Belajar Hidup dari Bertran Russell

Judul : Bagaimana Saya Menulis
Penulis : Bertran Russell
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Maret, 2020
Tebal : 224 halaman
ISBN : 978-623-7378-15-1
Peresensi : Ahmad Farisi, Pegiat Literasi di Garawiksa Institute Jokjakarta

Dalam kelas-kelas filsafat dan kajian-kajian ilmiah, nama Bertrand Russel barang tentu bukan barang asing lagi. Ia seorang filsuf, pemikir dan penulis. Salah satu karya berbentuk buku tebal yang hingga kini masih terus dibaca dan dikaji adalah History of western Philosophy and its Connection with Political social Circumstances from the earliest the Present Times Day, atau yang dalam edisi bahasa Indonesianya diterjemahkan menjadi Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang.
Dalam dunia pemikiran dan kepenulisan, sumbangsih Russell benar-benar nyata. Dan, itu adalah prestasi luar biasa yang ia capai. Menurut buku, prestasi Russel ini di capai karena sedari kecil Russel selalu semangat dan optimistis meski terus menghimpitnya. Kesedihan-kesedihan yang ia alami ia jadikan motifasi diri. Hingga akhirnya ia bangkit menjadi seorang pemikir dan penulis yang hingga kini pendapat-pendapatnya terus dijadikan rujukan. Penderitaan dan kesedihan-kesedihan Russell dalam menjalani hidup dan prosesnya tergambar jelas di dalam buku kumpulan esainya ini.
Kisah sedih hidup filsuf kelahiran 18 Mei 1872 ini berawal dari kepergian sang ibu, pada 1874. Selang dua tahun setelah kepergian ibunya itu, tepatnya pada 1876, ayah Russell juga pergi meninggalkan Russel untuk selamanya. Akibatnya, Russel menjadi yatim-piatu. Dan akhirnya, ia diasuh oleh kakek dan neneknya.
Bersama dengan kakeknya yang penganut Presbiterium Skotlandia, yang kemudian secara bertahap menjadi Unitarian. Russell banyak dipelari doktrin-doktrin keagamaan. Setiap hari Minggu, ia diajak masuk Gereja Parish dan Gereja Presbiterium. Sementara saat berada di rumah, ia dipelajari prinsip-prinsip Unitarianisme. Namun, perjalanan hidup Russell dengan sang kakek tidaklah lama. Sebab, berselang dua tahun setelah kepergian ayah dan ibunya, kakek Russell juga menyusul keduanya.
Masa kecil Russell memang menyedihkan. Ia tidak sekolah dan masuk jenis anak yang soliter. Pun demikian, hal yang perlu kita contoh, meski Russell tidak sekolah, soliter, dan mengalami banyak penderitaan, namun Russell tetap tidak patah semangat dan putus asa. Ia belajar dan terus mengasah diri dengan segala keterbatasan. Pada saat remaja, menurut pengakuan Russell sendiri, ia telah banyak melahap buku-buku yang ia dapatkan dari perpustakaan kakeknya. Beberapa buku yang Russell baca dan masih ia ingat, ungkapnya, adalah buku berjudul History of Christianity karya Milman, Gibbon, Comte, Machiavelli, Swift dan Carley.
Sehingga tak ayal, pada saat berusia empat belas tahun. Russell, sudah punya ajaran dasar tentang etika. Menurut Russell, “Prinsip fundamental etika seharusnya adalah promosi kebahagiaan manusia”. Prinsip demikian, menurut Russell, adalah tidak ortodoks dan disebut Utilitarianisme. Dilain sisi, disaat usianya masih muda ini, Russell juga punya keyakinan bahwa mengolok-olok orang lain, yang secara kasat mata untuk kesenangan belaka, sesungguhnya merupakan ungkapan permusuhan. Ia adalah sentajata fevorit— dan mungkin adalah senjata paling buruk yang tak jauh dari kekejaman nyata. Kerena itu, Russell sangat tidak menyukai perilaku mengolok-olok (hlm 12).
Dan pada saat bersamaan pula, lain daripada semua itu, pada usianya yang keempat belas ini sebagian besar pikiran-pikiran Russell juga mulai terarah pada bidang teologis. Empat tahun berikutnya, berangkat dari keinginannya untuk mempelajari teologi, Russell menolak kehendak bebas, keabadian dan juga keimanan pada Tuhan (hlm 10).
Pada bidang teologi ini, Russell mengaku cukup kesulitan mempelajarinya. Tetapi, meskipun Russell mengaku cukup kesulitan. Menurut pengakuan Russell dalam esainya yang berjudul Kenangan-kenangan Religius Saya, kesulitan-kesulitannya dalam bidang teologi itu masih lebih membahagiakan daripada menjalani hidup soliter (sendirian).
Sejurus kemudian, meskipun pada dasarnya Russell telah membaca banyak buku sejak masih muda. Namun, dalam dunia kepenulisan, Russell mengaku masih sangat sulit untuk menulis. Hal itu diungkapkan sendiri oleh Russell dalam sebuah esai berjudul Bagaimana Saya Menulis dengan bunyi kalimat; “Saya tidak bisa berpura-berpura mengetahui bagaimana menulis itu harus dilakukan” (hlm 81). Sehingga, pada usianya yang kedua puluh satu, Russell masih belum fokus menulis. Ia masih mencari dan mencari bagaimana ia menulis.
Mulanya, Russell, ingin mencoba menulis dengan meniru gaya John Stuart Mill. Menurutnya, ia suka struktur kalimatnya dan caranya mengembangkan sebuah pokok bahasan. Namun, hal itu tidak dilakukan, mengingat, Russell sudah memilik gaya ideal sendiri yang turunkan dari matematika yang dianggap lebih baik. Gaya ideal yang ia turunkan dari matematika ini adalah gaya menulis dengan jumlah kata terkecil yang dapat mengungkapkan sesuatu secara jernih.
Namun Russell tidak berhenti disitu, ia terus mencari gaya-gaya tulisan yang benar-benar cocok dengan kepribadiannya. Hingga suatu saat, ia menemukan suatu gaya ideal yang ia ungkapkan bahwa; gaya tulisan itu tidak ideal kecuali itu merupakan ekspresi intim dan hampir-hampir sukarela dari personalitas sang penulis, dan itu pun hanya jika personalitas sang penulis memang layak untuk diekspresikan.” Terang Russell.
————- *** ————–

Rate this article!
Tags: