Belajar dari Wabah Coronavirus

Oleh :
Taufieq Ridlo Makhmud
Dokter PNS Kabupaten Madiun
World Health Organization (WHO) telah merilis nama resmi wabah penyakit yang disebabkan novel coronavirus, yaitu coronavirus disease 2019 (COVID-19). Penyakit COVID-19 semakin meningkat insidennya di sejumlah negara. Laporan harian di situs resmi WHO menyebutkan telah terdapat 71.429 kasus, di mana lebih dari 98% berasal dari negara Cina.
Jumlah kematian tercatat 1.775 kasus, dengan 1.772 kasus ada di Cina, yang berarti bahwa tingkat fatalitasnya sampai saat ini sekitar 2,5%. Angka ini tidak sepenuhnya tepat mengingat banyak kasus COVID-19 yang tidak terdeteksi, sebagaimana tuduhan Australia dan beberapa negara lain terhadap Indonesia karena belum adanya laporan warga Indonesia yang positif terinfeksi novel coronavirus (nCoV) yang kini disebut sebagai SARS-CoV-2
Tingkat fatalitas COVID-19 masih lebih rendah dibandingkan severe acute respiratory syndrome (SARS) tahun 2002 dan middle-east respiratory syndrome (MERS) tahun 2012. Namun, sebagaimana pandemi influenza di tahun 1918 yang memiliki rasio fatalitas di bawah 5%, dampaknya sangat besar karena transmisinya yang sangat cepat meluas ke banyak negara. Persoalannya bukan sekedar tentang jumlah kematian, tapi juga dampak ekonomi, sosial, dan finansial. Sebuah perhitungan menyebut hilangnya potensi ekonomi sekitar 160 miliar dolar akibat virus ini.
Novel coronavirus
Sejak Francis Crick dan James Watson menemukan struktur dasar DNA pada tahun 1953 yang disebutnya sebagai the secret of life, rahasia fundamental kehidupan seolah tersibak. Identifikasi organisme melalui pemetaan sekuensial genom memunculkan cakrawala pengetahuan baru. Novel coronavirus pun dengan cepat mampu diidentifikasi.
Sejak kemunculan pertamanya yang menghebohkan pada bulan Desember 2019 di Wuhan, Cina, dengan cepat sebuah tim di Wuhan Institute of Virology yang dipimpin virologis Zheng-Li Shi berhasil mengisolasi virus dari pasien wanita berusia 49 tahun. Sekuensial genom virus tersebut berhasil dipetakan dan dicocokkan dengan database the Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID). Pemetaan tersebut menunjukkan kemiripan 80-85% struktur genetik dengan coronavirus yang berasal dari kelelawar.
Coronavirus bukanlah virus baru. Sejauh ini ada enam jenis coronavirus yang menyerang manusia yaitu HCoV-229E, HCoV-NL63, HCoV-OC43, HCoV-HKU1, SARS-CoV, dan MERS-CoV. MERS-CoV dan SARS-CoV adalah virus zoonosis, yang berarti virus yang ditularkan dari hewan ke manusia. Berbeda dengan SARS-CoV dan MERS-CoV yang menyebabkan mortalitas tinggi, empat coronavirus lainnya merupakan penyebab dari penyakit flu biasa (common cold) dan tidak bersifat fatal.
Virus SARS-CoV-2 mirip dengan MERS-CoV dan SARS-CoV. Ketiganya memiliki kesamaan hewan yang menjadi reservoir alamiah primernya yaitu kelelawar. Virus tersebut kemudian berpindah ke hewan lain sebagai reservoir sekunder yaitu musang, rakun, atau unta. Penularannya terjadi melalui droplet (partikel saluran pernafasan berukuran sekitar 10 mikrometer) yang berasal dari pasien yang batuk atau bersin.
Sebagai virus RNA, SARS-CoV-2 memiliki fitur yang rentan terjadinya mutasi. Hal tersebut membuka kemungkinan berbahaya bahwa virus zoonosis patogen ini akan beradaptasi lebih efisien dalam menularkan dari manusia ke manusia dan menjadi lebih ganas.
Isu konspirasi dan senjata biologis
Beredar sejumlah informasi di media sosial yang mengaitkan SARS-CoV-2 dengan senjata biologis Cina. Virus tersebut diduga merupakan buatan pemerintah Cina yang disimpan di markas militer di Wuhan. Rencananya, virus itu akan disebar ke seluruh dunia demi menarik uang dari hasil penjualan vaksin.
Narasi yang beredar tersebut berasal dari wawancara The Washington Times bersama Dany Shoham pada 24 Januari 2020. Namun sebenarnya, dalam artikel tersebut Shoham menegaskan bahwa dugaan konspirasi itu belum disertai bukti atau indikasi kuat adanya infiltrasi coronavirus dari laboratorium di Wuhan.
Beberapa tahun silam, saat terjadi epidemi SARS, Menteri Kesehatan RI juga menduga adanya konspirasi negara-negara besar yang mengatasnamakan WHO. Negara berkembang yang tidak memiliki fasilitas dan kemampuan riset memadai ‘dipaksa’ menyerahkan sampel dari pasien-pasien yang terkonfirmasi SARS. Pengetahuan terperinci tentang virus dari sampel tersebut membuka jalan diciptakannya obat dan vaksin baru.
Permasalahannya adalah obat dan vaksin baru tersebut kemudian dijual dengan harga mahal kepada negara-negara berkembang, dengan mereka (negara maju) sebagai satu-satunya produsen. Tak ada imbal balik mutualisme data hasil riset, padahal banyak sampel yang berasal dari negara berkembang. Hal itu sengaja diciptakan untuk memunculkan ketergantungan suplai obat dan vaksin kepada negara-negara maju. Ini adalah sisi lain kapitalisme global yang berupaya menjerat negara berkembang dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakberdayaan. Dugaan konspirasi ini, sayangnya, pelan-pelan menghilang dan tak pernah berhasil dibuktikan.

Belajar dari wabah coronavirus
Wabah COVID-19 ini mengajarkan banyak hal. Salah satunya adalah kecepatan respon pemerintah Cina. Mereka dengan sigap membangun rumah sakit khusus untuk karantina dan perawatan pasien COVID-19 yang diselesaikan hanya dalam waktu 10 hari. Kisah ini mengingatkan kita kepada legenda terbangunnya candi Prambanan oleh Bandung Bondowoso. Wabah SARS tahun 2002, yang juga bermula di Cina, telah banyak mengajarkan era baru tentang keterbukaan dan tanggung jawab kepada pemerintah Cina sehingga jauh lebih responsif dan kooperatif.
Wabah COVID-19 memunculkan kegelisahan tentang bahaya penyakit zoonosis. Kegelisahan ini membangkitkan kesadaran baru tentang pentingnya konsep makanan halal. Rekomendasi ini berasal dari Naushad Khan dalam tulisannya yang berjudul “Effects of Coronavirus on the World Community”. Walaupun istilah halal lebih populer di kalangan muslim, namun konsep tentang makanan halal perlu diperkenalkan lebih luas. Halal bukan sekedar mengenai jenis binatangnya saja, namun juga menyangkut cara penyembelihan dan cara pengolahan. Halal terkait erat dengan higienisitas makanan yang harus dilakukan sejak hewan masih hidup beserta perlakuannya hingga siap dikonsumsi manusia.
Kita yakin bahwa selalu ada pelajaran berharga di balik setiap musibah. Cina telah mengajarkan kita tentang baik buruk banyak hal terkait wabah ini. Maka, tidak heran bila di masa 1400 tahun lalu Nabi pun menasihati kita agar menuntut ilmu hingga ke negeri Cina.
———— *** ————–

Rate this article!
Tags: