Belahjimat Mangunharjo Bentuk Penghormatan pada Leluhur

Jamasan Kentongan Mangunharjo, pelestarian budaya dan perkuat gotong royong. [wiwit agus pribadi]

Probolinggo, Bhirawa
Kelurahan Mangunharjo menggelar serangkaian kegiatan budaya bertajuk ‘Bersih Lahir Jiwa Masyarakat Mangunharjo’ atau bisa disebut Belahjimat. Acara ini digelar Sabtu (30/7) hingga Minggu (31/7), diawali dengan Khotmil Quran di seluruh RW di wilayah Kelurahan Mangunharjo. Dua juz terakhir dibacakan khusus di Makam Bupati Pertama Probolinggo Joyolelono yang terletak di Jl Imam Bonjol.
Ziarah kubur di makam lima kepala desa (kini kelurahan) Mangunharjo pertama dilanjutkan ke makam bupati pertama dan kedua. Rombongan ziarah kubur berangkat pada Sabtu (30/7) sore yang diikuti tokoh masyarakat, Ketua RW, Babinsa dan Tim Penggerak PKK Kelurahan Mangunharjo yang jumlah keseluruhannya sekitar 60 orang. Tujuan pertama Makam Joyolelono. Bupati pertama ini menjabat dari tahun 1746-1768. Untuk diketahui, dahulu Probolinggo masih dalam satu kawasan Probolinggo Raya.
Menurut Lurah Mangunharjo, Hari Setyoyani, rangkaian ziarah kubur ke lima kepala desa dilakukan karena merekalah cikal – bakal dalam pembangunan kelurahan Mangunharjo sampai saat ini. Juga untuk menggali potensi budaya sekaligus mengangkat rangkaian budaya dan perekonomian saat ini, setelah kemarin terjadi pandemi.
Kemudian dilanjut di makam Bupati Probolinggo kedua, Djojonegoro, yang menjabat pada tahun 1768-1805. Bupati Djojonegoro juga disebut sebagai kanjeng jimat yang konon disebelah makamnya juga terkubur jimat – jimat yang dimilikinya. Di dalam area makam ini terdapat pula makam Kepala Desa kelima yaitu Soetodjo.
Ketiga di TPU Tajungan yang merupakan lokasi makam lurah pertama dan lokasi keempat yaitu TPU Sumber Arum yang berlokasi di Jl Anggrek, tempat bersemayamnya Kepala Desa ketiga yaitu Arjo Sari.
Sementara itu, Ketua Panitia Belahjimat, Rudi menjelaskan, kegiatan ini ditujukan untuk menghormati leluhur. Kini generasi muda semakin kurang mengenal sejarah, jadi ini sebagai pengenalan kembali. Ditambah pula di Mangunharjo ini ada kentongan dari kepala desa kedua, Lembu Suro, yang membuat Kentongan berbentuk macan. Jadi dikemas acara ini menjadi beberapa rangkaian yang menarik dan mengenal potensi budaya Mangunharjo.
Kentongan berbentuk Macan yang dibuat pada 1918 oleh lurah kedua ini akan dibersihkan pada Sabtu Malam sekaligus istigasah bersama. Rangkaian lain dari giat Bersih Lahir Jiwa Masyarakat (Belahjimat) Mangunharjo, Minggu (30/7) malam, yakni gelaran istigasah dan ritual jamasan kentongan untuk melestarikan kearifan budaya dan memperkuat gotong royong, yang dilakukan dari aula kelurahan setempat.
Lurah Mangunharjo, Hari Setiyo Yani menambahkan jamasan kentongan merupakan rangkaian dari kegiatan Grebeg Suro Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan, yang dilakukan sejak pagi hari sebelumnya.
“Kentongan ini dibuat kepala desa kedua, Pak Misrun atau Ki Lembusuro pada tahun 1918. Maka dengan semangat tahun baru Islam, dibuat acara ini dengan harapan semoga masyarakat Mangunharjo khususnya mendapat berkah, anugerah dan hidayah serta dijauhkan dari segala hal buruk. Kentongan hitam berbentuk ini merupakan ikon Kelurahan Mangunharjo dengan banyak nilai sejarah didalamnya selain karena dibuat jauh sebelum Indonesia merdeka,” jelas Hari.
Di Kota Probolinggo sendiri kini hanya memiliki dua kentongan yang masih berfungsi dan terawat. Selain di Kelurahan Mangunharjo ini, kentongan lainnya berada di wilayah Kebonsari Kulon. Kentongan mengingatkan filosofi komunikasi masyarakat tradisional. Dalam komunikasi itu, melibatkan berbagai elemen antara kawula dengan pemimpin.
Sementara itu, Ketua LPM Mangunharjo yang sekaligus dipercaya sebagai Sesepuh Kelurahan Mangunharjo Rudi Purwanto menegaskan, giat malam itu lahir dari sebuah pemikiran dari banyaknya potensi wisata dan budaya yang dimiliki Kelurahan Mangunharjo. Salah satunya adanya peninggalan terakhir kepala desa kedua yang masih terawat sampai saat ini yakni kentongan tersebut.
Ritual jamasan mengandung makna kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Jamasan juga sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap kentongan sebagai alat komunikasi tradisional para leluhur. Yaitu, Pawai Budaya dan Jamasan Pusaka. Kegiatan itu terangkum dalam giat Belah Jimat (Bersih Lahir dan Jiwa Masyarakat Mangunharjo) pertama kalinya diadakan dari swadaya masyarakat setempat.
Bertemakan Darma Titah Sagara Bumi, pawai budaya digelar serentak di tiga penjuru dengan menggunakan mobil hias dan diiringi tabuhan musik tradisional. Jabo Sagere dari arah selatan (Jalan Imam Bonjol), Rana Wijaya dari arah timur (Jl Hayam Wuruk) dan Kelabang Songo dari arah utara (perempatan Jalan Pati Unus) dipecah karena pandemi Covid 19. Ketiga mobil kencana hias itu finish di area Klenteng Tridharma Sumbernaga, masih di kawasan Kelurahan Mangunharjo.
Wali Kota Probolinggo, Habib Hadi Zainal Abidin bersama guru Lingkungan Hidup Kota Helsingborg Swedia Mr Peter Book menyempatkan melihat pelepasan pawai budaya di Perempatan Patiunus. Ia memperkenalkan Kelabang Songo sebagai salah satu dari sekian banyak budaya yang ada di kota, tambahnya. [wap.fen]

Tags: