Belajar Kebijakan dari Pemikiran Cak Nun

Buku Cak NunJudul  : Surat kepada Kanjeng Nabi
Penulis  : Emha Ainun Nadjib
Penerbit  : mizan
Cetakan  : Ed. II / I, Juni 2015
Tebal    : 503 hlm
ISBN    : 978-979-433-888-9
Peresensi  : Junaidi Khab
Akademisi dan Pecinta Baca Buku Asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Karya Emha Ainun Nadjib yang direpresentasikan dengan satu judul Surat kepada Kanjeng Nabi ini merupakan supremasi tema-tema sosial, seni-budaya, politik-ekonomi, dan agama yang terjadi di Indonesia. Ulasan-ulasannya sungguh menarik, unik, dan inspiratif. Dari persoalan-persoalan kebangsaan yang lokal hingga pada persoalan yang berskala nasional menjadi sorotan bahasan dengan sangat rinci.
Membaca karya ini, kita seakan sama dengan melihat fenomena yang terjadi di lingkungan sosial dan pemerintahan dari waktu ke waktu. Dari fenomena-fenoman tersebut, masyarakat pembaca akan digiring pada cara berpikir kritis dalam melihat segala aspek kebijakan pemerintah yang kadang tidak sesuai dengan inspirasi rakyat. Agak jarang kita mendengar berita di mana birokrasi kekuasaan dan militer meletakkan diri sebagai anak dari rakyat yang berposisi sebagai ibu yang notebene menyusui mereka dengan uang pajaknya (hlm. 42).
Perilaku hedonisme di dalama tubuh birokrasi pemerintahan dari waktu ke waktu akan terus terjadi, jika masyarakat terlena dengan zona nyaman yang mereka tempati. Sementara, mereka hanya akan berteriak-teriak dalam ringkihan nasional bagaikan kaleng susu yang menggelinding dengan suara tiada arti. Di lain sisi akan bermunculan berbagai penyakit sosial yang akut dan sulit untuk disembuhkan. Bagaikan HIV/AIDS yang berpotensi membunuh bagi penderitanya.
Memang, betapa lucunya manusia. Kita hanya mengejar yang enak, bukan yang baik. Itulah bentuk egosentrisme kemanusiaan kontemporer yang kemungkinan besar akan menghancurkan diri kita sendiri (hlm. 59). Sebuah anggapan bahwa klimak hidup bahagia adalah materi akan terus melanda kehidupan sosial. Hal itu terjadi karena pengaruh ketidaksadaran terhadap hakikat hidup yang sebenarnya. Sehingga, tidak heran jika virus korupsi menjadi luka borak di sekujur tubuh negeri ini.
Kejadian yang kita sebut tragedi, bisa menimpa pemimpin yang jahat atau pun yang baik. Seluruh ritme alam dan sejarah ini memojokkan setiap manusia agar tidak menutup-nutupi borok hidupnya, atau mengelabui mata Tuhan dengan mendamaikan korupsi dengan naik haji atau mengompromikan maksiat dan hedonisme dengan cara datang ke pengajian memakai jilbab atau peci (hlm. 289-290).
Jika seseorang merasa terlalu banyak korupsi, dia bisa menguap dengan cara naik haji atau mensponsori pengajian (baca: The Philosophy of Angop). Demikian juga dalam skala kemasyarakatan: kita tak bisa mengelakkan – misalnya – wisata seks, dan untuk itu kita menguap dan mengimpikan wisata spiritual. Berbuat baik menjadi ketergantungan dengan melakukan kejahatan, baik yang normal atau pun yang struktural di lingkungan sosial-pemerintahan.
Cara Rakyat Melawan
Subordinasi yang terjadi di dalam diri masyarakat Indonesia bukan berupa perlawan verbal kepada pemerintah. Tapi, kita bisa melihat fenomena-fenomena sosial yang terjadi, mulai dari pembunuhan, teror, dan segala macam gangguan keamanan lainnya. Hal tersebut ibarat denga seorang istri yang marah pada suami karena ide atau keinginannya berseberangan. Maka, karena perempuan yang tidak memiliki kekuataan, sang istri hanya mampu membanting pintu, gelas, atau piring sebagai bentuk kritik kepada suaminya. Begitu pula antara birokrasi pemernitahan dan rakyat jelata.
Menghadapi fenomena demikian, suami bisa mencerai istrinya dan pemerintah membuat kebijakan yang membunuh segalanya dari struktur sosial. Dengan kata lain, seseorang ingin membuang kerikil dalam nasi dengan cara membuang seluruh nasi di piring, atau ingin menyembuhkan luka borok di kaki dengan memotong kaki (hlm. 250). Sebuah persoalan dan permasalahan dihapus tanpa diberikan penggantinya. Begitu biasanya strategi instan yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara yang direncanakan atau sistemik, hingga tampak alamiah.
Di dalam karya ini dipaparkan berbagai macam persoalan dengan cara pandang kritis, berikut dengan solusi-solusi kreatif yang dibangun dengan apik oleh Cak Nun. Namun sayangnya, pandangan subjektif mendominasi dari seluruh ulasan problematika yang dipaparkan. Selain itu, tulisan-tulisan di dalam buku ini merupakan karya lawas yang basi, tetapi mampu menjadi sandaran dalam memandang segala aspek kebijakan pemerintah, karena ide-ide lawas tersebut terus mengendap hingga kering kemudian dibumbui dengan daya kreasi yang tinggi sehingga selalu relevan terhadap persoalan yang terjadi pada saat ini.
Secara garis besar, buku ini dibagi menjadi empat bagian. Pertama, ihwal “The Philosophy of Angop” berisi persoalan tentang sosial. Kedua, ihwal “The Nation of Jathilan” berisi masalah-masalah seni dan budaya. Ketiga, ihwal rahasia air mata yang mengulas masalah-masalah politik dan ekonomi. Keempat, ihwal “Mengendarai al-Quran, melintasi tujuh langit” yang mengulas masalah-masalah agama. Selamat membaca.

                                                                                                       ————————- *** ————————–

Tags: