Becermin dari Perjuangan Kartini

Oleh:
Kodrat Alamsyah,
Sekretaris Jendral Center for Democracy and Religious Studies, Kabid PTKP HMI Komisariat Syariah Korkom Walisongo

Terlepas dari Pemilu, Rabu (17/04), di bulan yang sama, masyarakat Indonesia akan dihadapkan dengan perayaan hari lahir R.A Kartini. Tepat tanggal 21 April 1879, perempuan kelahiran Jepara yang akan memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia ini lahir. Sebab penulis pikir, berkat sosok Kartinilah perempuan di Indonesia bisa mempunyai hak yang sama, salah satunya suara yang sama dengan laki-laki dalam pemilu.
Saat itu, Kartini lahir di kalangan yang memiliki budaya patriarki. Bertabrakan dengan budaya saat itu, Kartini hanya bisa mengenyam pendidikan sampai umur 12 tahun di ELS (Europese Lagere School) karena harus dikurung dalam kamar (dipingit) sampai bertemu dengan calon suaminya.
Walaupun dikurung, tetapi pemikiran Kartini tidak ikut tekurung. Berbekal kemampuan Bahasa Belanda yang didapatkannya saat di ELS, Kartini mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondesi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon, sosok yang sangat mendukung pemikirannya.
Di dalam kamar kurungan tersebut, Kartini juga rajin membaca. Setelah membaca buku-buku, koran-koran, dan majalah-majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Jika dibandingkan perempuan Indonesia, Kartini memandang banyak sekali ketimpangan antara perempuan pribumi dengan Eropa pada masa itu.
Gadis-gadis Eropa dengan leluasa dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya sementara gadis pribumi tidak demikian adanya. Tidak boleh berpendidikan tinggi, hanya diizinkan berbekal ilmu agama, mengenyam keterampilan mengurus rumah dan suami saja, serta dibatasi ruang gerak dalam pergaulannya.
Hidup dalam pingitan tidak membuat Kartini putus asa. Adagium “keprihatinan adalah gizi” dirasakan Kartini. Hidup dalam pingitan membuat Kartini ini semakin semangat untuk segera mengubah nasib masyarakatnya. Perempuan sebagai calon Ibu tidak hanya pandai mengurus rumah, tetapi perempuan juga harus memiliki pemahaman agama yang baik, wawasan yang luas, dan kemampuan emosional untuk mendidik anak-anaknya.
Kartini bersusah payah untuk melakukan berbagai cara agar yang terjerat oleh adat bisa melek pendidikan. Melalui korespondensi kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, Kartini selalu mencurahkan gagasannya bahwa ia ingin mengubah nasib perempuan-perempuan di Indonesia. Akhirnya berkat usaha-usaha ini pun, Kartini berhasil mendapatkan bantuan untuk mendirikan sekolah perempuan di tempat tinggalnya.
Berawal dari perjuangan Kartini di atas, perempuan-perempuan di berbagai daerah pun mulai sadar bahwa seharusnya perempuan dan laki-laki mempunyai kesamaan yang sama dalam pendidikan. Berkat itulah, dewasa ini, perempuan-perempuan di Indonesia bisa memiliki hak yang sama, tidak hanya di bidang pendidikan, bidang hukum, sosial dan lain-lain pun ikut setara.
Terbukti saat ini, banyak perempuan yang sudah berkiprah di bidang ekonomi, pendidikan, hukum, tenaga kesehatan, dinas sosial, bahkan menjadi kepala negara juga pernah. Rasa syukur wajib dilakukan oleh generasi saat ini. Tidak ada lagi kekakuan adat yang menghambat kinerja perempuan dalam bidang mana pun, khususnya pendidikan.
Rasa syukur itu pun seakan belum dipahami generasi saat ini. Belakang ini, memang banyak perempuan yang terampil dalam pekerjaan kantornya, tetapi banyak perempuan yang tidak cakap dalam mengurus rumah dan anak. Kemampuan domestik perempuan, seperti memasak, mencuci, menjahit, dan mengaji mulai memudar.
Perempuan-perempuan saat ini terlalu sibuk dengan kegiatan publiknya, sementara dalam ranah domestik malah dipasarahkan kepada orang lain. Untuk menguruk anak, diserahkan kepada baby sitter, baju sobek diberikan kepada tukang jahit, baju kotor diberikan kepada tukang laundry, urusan mengaji dipanggilkan guru ngaji.
Padahal gagasan yang ingin diberikan Kartini adalah perempuan tidak hanya melakukan kegiatan-kegiatan domestik saja, tetapi bisa melakukan kegiatan-kegiatan publik juga dengan cara mempelajarinya. Dahulu juga, Kartini menginginkan agar orang tua dan anak memiliki hubungan emosional yang baik, tidak seperti yang dialaminya saat itu. Karena alasan adat, Kartini tidak boleh bertemu dengan Ibu Kandungnya. Sungguh perjuangan Kartini seakan sia-sia jika melihat realita saat ini.
Melihat kondisi tersebut, seharusnya generasi Kartini saat ini dapat berintropeksi diri. Setidaknya perempuan-perempuan saat ini mampu bersyukur tidak hanya secara lisan saja, tetapi juga perbuatannya. Perjuangan Kartini yang berani dianggap aneh oleh masyarakatnya tidak boleh sia-sia begitu saja. Kartini saat ini tetap harus berpendidikan tinggi, namun tidak mengesampingkan kewajibannya sebagai seorang Ibu, apalagi ibu sebagai madrasatul ula. Wa Allah a’lam bis shawaab.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: