Belajar dari Kasus di Kudus

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Seperti yang sudah diprediksi bahwa mulai terjadi tren lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah daerah. Lonjakan kasus yang ‘fenomenal’ adalah lonjakan kasus di Kudus Jawa Tengah dengan peningkatan kasus 30 kali lipat atau 3.000 persen. Hingga pekan kemarin tercatat setidaknya 7.736 warga Kudus terkonfirmasi Covid-19. Yang lebih ironis kasus tenaga kesehatan (nakes) yang terinfeksi virus corona di Kabupaten Kudus mencapai 358 orang nakes. Bagi sebagian besar kalangan terutama para pejabat publik ini merupakan aib yang mungkin akan mencitrakan sebuah daerah menjadi buruk atau minimal kinerja pemerintah daerah khususnya Dinas Kesehatan dicibir memiliki kinerja yang buruk. Namun secara pendekatan epidemiologis kenaikan atau lonjakan suatu kasus di suatu daerah justru memberikan keberhasilan Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan dalam melakukan upaya 3 T (testing, tracing dan treatment) sehingga dapat diketahui jumlah kasus yang sebenarnya serta upaya intervensi secara nyata dan komprehensif.

Harus diakui sebenarnya banyak daerah menganggap bahwa terjadinya kasus menjadi zona merah memberikan rapor buruk dan image negatif bagi daerah. Padahal semakin ‘terkuak’ kasus Covid-19 kian memudahkan untuk mengintervensi dan menentukan strategi penanggulangan. Ibarat perang, zona merah merupakan musuh yang nyata dan nampak secara fisik sehingga dapat menyiapkan berbagai taktik dan strategi perang untuk mengalahkannya. Ini jugalah yang keberhasilan inteligen atau telik sandi dalam mengidentifikasi musuh-musuhnya. Dalam konteks penanganan Covid-19 kondisi ini mirip agar jelas dan spesifik. Langkah apa yang ditempuh untuk menurunkan kasus, mengurangi potensi penyebaran dan memutus mata rantai penularan. Jika demikian, berdasarkan analisis kesesuaian dan hubungan sebab akibat (kausalitas) maka memprediksi akan terjadi lonjakan kasus setidak dipertengahan hingga akhir bulan ini, mengingat karakteristik antar daerah hampir sama yakni muncuknya berbagai klaster seperti klaster keluarga, klaster silahturahmi, klaster ziarah, klaster tarawih, klaster hajatan, klaster takziyah, klaster kupatan, klaster bukber hingga klaster lain.

Kapan Berakhir?

Hingga detik ini tidak ada ahli yang mampu memprediksi kapan sebenarnya pandemi ini akan berakhir, namun secara umum mengacu pada pendekatan (approach) kesehatan masyarakat (public health) adalah pertama, kondisi lingkungan sosial kemasyarakatan, ekonomi dan kondisi iklim cuaca serta kepadatan penduduk. Karakteristik masyarakat kita sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dimana cenderung sering berkumpul, berinteraksi, bersosialisasi hingga kebudaya cangkrukan di warung, café, atau tempat nongkrong lainnya. Kebiasaan ini tidak mudah untuk diintervensi secara persuasif dan edukatif karena sudah menjadi sesuatu yang menyenangkan bahkan sebuah keharusan sehingga potensi menimbulkan kerumunan dan kontak langsung tak terhindarkan. Selain itu kondisi cuaca ekstrim misalnya, yang menandai perubahan musim yang dapat berpotensi terjadi bencana baik banjir, longsor, kekeringan, gempa bumi dan lain-lain sehingga dapat memunculkan potensi klaster baru Covid-19.

Tidak mudah untuk menerapkan protokol Kesehatan secara maksimal Ketika dalam kondisi darurat. Bagaimana menyelamatkan warga di pengungsian sekaligus menerapkan protokol kesehatan secara komprehensif. Tentu tidak mudah sekedar teori dan kata-kata karena sekali lagi kondisi tidak ideal untuk menerapkan protokol kesehatan seperti upaya pemisahan sebagai manifestasi dari menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Kondisi tersebut diperparah ketika dalam kondisi darurat dan serba keterbatasan. Daya tampung, mobilitas pengungsi, relawan, pemenuhan sarana dan prasarana dasar, penyaluran bantuan logistik hingga kebutuhan darurat lainnya. Keadaan yang berdesakan di lokasi pengungsian yang tidak memadai bisa menyebabkan tempat tersebut menjadi episentrum penularan virus korona.

Kedua, perilaku masyarakat yang kian abai terhadap protokol kesehatan. Penerapan 5 M (mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, membatasi mobilitas dan menjauhi kerumunan) harus dilakukan oleh setiap individu tanpa kecuali secara masif dan konsisten. Hal ini tentu diawali oleh pejabat karena masyarakat masih (role models) yang menjadikan figure publik menjadi suri tauladan nyata dalam implementasi protokol kesehatan. Ketiga, pengaruh mutasi strain virus yang memiliki daya virulensi yang sangat tinggi atau sangat mudah menular terutama munculnya beberapa varian baru (new varian concern) yakni varian B.1.1.7 (asal Inggris), varian B.1.3.5.1 (asal Afrika Selatan) dan varian B.1.6.1.7 (asal India) yang mulai marak ditemukan di sejumlah daerah. Memang mutasi virus bukanlah sesuatu yang baru, memang karakteristik virologi, epidemiologi, dan klinis, virus mudah bermutasi atau “memodifikasi diri” sesuai kondisi dan sifat genuisitasnya, termasuk substitusi asam amino meski tidak memengaruhi fungsi protein.

Keempat, kapasitas dan sumber daya kesehatan. Problematika keterbatasan sumber daya negara baik kapasitas layanan kesehatan yang terus ditingkatkan penambahan bed, fasiluitas laboratorium, kemampuan deteksi hingga perluasan layanan melalui relawan-relawan kemanusiaan hingga peningkatan kapasitas komunikasi kebijakan publik. Saat ini dimana kondisi darurat pandemi perlu juga dilakukan upaya yang bersifat memaksa masyarakat agar patuh pada protokol kesehatan perlu disiasati dengan kebijakan yang bersifat nudging, yaitu kebijakan yang mendorong psikologi masyarakat agar mengatur dirinya sendiri secara lebih rasional (choice architecture) agar disiplin atas protokol kesehatan. Tendensi bagi manusia untuk menjustifikasi risiko dan manfaat berdasarkan pengaruhnya. Perasaan negatif yang ditimbulkan akan mempengaruhi aksi seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang diberitahu dampak dari tidak mematuhi protokol kesehatan akan menyebabkan tertular virus, maka ini diprediksi akan menimbulkan perasaan negatif yang berujung pada resistensi untuk mematuhi kebijakan tersebut.

Narasi stay at home diubah menjadi “Jangan Lewatkan Kesempatan Memeluk Keluarga Anda di Rumah”. Perasaan positif yang ditimbulkan terbukti “mengintervensi” emosi masyarakat untuk tetap stay at home dan mematuhi protokol kesehatan tentu dibarengi dengan mengakomodasi sisi kearifan lokal daerah masing-masing. Kelima, sistem dan kebijakan kesehatan berupa politik anggaran, diplomasi pengadaan, ketersediaan, kecukupan dan distribusi fasilitas, alat pelindung diri, kapasitas labolatorium, termasuk vaksin. Kebijakan tersebut harus diprioritaskan pada produksi dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan dan standar kesehatan. Keenam, mempercepat pencapaian kekebalan kelompok (herd immunity) minimal dua kali vaksin yakni 70 persen dari total masyarakat tervaksinasi. Harus diakui, keberadaan vaksin adalah game charger sebagai salah satu instrument terpenting dalam upaya memutus rantai penularan dengan memberikan kekebalan meski orang yang divaksin tidak menjamin untuk terpapar virus corona namun setidaknya tidak memperburuk kondisi berupa tingkat keparahan. Vaksin juga diyakini sebagai katalis dalam rangka pemulihan kesehatan sekaligus membangkitkan roda perekonomian yang kini masih terpuruk oleh pandemi yang belum juga usai.

——— *** ————

Rate this article!
Tags: