Belajar dari Kearifan Masyarakat Samin di Bojonegoro

Sesepuh masyarakat Samin Mbah Harjo Kardi (bersarung) ketika berfoto bersama dengan pakar sejarah Unesa Prof Aminudin Kasdi dan Pustakawan Ahli Utama Drs Sudjono MM.

Paling Patuh Bayar Pajak, Punya Perpustakaan Desa Terbaik Nasional
Surabaya, Bhirawa
Mendengar kata Samin, bisa jadi yang kemudian terbayang adalah sebuah masyarakat yang terisolasi, menutup diri dan terbelakang secara budaya. Tetapi jangan salah, ternyata dari masyarakat Samin inilah kita bisa belajar banyak. Bukan saja dari aspek budaya literasinya yang kuat, namun juga kepatuhannya dalam membayar pajak, kok bisa?
Pekan kemarin, tepatnya Rabu (23/1), Bhirawa berkesempatan mengunjungi kali pertama masyarakat Samin di Dusun Jipang, Desa Margomulyo Bojonegoro. Dusun Jipang ini berada di perbatasan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Ngawi, tetapi secara administratif, masuk wilayah Bojonegoro. Ikut serta dalam kunjungan tersebut, guru besar sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Aminudin Kasdi dan Pustakawan Ahli utama Drs Sudjono MM.
Memilih memanfaatkan jalur tol Surabaya – Ngawi yang masih mulus dan lengang, perjalanan menuju Desa Margomulyo ditempuh dalam waktu kurang dari 3 jam. Sebelum menuju perkampungan Samin yang masih berada di tengah hutan, terlebih dahulu singgah di kantor Desa Margomulyo yang berada tepat di pinggir hutan. Kades Margomulyo Nuryanto sudah menunggu di pendopo desa ditemani para ibu-ibu pengelola perpustakaan desa dan beberapa pejabat dari kecamatan. Setelah ngobrol sebentar dan menikmati hidangan hasil kebun, rombongan pun bergerak menuju kediaman Mbah Harjo Kardi (85 tahun) sesepuh warga masyarakat Samin.
Jalur dari kantor desa menuju Dusun Jipang ditempuh dengan menggunakan mobil sekitar 30 menit. Jalan yang dilewati sudah sangat nyaman karena sudah berpaving. Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan kondisi beberapa tahun sebelumnya yang berupa jalan tanah yang sangat licin dan sulit dilalui dengan mobil. Setelah 30 menit perjalanan, sampai dirumah kediaman mbah Harjo.
Sosok sepuh mengenakan baju warna hitam bersarung warna ungu, mengenakan ikat kepala berdiri kokoh di teras rumah, menyambut kedatangan rombongan. Sosok yang tetap terlihat energi dan hangat ini tidak lain adalah Harjo Kardi generasi keempat dari Suro Sentiko, pendiri Samin. Semua rombongan dipersilakan duduk di ruang tamu yang tertata rapi. Diskusi panjang penuh kehangatan dan kekeluargaan pun mengalir dengan lancar. Tak lupa, sajian kas kopi Samin dihidangkan untuk menemani ngobrol.
Mbah Harjo -demikian sosok seepuh ini biasa dipanggil– menuturkan bahwa masyarkat Samin tetap mengedepankan kebersamaan, kejujuran, kesederhanaan dan anti kekerasan, pada era keterbukaan ini. Ketika masa penjajahan Belanda dan Jepang dulu, jelas Mbah Harjo masyarakat yang didirikan Suro Sentiko itu dengan kompak tidak membayar pajak, tidak mau menjual hasil bumi serta tak bersedia bekerja sama dengan kaum penjajah. Meskipun penjajah melakukan kekerasan kepada Wong (orang) Samin, tetapi masyarakat setempat melakukan perlawanan tanpa gejolak. Melalui cara tadi, akhirnya pemerintahan penjajahan mundur teratur meninggalkan Margomulyo.
“Mosok pajek sing dibayar pribumi tapi duite digowo londo. Yo kebacut jenenge (Masak pajak yang dibayar pribumi, tetapi uangnya dibawa Belanda. Ya itu keterlaluan namanya),” jawab mbah Hardjo menggunakan bahasa Jawa. Hardjo, merupakan generasi keempat kelahiran tahun 1934 atau 85 tahun yang lalu , dari keturunan Suro Sentiko, pendiri Samin, asal Randu Belatung, Blora, Jawa Tengah (Jateng).
Menurut Mbah Hardjo, Wong Samin, sebelumnya belum mengetahui bahwa Indonesia telah diproklamirkan Soekarno dan Moh Hatta, sebagai negara merdeka dan berdaulat, pada 17 Agustus 1945. Untuk meyakinkan hari kemerdekaan itu, utusan warga Samin ini kemudian menghadap langsung Bung Karno di Jakarta. Setelah mengetahui Indonesia merdeka, mereka resmi membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) kepada pemerintahan yang sah. Sampai sekarang bisa dilihat, bahwa masyarakat Samin, taat membayar PBB bahkan sampai 100 persen.
“Jadi, Wong Samin, tidak melawan pemerintah, tetapi melalukan perlawanan kepada pemerintah kolonial, dengan tanpa kekerasan,” tegasnya.
Pakar sejarah Unesa Prof Aminudian Kasdi menjelaskan berdasar literatur yang dibacanya, Saminisme yang diajarkan oleh Suro Sentiko, mengajarkan kepada pengikutnya tentang kebersamaan, kejujuran, kesederhanaan dan anti kekerasan. Samin itu sendiri artinya sami-sami (sama-sama) amin, kebersamaan dan kegotongroyongan. Para pengikut Samin, begitu patuh pada ajarannya. Karena itu, di Dusun Jipang, dari dulu sampai sekarang aman dari segala bentuk pencurian dan kekerasan. Hal lain terhadap sifat kegotongroyongan, manakala ada di antara komunitas Samin, menderita sakit, maka perkumpulan meminjami sejumlah uang. Ketika pinjaman dikembalikan, tidak disertai bunga. Karena mereka tidak mengenal bunga uang yang dipinjamkan.
Mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jatim yang sekarang sudah menjadi Pustakawan Ahli Utama Drs Sudjono MM menambahkan di kalangan masyarakat Samin, selalu mengajarkan kepada para pengikutnya agar jangan menyakiti orang lain. Di samping itu, pengikut Samin diajarkan tidak berbuat kejahatan dan kekerasan. Agar komunitas tetap utuh, setiap malam Jumat Legi (manis), mereka berkumpul, mendengarkan petuah-petuah dari pemuka Samin. Secara khusus, jelas Sudjono kedatangannya ke Desa Margomulyo juga untuk melakukan pembinaan dan memberi motivasi kepada para pengelola perpustakaan untuk terus berinovasi sehingga bisa memberdayakan masyarakat setempat.
“Prestasi Perpustakaan Desa Margomulyo di tingkat nasional tentu harus dijaga dan terus dikembangkan, jangan sampai kemudian setelah berprestasi terus kendor pengembangannya,” tegas Sudjono lagi.
Kades Margomulyo Nuryanto menjelaskan, masyarakat Samin di Bojonegoro terus berbenah. Salah satu momentum yang dianggap berdampak besar bagi perkembangan masyarakat Samin adalah hadirnya Perpustakaan Desa Tunas Asa. Ide awalnya berasal dari ibu-ibu PKK yang ingin menumbuhkan minat baca, khususnya di kalangan pelajar dan generasi muda. Dan ternyata minat kuat yang datang dari masyarakat inilah yang kemudian menjadikan keberadaan perpustakaan menjadi penggerak perekonomian di Desa Margomulyo. Bahkan perpustakaan Desa Margomulyo ini pernah meraih sebagai perpustakaan desa terbaik nasional. Dengan prestasi yang diraih tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat Samin yang sebelumnya dianggap terbelakang ternyata sudah modern dan tidak kalah dengan yang lain. Oleh karena itu, potensi ekonomi, sosial dan budaya yang dimiliki masyarakat Samin sudah seharusnya mendapat perhatian dan dukungan untuk berkembang. [Wahyu Kuncoro SN]

Tags: