Belajar di TPQ Inklusi Sabilillah Gending, Probolinggo

Aktivitas belajar di TPQ Inklusi Sabilillah bagi anak berkebutuhan khusus. Di TPQ ini, setiap santri ABK didampingi satu pengajar. [wiwit agus pribadi]

Satu ABK Satu Pengajar, Berhasil Susun Metode Belajar Alquran untuk ABK
Kab Probolinggo, Bhirawa
Bagi Muhammad Mahin, mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) membaca Alquran tidaklah sulit. Pendiri TPQ Inklusi Sabilillah Gending itu menjadikan permainan sebagai metode membaca Alquran. Seperti apa?.
Ratusan santri tengah belajar Alquran di TPQ Inklusi Sabilillah hari itu. Terletak di Dusun Krajan, Desa Sumberkerang, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Total ada 127 santri. Dari ratusan santri itu, 11 di antaranya berkebutuhan khusus. Mulai disleksia, tunarungu, tunanetra, autis, dan lainnya. Mereka pun belajar bersama. Berbaur dengan santri lainnya.
Pengasuh TPQ Inklusi Sabilillah Muhammad Mahin mengatakan, santri ABK memang bisa belajar di tempatnya. Namun ada kelas khusus untuk mereka. Di kelas khusus itu, santri ABK ditangani atau diajari oleh satu pengajar.
TPQ Sabilillah sendiri berdiri pada 2001. Namun, mereka masih belajar di rumah Mahin. Saat itu, ada enam santri yang belajar di rumahnya. Atas saran ibunya, mereka lantas pindah di Masjid Sabilillah Sumberkerang di Gending. Sebab, masjid itu sepi dari kegiatan.
Mahin pun melaksanakan saran ibunya. Mereka belajar di teras masjid untuk menghidupkan suasana masjid. Bak gayung bersambut. Kegiatan belajar di teras masjid itu ternyata menarik perhatian warga sekitar. “Saat pindah ke masjid, para santri mulai berdatangan dan ikut belajar. Akhirnya dari sana TPQ terus berjalan dan berkembang. Sekarang total ada 127 santri di TPQ kami,” katanya.
Lalu pada 2014, ada santri ABK mendaftar. Saat itu, santri tersebut berusia 7 tahun dan merupakan anak autis. “Waktu itu saya tidak tahu autis itu apa dan seperti apa penanganannya. Yang jelas, kami tidak mungkin menolak santri yang mau belajar. Maka kami terima,” tuturnya.
Mahin menjadikan hal itu sebagai tantangan. Dia jadi sering membaca buku tentang anak autis dan bagaimana cara penanganannya. Termasuk bertanya ke teman-temannya dan psikolog. “Alhamdulillah, saya merasa ada perkembangan pada santri ABK ini. Yang awalnya sulit kontak, komunikasi, sekarang sudah bisa mengikuti tahapan pembelajaran,” terangnya.
Ternyata keberhasilan ABK ini tersebar ke orang tua yang juga punya anak ABK. Hingga akhirnya, sejumlah orang tua yang anaknya ABK mendaftarkan anak mereka di TPQ Sabilillah. Misalnya, ada santri tunanetra, tunarungu, tunawicara, dan lainnya. Untuk santri tunarungu, pihaknya kembali tertantang karena harus belajar bahasa isyarat.
Hingga akhirnya, dirinya mencatat tiap tahapan dan proses serta hasil yang dicapai dalam pembelajaran dengan santri ABK tersebut. Dirinya pun menggunakan metode pembelajaran yang menyenangkan. Satu santri ABK, ditangani langsung oleh satu pengajar.
“Saat ini ada 11 ABK dengan berbagai kondisi. Ada disabilitas psikis (disleksia), tunanetra, autis, down syndrom, tunagrahita. Disleksia ini yaitu kondisi khusus yang sulit membedakan huruf,” lanjutnya.
Untuk ABK kelas khusus, dikatakan Mahin, jadwal belajar menyesuaikan antara tenaga pengajar dan anak. Sebab, 11 ABK ini belum tinggal di asrama. Mengingat, keterbatasan tenaga dan anak untuk bisa hadir. Selain itu, tidak semua guru sanggup dan mampu melaksanakan pembelajaran pada ABK. “Guru di sini ada 12. Yang kelas khusus untuk santri ABK hanya tiga guru. Sementara ABK yang masuk kelas khusus, lima anak. Sisanya masuk di kelas semireguler dan reguler,” terangnya.
Untuk santri tunanetra, pihaknya masih menerapkan sistem mendengarkan dan menghafal. Memang sudah ada Alquran braile. Tetapi, belum ada tenaga pengajar huruf braile. Umumnya, menurutnya, pembelajaran membaca Alquran bagi ABK dilakukan dengan cara khusus. Melalui pendekatan, cerita, penanaman karakter.
Contohnya, anak suka main ular tangga, maka angka ular tangga itu diganti huruf hijaiah. Bahkan, mainan tembak-tembakan juga jadi materi pembelajaran. Caranya, guru menyiapkan sasaran tembak huruf hijaiah. “Tidak sulit dalam pembelajaran santri ABK. Bagi saya malah menyenangkan dan menantang. Hanya saja, kadang orang melihat ini menyita waktu. Tapi, bagi kami tidak,” tandasnya.
Agar lebih mudah, TPQ Sabilillah melibatkan tenaga ahli. Yaitu, seorang psikolog, Marya Manna yang bertugas di RSUD dr Mohamad Saleh Kota Probolinggo.
Biasanya, Marya hadir saat ada santri baru untuk melakukan observasi. Dari situ bisa ditentukan penanganannya. Selanjutnya, akan dievaluasi perkembangan psikisnya. “Pada perjalanannya, saya selalu mencatat tahapan dan proses demi proses pembelajaran ABK ini. Supaya menjadi koreksi dan evaluasi,” ungkapnya.
Dari situ, bahkan berhasil disusun metode pembelajaran Alquran untuk ABK. Judul bukunya, ABASA (Alquran Bagi Anak Spesial) yang saat ini masih proses editing.
Saat ini, makin banyak anak-anak dari luar daerah atau kota yang berminat belajar di TPQ Sabilillah. Pihaknya pun berkomitmen untuk tetap melayani. Tidak boleh menolak. “Bahkan, ada santri yang kondisiya lumpuh dan tunanetra, akhirnya kami yang datang,” paparnya.
Saat ini, bagi santri luar kota akan disiapkan asrama. Semua itu (asrama) hasil swadaya masyarakat. “Baru saja, Ramadan dapat wakaf tanah dekat masjid untuk asrama santri ABK yang hendak belajar,” tambahnya. [wiwit agus pribadi]

Tags: