Belajar Kebudayaan Kematian Lewat Museum Etnografi

Pelajar SMP Al Falah saat berkunjung ke museum etnografi dan pusat kajian kematian Unair.

Surabaya, Bhirawa
Kematian tak selalu menyeramkan. Justru, kematian menjadu hal yang lazim dalam siklus kehidupan makhluk hidup yang ada di bumi. Maka tak sedikit kalangan penasaran bagaimana konsep kematian, utamanya dari segi budaya.
Hal inilah yang ditunjukkan 117 siswa kelas VII SMP Al Falah Deltasari Sidoarjo saat berkunjung ke Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian Universitas Airlangga, Selasa (21/1). Kunjungan ke Museum Etnografi disambut antusias ratusan siswa. Mereka penasaran dengan koleksi tulang – belulang manusia. Para siswa juga terlihat serius memperhatikan penjelasan mengenai keanekaragaman budaya kematian yang ada di Indonesia.
“Meski sempat merinding saat mau masuk ke museum, tapi setelah masuk dan mendapat penjelasan dari petugas museum saya jadi senang. Karena ternyata tradisi kematian tiap daerah berbeda – beda,” ujar salah siswa, Salwa.
Hal yang menarik bagi Salwa, adanya koleksi soal tulang – belulang yang dipajang di museum itu. Dia penasaran kenapa tulang yang ada awet padahal usianya sudah ratusan bahkan ribuan tahun. ”Ternyata cuma replika,” katanya sembari tersenyum.
Sementara itu, Guru pengampu mata pelajaran IPS, Gatot Purwanto mengatakan, Indonesia memiliki keragaman budaya terkait kematian. Apalagi dalam mata pelajaran IPS, terdapat tema tentang memahami kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pra aksara.
“Dan lewat kunjungan ke museum secara langsung ini, kami berharap siswa mampu mendapatkan gambaran utuh dan konkret bagaimana kebudayaan seputar kematian yang ada di tiap suku bangsa di Indonesia,” jelas Gatot.
Jika melihat sejarah pada zaman pra aksara tepatnya di periodesasi megalitikum, manusia sudah mengenal sistem kepercayaan, diantaranya menyembah kekuatan gaib yakni animisme atau mempercayai benda-benda mati dan dinamisme yang berarti mempercayai benda hidup. Disamping dua hal itu, mereka juga mempercayai kematian bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, namun sebuah era perjalanan kehidupan yang baru. Di era ini, masyarakatnya juga sudah memiliki tradisi ritual tertentu saat terjadi kematian.
“Salah satu budaya yang berkembang di era itu adanya tradisi yaitu upaya mengawetkan jenazah orang – orang yang mati,” ungkap dia.
Gatot menambahkan, jika tradisi dan bentuk budaya prosesi kematian dan bagaimana memperlakukan seseorang yang meninggal, sesuai periodesasi masa pra aksara sudah dijelaskan dalam pelajaran di kelas. Namun dengan berkunjung ke museum, diharapkan pembelajaran lebih dipahami oleh siswa.
“Agar siswa lebih memahami, belajar lebih nyata dan tidak sekedar membayangkan saja,” tuturnya.
Setelah berkunjung di museum etnografi, para siswa melanjutkan kunjungan yang kedua yakni di Museum Mpu Tantular Sidoarjo. Hal ini sebagai implementasi pembelajaran nyata tema kehidupan masyarakat pada masa hindu Budha dan Islam di Indonesia.
Disana para siswa menjelajahi dan mempelajari semua sudut area museum, dimulai dari Koleksi Arca, Koleksi Pra Sejarah, Koleksi Penemuan, Koleksi Batik, Koleksi Klasik, Koleksi Senjata, dan Koleksi benda – benda Etnografi di Indonesia. [ina]

Tags: