Bebani APBN, Guru K2 Dipastikan Sulit Diangkat PNS

Guru SD saat mengajar para siswanya.

Guru SD saat mengajar para siswanya.

DPRD Jatim, Bhirawa
Keinginan guru SD maupun SMP mengubah nasibnya dan bisa diangkat untuk menjadi PNS dengan syarat harus menempuh S-1 (sarjana) dipastikan akan sia-sia belaka. Mengingat pemerintah lewat APBN tidak mampu memberikan gaji kepada mereka yang total se-Indonesia mencapai 420 ribu orang.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Ridwan Hisjam menegaskan jika dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR RI beberapa waktu lalu mengaku sangat berat bagi APBN yang harus mengalokasikan anggaran untuk para guru SD-SMP yang masuk dalam istilah K2 yang secara nasional mencapai 420 ribu guru untuk dijadikan PNS. Dan kebijakan tersebut sudah disampaikan ke Mendiknas.
“Para guru ini bisa dianggap honorer yang diusulkan menjadi PNS yang dalam istilahnya adalah K2. Oleh Banggar DPR RI waktu itu menolak mengabulkan permintaan tersebut, karena beban APBN yang akan dipikul semakin berat. Meski saat itu Komisi II sudah menyiapkan anggaran untuk diperjuangkan ke Banggar,”papar politisi asal Partai Golkar, Minggu (28/6).
Namun waktu pembahasan sekitar Februari 2015, dana tersebut tidak dimasukkan dalam PAPBN 2015.  Artinya dana tersebut tidak ada, dengan pertimbangan prioritas. Tidak tahu jika dalam APBD 2016 dianggarkan lagi. Tapi yang jelas persyaratan S-1 bukan syarat penerimaan untuk menjadi PNS, tapi lebih hanya untuk peningkatan kualitas.
Seperti diberitakan deadline UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen telah disebutkan semua guru diwajibkan memiliki kualifikasi sarjana strata 1 (S-1) paling lambat setelah sepuluh tahun UU tersebut resmi berlaku, yakni pada 2015 ini. Tapi sayang, fakta berbicara lain. Di Jatim, sedikitnya ada 90.653 guru atau 21,72 persen dari total 417.378 guru belum mengantongi ijazah S-1. Ini merupakan data terbaru yang dimiliki Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim per Maret 2015 lalu. Secara rinci, sebaran guru yang kualifikasinya di bawah S-1 paling banyak ialah lulusan SMA, yakni 75.112 orang. Sedangkan lulusan Diploma 1 (D-1) sebanyak 665 orang, D-2 12.613 orang dan D-3 2.263 orang.
Di sisi lain, Ridwan juga mengkritik keinginan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini  yang minta SMA/SMK di Surabaya dikelola oleh Pemkot Surabaya, dengan berbagai pertimbangan ternyata ditolak Komisi X DPR RI. Alasannya, pengelolaan SMA/SMK oleh pemprov sudah masuk UU dan sudah menjadi kebijakan pemerintah pusat.
“Tidak lucu, jika kebijakan pemerintah yang sudah tertuang dalam UU tersebut harus dipilah-pilah meski Surabaya sudah merintis sekolah kawasan. Dan ini sudah saya sampaikan kepada Mendiknas Anis Baswedan dan beliau juga menolaknya,”lanjut pria yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Jatim ini.
Ditambahkannya, saat ini telah masuk proses peralihan dan diharapkan awal 2017 semua aset yang ada di kab/kota sudah selesai dipindahkan. Kebijakan pembagian pengelolaan di mana untuk SD dan SMP diserahkan ke Pemkab/Pemkot, SMA/SMK ke provinsi dan Perguruan Tinggi (PT) ke pusat semata-mata untuk meningkatkan kualitas didik. Pasalnya, selama ini banyak terjadi kesenjangan antara sekolah yang ada di kota dan di pelosok.
“Contohnya di Ponorogo, ternyata di sana banyak ditemukan sekolah yang kualitas dan kuantitasnya sangat rendah. Nah, dengan SMA/SMK dikelola oleh provinsi diharapkan ada perpindahan guru antara satu daerah ke daerah lain di Jatim yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas didik,”tandas Ridwan. [cty]

Tags: