang -barang kebutuhan murah dan dapat terjangkau sehingga terwujud stabiltas social ekonomi yang mantap. Khoirunnas anfauhum linnas.

———– *** ———–

Tags: