Belajar Lebih Fleksibel, Diikuti Atlet hingga Model Asal Korea

 Kabid PNFI Dindik Jatim Nashor menemui Kim Ji Sub, peserta UNPK Paket C asal Seoul, Korea Selatan saat melakukan monitoring di SMPN 22 Surabaya, Rabu (6/4). [adit hananta utama]


Kabid PNFI Dindik Jatim Nashor menemui Kim Ji Sub, peserta UNPK Paket C asal Seoul, Korea Selatan saat melakukan monitoring di SMPN 22 Surabaya, Rabu (6/4). [adit hananta utama]

Berbagai Latar Belakang Peserta UNPK Paket C
Kota Surabaya, Bhirawa
Konon, Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) atau yang lebih dikenal ujian kejar paket itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang menyandang masalah sosial. Putus sekolah atau gagal saat UN formal masih menjadi patokan kelulusan. Ternyata, cerita tidak selalu sama. Anak-anak dengan latar belakang istimewa pun tak jarang yang memilih jalur ini.
Kim Ji Sub lahir di Seoul, Korea Selatan pada 22 Maret 1997. Meski sudah 15 tahun dibesarkan di Indonesia, anak dari pengusaha ekspor impor di Surabaya ini masih tercatat sebagai warga negara tempat dia dilahirkan. Ditemui di sela-sela aktivitasnya mengikuti ujian kejar Paket C di SMPN 22 Surabaya, Kim fasih berbicara dengan Bahasa Indonesia layaknya anak Surabaya, Rabu (6/4).
“Rencananya saya mau melanjutkan kuliah di Seoul, Korea,” kata alumnus SMP Petra 2 Surabaya itu.
Motif itulah yang mendorong Kim untuk kembali mengejar ijazah yang diakui pemerintah Indonesia. Pilihannya jatuh ke pendidikan kesetaraan lantaran dianggap lebih fleksibel dari segi waktu. Dia bisa berbagi waktu untuk belajar dan aktivitas lain. “Dulu sempat ikut fashion sampai ke Jakarta. Sekarang lebih banyak membantu bisnis orangtua,” kata pria yang memilih belajar Home Schooling Pena Surabaya itu.
Kim bukan satu-satunya orang yang memilih pendidikan kesetaraan karena alasan tak punya waktu untuk sekolah. Calvin Klein, pembalap motor RC 25 Surabaya itu juga memilih kejar paket karena bisa mengatur waktu di sela-sela kesibukannya berlatih. Hampir setiap hari dia menghabiskan waktu di Jakarta untuk berlatih. “Di Surabaya tidak ada sirkuit. Satu-satunya sirkuit di Indonesia ini ya Sentul. Jadi setiap latihan harus ke Jakarta,” kata Calvin.
Bagi Calvin, balap motor adalah nomor satu. Namun, pendidikan juga tidak bisa ditinggalkan. Karena untuk masuk ke perguruan tinggi juga membutuhkan ijazah yang legal dan diakui negara. “Kalau sekolah tidak mungkin, jadi pilihannya cuma home schooling,” kata dia.
Selain pembalap motor, pelaksanaan ujian di SMPN 22 yang berlokasi di Jalan Gayungsari Barat X-38 itu juga ada seorang atlet golf. Almay Rayhan, pegolf yang kini membela klub milik Pemprov DKI Jakarta itu sudah banyak memakan asam garam pertandingan golf internasional. Terakhir, dia berhasil membawa pulang medali emas kategori individual dan beregu sekaligus. Medali itu diraihnya dari Asian School Game 2015 di Brunai Darussalam.
“Seminggu itu enam harinya untuk latihan golf di Jakarta. Jadi tidak mungkin bisa sekolah lagi,” tutur alumnus SMP Almizan Surabaya itu. Warga belajar Home Schooling Kak Seto itu memilih pendidikan kesetaraan karena tak mau dianggap hanya lulusan SMP. Karena pendidikan, meskipun tidak ditempuh lewat jalur formal, juga disediakan untuk jalur non formal. “Waktunya lebih enak. Kita bisa belajar tanpa meninggalkan aktivitas sehari-hari yang sama pentingnya,” tutur dia.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Dindik Jatim Nashor menuturkan latar belakang peserta ujian kejar paket memang beragam. Itu artinya, tidak selalu mereka yang memiliki masalah sosial yang ikut kejar paket. “Jadi jangan sekali-kali mendiskriminasikan siswa kejar paket. Mereka punya motivasi belajar yang tinggi meski sebenarnya mereka juga punya aktivitas yang padat,” kata dia.
Termasuk legalitas ijazah, lanjut Nashor, juga diakui negara. Bahkan yang menandatangani adalah kepala dindik di daerah setempat. “Lulusan-lulusan kejar paket ini juga punya kesempatan yang sama untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ijazah mereka resmi dan diakui,” tambahnya.
Di Jatim, kata Nashor, tercatat ada 8.301 warga belajar. Seluruhnya masih menggunakan ujian dengan metode Paper Based Test  (PBT). Termasuk peserta yang ada di Surabaya. “Belum ada yang menggunakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Dari pusat juga belum muncul wacana itu kapan akan mulai digelar,” kata dia. [Adit Hananta Utama]

Tags: