Belajar Baca Tulis untuk Hijrah dari Keterpurukan

Peserta lomba keberaksaraan dari Kabupaten Malang mengangkat tampil membawakan tema Hijrah di aula Kantor Dindik Jatim, Selasa (25/8).

Peserta lomba keberaksaraan dari Kabupaten Malang mengangkat tampil membawakan tema Hijrah di aula Kantor Dindik Jatim, Selasa (25/8).

Saat Warga Buta Huruf Beradu Bakat Keberaksaraan
Kota Surabaya, Bhirawa
Belajar membaca, menulis dan berhitung adalah kompetensi yang seharusnya sudah dikuasai anak sejak di jenjang  SD. Namun kenyataannya, penyandang buta huruf di usia produktif masih saja ada. Sebagian di antara mereka menyerah dengan keadaan. Tapi sebagian yang lain punya tekat untuk belajar dan bangkit dari keterpurukan.
Ada banyak alasan, mengapa orang-orang yang usianya sudah dewasa itu masih belum bisa membaca dan menulis. Faktor utama jelas adalah pendidikan. Namun di balik itu, ada faktor lain yang membuat penyandang buta huruf ini tidak bisa menikmati indahnya sekolah. Di antaranya faktor sosial, ekonomi dan budaya.
Syafii, Lis Handayani, Tutik, dan Painy adalah contoh kecil di antara ratusan ribu penyandang buta aksara di Jatim. Keeampatnya termasuk yang memiliki tekat untuk berubah lebih baik. Sudah satu  tahun ini, keempatnya bersikeras untuk belajar menulis dan membaca di sebuah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Padahal dua dari tiga perempuan itu sempat terjerumus di kelamnya dunia malam. Menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial)  di lokalisasi Suko dan Slorok Kabupaten Malang.  Sedangkan Syafii, juga pernah mencari nafkah sebagai tukang parkir di wilayah lokalisasi itu.
“Awalnya memang susah belajar seperti anak-anak. Tapi saya niat, makanya sungguh-sungguh,” tutur Lis ditemui usai mengikuti lomba keberaksaraan di Kantor Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Jalan Jagir Sidoresmo 5 Surabaya, Selasa (25/8) kemarin.
Niatnya mengikuti Program Keaksaraan Fungsional (KF) bermula dari anak kecil yang bertanya pada orangtuanya tentang sebuah tulisan. Tapi orangtua si anak itu tidak dapat menjawab karena buta huruf. “Saya jadi mikir. Kalau saya tidak bisa baca bagaimana jika anak saya tanya seperti itu. Akhirnya saya mulai belajar membaca,” tutur dia.
Lis mengaku, sejak kelas dua SD sudah memutuskan untuk bekerja. Ini karena buruknya kondisi ekonomi keluarga. “Bapak saya waktu masih kelas 2 itu meninggal hanyut di sungai. Makanya saya terus bekerja karena adik-adik saya masih kecil-kecil,” ungkap dia.
Di PKBM Sultan Agung Lis dan teman-temannya fokus belajar membaca dan menulis. Itu karena dia masih termasuk dalam program KF dasar. Dia berharap bisa mengikuti program KF lanjutan dan selanjutnya bisa mengikuti pendidikan kesetaraan kejar Paket A. “Kalau saya diberi kesempatan dan tidak ada halangan, akan saya lanjutkan sampai kejar Paket B dan C juga,” tutur perempuan 38 tahun itu.
Lis mengakui perkembangannya yang cukup pesat selama setahun dia belajar. Ini dia buktikan saat akting drama dalam lomba keberaksaraan. Aktingnya menampilkan drama bertema Hijrah itu sukses memukau peserta dan dewan juri selama 25 menit. Keberhasilannya tampil sebagai aktor drama, tak lepas dari persiapannya menghafal naskah dialog dan berlatih peran. “Sekarang sudah bisa baca sedikit-sedikit. Nulis juga dikit-dikit. Tapi kalau nyinden pintar, apalagi ngitung duit, tambah pintar,” tuturnya lalu tertawa.
Elok Lusiyawati, tutor PKBM Sultan Agung menceritakan terkait tema hijrah yang diangkat di atas panggung dramanya. Hijrah yang berarti pindah terinspirasi dari kehidupan warga belajarnya. Yaitu para PSK yang bekerja di lokalisasi yang kini telah menjadi warga terdidik. “Awalnya memang susah mengajak mereka mau belajar. Kadang saya yang harus datang ke rumah mereka satu per satu karena sulitnya mengumpulkan warga belajar,” tutur dia.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Dindik Jatim Abdun Nasor menuturkan, lomba keberaksaraan adalah wadah bagi peserta program KF. Baik KF dasar maupun lanjutan. Pada penyelenggaraan tahun ini, ada 13 kabupaten/kota yang ikut serta mengirimkan delegasinya. 13 daerah tersebut merupakan wilayah pinggiran yang termasuk dalam zona merah dan kuning. “Salah satunya PKBM Sultan Agung yang patut diapresiasi. Karena mereka telah berhasil mengentas masyarakat yang kurang beruntung dari sisi sosial ekonomi,” ungkap dia.
Dalam ajang tersebut, seleksi dilakukan melalui tiga tahap. Penulisan biodata, penampilan bakat dan wawancara testimoni. “Menulis biodata saja banyak yang masih kesulitan. Sepertinya memang remeh, tapi bagi mereka itu sudah tantangan berat,” jelas dia.
Para peserta yang terbaik dalam ajang ini, selanjutnya akan diikutkan dalam lomba keberaksaraan tingkat nasional. “Dua tahun ini Jatim mampu meraih juara dua. Mudah-mudahan tahun ini bisa jadi yang terbaik,” harap Nasor.  [Adit Hananta Utama]

Tags: