Bela Negara Sudah, Bela Rupiah Kapan?

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Akhir-akhir ini program bela negara ramai diperbincangkan. Ada yang pro, karena dianggap merupakan momentum yang tepat seiring dengan meredupnya wawasan kebangsaan dan melemahnya rasa cinta tanah air, ada juga yang kontra karena dianggap merupakan militerisasi warga sipil. Di tengah kondisi masyarakat Indonesia hari ini yang cenderung apatis terhadap hampir segala hal, wacana bela Negara ini bak alien atau makhluk asing yang hampir pasti akan mengundang pro dan kontra.
Terlepas dari pro dan kontra, Kementerian Pertahanan saat menggulirkan gagasan ini bukan tanpa dasar. Undang Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Kalau merujuk pada konstitusi ini, maka sesungguhnya tidak perlu ada perdebatan lagi soal bela negara.
Titik pokok yang bisa menjadi pemicu perdebatan barangkali adalah menyangkut bagaimana format dari program bela Negara ini. Apakah seperti meniru Singapura atau Korea Utara yang selama ini sudah mewajibkan rakyatnya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan militer atau adakah format lain. Di kedua negara itu, warga negara usia tertentu wajib mengikuti pelatihan bela negara. Singapura, misalnya membuat aturan yang mewajibkan seluruh pria minimal usia 18 tahun di sana baik warga negara maupun permanent resident –kecuali mendapat pengecualian, mendaftarkan diri pada Wajib Militer Nasional atau National Service. Mereka harus menjalani pelatihan di camp militer selama 20 bulan di Singapore Armed Forces, the Singapore Police Force, atau Singapore Civil Defence Force. Wajib militer ini untuk membela dan melindungi negara.
Kalau konteks bela Negara adalah wajib militer bagi warga Negara untuk mempertahankan Negara dari ancaman musuh secara fisik, maka munculnya sikap kritis yang menolak adanya wajib militer ini  rasanya juga tidak berlebihan. Namun kalau bela Negara adalah dikonsepsikan sebagai upaya membangun kesadaran warga Negara untuk berpartisipasi dan memiliki kesadaran membela bangsa dan Negara dari berbagai ancaman dalam bentuk apapun mungkin tidak perlu dipersoalkan lagi.
Hemat kita, sepanjang hal itu berguna bagi negara dan tidak memberikan tekanan-tekanan tertentu kepada masyarakat, harus kita dukung. Tentu juga penerapan hal itu harus bersikap adil. Tidak boleh bela negara tersebut kelak membeda-bedakan kelas sosial di dalam penerapannya.
Sesungguhnya kalau kita lihat ke masa lalu, latihan-latihan bela negara ini bukanlah sesuatu yang asing. Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), serta latihan baris-berbaris, sesungguhnya merupakan latihan dasar bagi bela negara dan juga latihan dasar dari wajib militer. Latihan bela negara ini sesungguhnya merupakan upaya untuk membuat warga negara yang tangguh.  Indikator ketangguhan ini cukup luas. Mereka akan mempunyai rasa nasionalisme tinggi apabila mendapatkan pendidikan soal kewarganegaraan. Mereka juga mampu menjaga kesehatan jika melakukan olah fisik yang disiplin, dan tentu saja akan mempunyai berbagai macam ketahanan fisik untuk membela dan mempertahankan kedaulatan nasional. Inilah yang akan didapatkan dalam upaya latihan bela negara tersebut.
Di zaman globalisasi,  terasa aneh mendengar kata bela negara, apaagi bagi generasi baru. Namun, justru di zaman globalisasi inilah banyak sekali ada tantangan-tantangan ancaman baru tidak terduga yang bisa mengancam kedaulatan NKRI. Ancaman itu bukan semata ancaman pasukan asing yang masuk ke tanah air, tetapi pertarungan dalam bentuk lain yang bisa dipicu oleh penyerobotan wilayah, penyerangan perangkat komputer negara, saling klaim perbatasan, persaingan perdagangan, hingga pertarungan budaya yang membutuhkan kesadaran segenap warga bangsa. Pada saat inilah, kita memerlukan generasi yang tangguh yang mampu membela negara dari segala lini.
Indonesia pernah mengalami dominasi militerisme pada era Order Baru yang penuh sesak dengan doktrin, petunjuk, pemagaran berpikir, dan penyeragaman. Tanpa mengurangi aspek penting perekrutan bela negara, ketahanan dan pertahanan negara harus terlebih dahulu membangun kekuatan budaya, intelektualitas, dan spiritualitas. Budaya tidak hanya melulu bersangkut paut dengan seni, tetapi lebih mencakup kemampuan pola berpikir bangsa. Di situ pula tempat subur menyemai wawasan kebangsaan.
Saatnya Membela Rupiah
Bahwa ancaman terhadap integrasi bangsa yang membutuhkan pembelaan segenap warga Negara ternyata justru bukan berupa ancaman menggunakan kekuatan pasukan asing. Bukti paling nyata adalah lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan ke Malaysia bukan karena Indonesia kalah perang, tetapi Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Ligitan dan Sipadan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena hilangnya kedaulatan rupiah di kedua pulau tersebut. Artinya ketika kedaulatan rupiah tidak lagi tegak di wilayah NKRI maka jangan kaget kalau kemudian kedaulatan negara di wilayah tersebut juga akan hilang.
Oleh karena itu, untuk menegakkan kedaulatan Negara bisa dilakukan dengan menegakkan kedaulatan rupiah di negerinya sendiri. Dalam bahasa yang berbeda bisa dikatakan bahwa untuk membela negara, bisa dilakukan juga dengen membela rupiah.  Kalau kedaulatan rupiah tergusur oleh mata uang asing, maka cepat atau lambat kedaulatan negara juga akan tergusur dari wilayah tersebut. Maka agenda strategis yang harus dilakukan bangsa ini adalah menegakkan kedaulatan rupiah di atas seluruh wilayah NKRI
Rapuhnya kedaulatan rupiah di negeri ini terbukti telah banyak menimbulkan persoalan serius. Salah satunya adalah rentannya nilai tukar rupiah yang tergerus oleh mata uang dolar Amerika. Kita merasakan,  pelemahan nilai tukar mata uang yang sering terjadi mudaratnya lebih terasa. Misalnya, APBN jebol dan terkurasnya cadangan devisa. Sementara, masih banyak industri di dalam negeri yang mengandalkan bahan penolong yang harus diimpor. Pada gilirannya, harga-harga di pasaran ikut terkerek karena bahan baku impor menjadi lebih mahal. Kemudian, pelemahan tersebut bakal memukul industri keuangan. Bunga kredit perbankan akan terdorong naik untuk menekan depresiasi rupiah. Itu berarti daya beli masyarakat melemah, ekonomi lesu, dan inflasi tidak terkendali. Terjadi lingkaran setan ekonomi yang ditakuti siapa pun: kredit mahal dan ekonomi tidak berjalan karena daya beli masyarakat rendah. Yang paling terasa dalam kehidupan masyarakat luas adalah menurunnya kesejahteraan karena harga-harga tidak terjangkau. Itulah kecenderungan yang kini dirasakan masyarakat kebanyakan.
Oleh karena itu, kalau pemerintah hari ini bersemangat mengampanyekan program bela Negara bagi warga negara, maka pemerintah juga jangan sampai melupakan untuk mengampekan ‘bela rupiah’ dengan mendorong pemakaian rupiah dalam melakukan transaksi ekonomi di tanah air.
Menurut penulis, membela rupiah dengan menggunakannya sebagai alat transaksi ekonomi sesungguhnya merupakan bentuk lain dari bela Negara. Dari sisi regulasi, keharusan memakai rupiah dalam melakukan transaksi juga sangat jelas. Undang Undang No 7 Tahun 2011  tentang Mata Uang mengatur dan mewajibkan setiap transaksi keuangan menggunakan rupiah. Terkait sanksi hukungnya, pasal 33 UU No. 7/2011 ini misalnya ditegaskan barang siapa tidak menggunakan rupiah pada setiap transaksi keuangannya maka dikenakan sanksi berupa kurungan selama 1 tahun dan atau denda sebesar Rp 200 juta. Bukan itu saja, Bank Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran (SE) BI No.17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No. 7 /2011.  Menurut ketentuan ini, setiap kegiatan atau transaksi keuangan di wilayah NKRI, baik tunai maupun nontunai, harus (wajib) menggunakan mata uang rupiah. Kewajiban penggunaan rupiah dalam bertransaksi juga tercantum dalam Peraturan BI No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah NKRI.
Akhirnya, ajakan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu agar semua pihak utamanya para pengusaha dan dunia perbankan menggunakan rupiah dalam setiap transaksi di tanah air sejatinya bukan semata dimaknai sebagai upaya untuk memperkuat fundamen ekonomi sehingga nilai tukar rupiah menguat, tetapi kesadaran untuk menggunakan rupiah adalah wujud dari kesadaran dan kecintaannya terhadap NKRI. Kalau bukan warga bangsa ini yang mau membela rupiah, kepada siapa lagi kita harus berharap?

                                                                                                                       ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: