Belajar Bijak Menyikapi Isu-Isu Kemanusiaan

Cerita ManusiaJudul    : Cerita Pilu Manusia Kekinian
Penulis    : Edi AH Iyubenu
Penerbit  : IRCiSoD
Cetakan  : I, 2016
Tebal    : 264 halaman
ISBN    : 978-602-0806-71-6
Peresensi  : Nurul Lathiffah
Alumnus Psikologi UIN Yogyakarta

Ada yang hilang dengan kemanusiaan dan spiritualitas milik manusia modern. Setidaknya, prolog ini mampu menghentak pembaca untuk menyelesaikan buku setebal 264 halaman ini. Dalam buku ini, dipaparkan renungan-renungan sedih yang dirasa berharga untuk merawat hakikat kemanusiaan. Hakikat kemanusiaan merupakan suatu hal yang sangat bermakna. Sebab, di era modern ini, uang seakan bisa menjawab segala problematika. Padahal, ketika seseorang mengejar materi tanpa menyediakan waktu untuk merenung dan berpasrah diri padaNya, maka kehampaan hidup pun tak dapat dihindarkan.
Menyimak tulisan Edi AH Iyubenu akan mengantarkan pembaca pada kesadaran primordial yang paling suci, yakni agama. Dengan menghayati esai-esai di dalamnya, pembaca diibaratkan melakukan aktivitas mental yang penting, yakni mengumpulkan serpihan spiritualitas yang hilang. Pembaca pun akan memiliki kelembutan hati dan sikap yang kaya akan nilai toleransi. Buku ini juga bermuatan kritik terhadap kekerasan mengatasnamakan agama yang dapat menjadi penyebab awal hilangnya spiritualitas.
Agama Islam merupakan merupakan agama kasih sayang dan sarat akan toleransi yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak benar jika beragama harus menggunakan kekerasan. Berislam tidak bisa dilakukan dengan sikap kasar. Sebab, Rasulullah Saw. mengajarkan kelembutan dan keindahan akhlak. Berdakwah juga harus didasari sikap lemah lembut, kasih sayang, tidak tergesa-gesa, dan bahkan harus dilakukan dengan santai.
Mari berdakwah dengan santai, tidak usah tersengal-sengal saking kebeletnya hendak mengubah dunia seisinya atas nama dakwah fi sabilillah. Bagaimanapun, pluralitas dan keragaman pemahaman, pilihan hidup, hingga agama adalah sunatullah (halaman 40-41). Dalam esai yang bertajuk, “Dakwah itu Kasih yang Santai,” Adi AH Iyubenu menyisipkan pesan penting akan perlunya menumbuhkan toleransi dalam beragama, bersahabat, dan bermasyarakat. Sedangkan, dalam memandang NKRI harga mati, penulis yang merupakan kandidat doctoral ini berpendapat bahwa merawat nasionalisme itu berpahala besar.
Perkara praktik demokrasi Pancasila di NKRI tercinta memang masih compang-camping. Justru, hal ini semestinya menjadi tugas bersama untuk memperbaikinya dari waktu ke waktu (halaman 83). NKRI sungguh merupakan sistem paling tepat yang telah diantisipasi oleh para founding fathers.  Pancasila sebagai dasar negara akan mampu merawat pluralitas bangsa. NKRI harga mati perlu disadari, dihayati, dan dipahami oleh lintas generasi.
Selain menawarkan point of view yang segar dan inspiratif mengenai problematika masa kini, buku ini juga banyak memberikan pengetahuan yang mempu menjernihkan jiwa. Pada salah satu esai bertema feminisme misalnya, dipaparkan bahwa memuliakan kaum wanita merupakan tanda kemuliaan pria. Hal ini juga ditegaskan oleh nasihat Ali bin Abi Thalib, “Tidaklah memuliakan wanita kecuali lelaki mulia, dan tidaklah menghinakan wanita kecuali lelaki hina.”
Relasi wanita-lelaki secara hakikat bukanlah relasi berhadapan, head to head, tetapi berjamaah untuk saling melengkapi. Pada level-level tertentu, pemimpin (lelaki) sudah pasti harus mendengarkan pendapat yang dipimpinnya. Tetapi, pemimpin hanya boleh ada satu. Tidak mungkin dalam rumah tangga ada dua pemimpin. Fungsi satu imam adalah untuk mengambil keputusan akhir (halaman 128). Memuliakan wanita merupakan kewajiban kaum pria. Sebaliknya, memghormati pria merupakan kewajiban wanita. Jika dua hal ini sudah terjadi, maka feminisme ala Barat tak perlu diimpor ke Indonesia. Selain feminisme, isu-isu kemanusiaan lain yang juga diangkat ialah poligami.
Cukup tegas Quraish Shihab menyimpulkan bahwa Islam tidak mewajibkan poligami. Islam pun tidak menganjurkan poligami. Jika poligami merupakan perintah atau anjuran, niscaya Allah Swt. akan menyediakan jumlah wanita sebanyak 4 kali lipat dari jumlah lelaki, yang notabene tidak demikian komposisi jumlahnya (halaman 140). Bersandar pada pandangan itu, kaum wanita hendaknya tidak menolak poligami secara ekstrim. Sebab, penolakan yang salah akan menuai masalah akidah. Para lelaki boleh berpoligami jika mampu memberikan nafkah dan pendidikan bagi anak-anaknya. Namun sebaliknya, merea tidak boleh berpoligami jika tidak bisa mendidik dan menafkahi anak-anak secara layak.
Meski esai-esai inspiratif dalam buku ini banyak didominasi oleh paradigma muda sang penulis yang sangat cerdas dan energik, terdapat pula paradigma keayahbundaan yang sangat bijak. Pada halaman 197 misalnya, terdapat kutipan nasihat dari Abah,” Nak, janganlah kamu sampai bermusuhan dengan orang lain hanya karena uang. Harta hanyalah titipan-Nya yang sewaktu-waktu sangat mudah diambil-Nya. Jangan kamu menyangka akan kaya karena kepintaranmu, sebab semua anugerah Allah Swt. Pada saatnya kamu akan meninggalkannya. Binalah selalu silaturahmi tanpa pandang bulu, sebab itulah cara sederhana untuk membuatmu selalu ingat bahwa kamu hanyalah manusia.” Menyelami esai-esai dalam buku ini akan mengetuk kesadaran nurani untuk menjadi pribadi yang bijak, dewasa, dan matang. Selamat membaca.

                                                                                             ——————– *** ——————–

Tags: