Belajar Meredam Kekerasan

22-asri-kusuma-dewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Peristiwa terjadinya kerusuhan yang berbau SARA, di Tanjungbalai massa yang melancarkan kekerasan dengan membakar sejumlah rumah ibadah di sana. Begitupun dalam waktu yang tak terpaut jauh, kekerasan juga terjadi di Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Kekerasan di sini bahkan menewaskan dua warga. Kekerasan seperti di Tanjungbalai dan Karo, atas nama apa pun, dengan alasan apa pun, tak bisa dibenarkan, tak boleh dimaklumi.
Sekiranya patut kita sesalkan bersama. Kerusuhan yang terjadi merupakan potret masyarakat yang bisa kita bilang telah kehilangan toleransi antar umat beragama dan lemahnya kesadaran hukum. Padahal, sudah semestinya masyarakat di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima seperti Indonesia semestinya menyelesaikan segala perkara dengan berpijak pada hukum, bukan kekerasan.
Menolak kekerasan
Cuma masyarakat di negara yang menjadikan hukum rimba sebagai panglima yang menyelesaikan berbagai persoalan melalui kekerasan. Akan tetapi, itulah yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatra Utara, Sabtu (29/7). Menelesik dari peristiwa kekerasan tersebut, kemungkinan ada tiga faktor yang menjadi penyebab utama kerusuhan.
Pertama, terkait dengan ideologi, sosialisasi ideologi. Kalau kita Pancasila agar semua pihak menerima. Tapi dalam kehidupan nyata kepentingan ideologi semacam itu kalah oleh golongan dan kelompok. Seharusnya yang majemuk seperti Indonesia kesepakatan itu yang ditonjolkan.
Kedua, masalah kesenjangan ekonomi di wilayah tersebut juga patut untuk disimak. Merujuk dalam kehidupan berbangsa, sudah semestinya negara harus hadir guna menghilangkan jurang pemisah antara si kaya dengan miskin, sehingga jangan sampai yang kaya makin kaya, miskin makin miskin. Padahal kehidupan berbangsa dan negara harus saling ketergantungan, jadi tidak boleh serakah, monopoli pemilik modal.
Ketiga, bisa jadi akibat dua faktor tersebut, akhirnya persoalan ketiga pun muncul, yakni gagalnya upaya afiliasi silang. Di tengah masyarakat yang majemuk, masing-masing etnis atau agama, diharapkan bisa saling mengerti satu sama lain. Ketiga, afiliasi silang, bertemunya bermacam kelompok dalam beragam etnis. Ketiga hal ini yang kurang, akhirnya mudah terpancing. Sebab, bagaimanapun juga tiga faktor yang ada tersebut sebagai pengikat solidaritas sosial.
Merujuk dari kedua peristiwa Tanjungbalai  dan Karo Sumatera Utara, yang jelas kekerasan bertentangan dengan nalar dan nurani. Kekerasan hanya dilakukan mereka yang tak cukup memiliki nalar dan nurani. Disebut tak punya nalar dan nurani karena mereka buntu pikiran dan rasa sehingga mereka berpikir dan merasa bahwa kekerasan ialah satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan.
Kekerasan jelas merupakan pelanggaran hukum. Itu artinya masyarakat yang menyelesaikan persoalan dengan kekerasan bukanlah masyarakat yang tertib hukum. Masyarakat seperti itu pantas mendapat sanksi hukum atas kekerasan atau pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Oleh karena itu, Polri harus menindak keras mereka yang melancarkan kekerasan dalam kedua peristiwa.
Bersatu hadirkan kedamaian
Polri harus menunjukkan hukum masih bekerja sehingga Indonesia masih pantas menyebut diri sebagai negara hukum. Bila didiamkan, kekerasan akan dianggap kebenaran, bukan pelanggaran hukum. Bila didiamkan tanpa ada tindakan hukum, kekerasan serupa mudah terulang.
Kita mengapresiasi Polri yang hingga kemarin telah menetapkan tujuh tersangka pascakekerasan di Tanjungbalai. Langkah Polri itu penting demi menghadirkan efek jera. Masyarakat akan berpikir ulang bila hendak melakukan kekerasan karena hukum akan menindak mereka. Di sisi lain, aparat harus mengintrospeksi dan mengevaluasi diri. Aparat harus meningkatkan deteksi dini untuk mencegah kekerasan berulang. Terus terang kita katakan aparat kita kedodoran di titik deteksi dini ini.
Deteksi atau antisipasi dini amat penting digencarkan di Sumatra Utara. Kita tahu Sumatra Utara ialah wilayah multietnik, provinsi berbilang kaum. Di Sumatra Utara, persoalan kecil saja bisa memantik kekerasan dan kerusuhan berbau rasial. Masyarakat Sumut sesungguhnya memiliki mekanisme atau kearifan lokal untuk merawat keberagaman. Cross-cultural affiliation atau afiliasi lintas kultur merupakan salah satu mekanisme tersebut.
Mekanisme semacam itu sesungguhnya sudah bekerja dengan baik sehingga Sumut tidak mengalami konflik etnik atau agama yang keras dan berkepanjangan seperti di sejumlah daerah lain di Tanah Air. Karena itu, kita mesti mengeksplorasi cross-cultural affiliation serta mekanisme pemeliharaan keberagaman lain untuk mempertahankan kedamaian di Sumut.
Kehadiran aparat dan pejabat di tengah rakyat serta partisipasi pemuka masyarakat menjadi penting untuk memulihkan kedamaian yang terkoyak di Tanjungbalai dan Karo. Kita mengapresiasi kehadiran pejabat Polri dan pejabat daerah ke lokasi peristiwa. Kehadiran mereka sangat berarti dalam mempercepat pemulihan kedamaian di Sumatra Utara. Berikut diantaranya pembelajaran bersama agar terjadinya kekerasan bisa tercegah di negeri ini.
Pertama, belajar dari kejadian ini sekiranya jangan ada orang yang memancing di air keruh menyangkut soal SARA. Karena dampak kerusakan sosialnya amat parah. Baik secara fisik maupun secara psikologis
Kedua, perlu adanya rasa saling memahami kultur dan tradisi dari agama masing-masing yang perlu terus ditingkatkan dan ditanamkan sebagai langkah awal mencegah kesalahpahaman. Pasalnya, setiap agama memiliki tata cara ibadah dengan kultur yang berbeda. Jika ini dipahami maka peristiwa di Tanjungbalai tidak akan terjadi.  Kerusuhan di Tanjung Balai jika tidak disikapi dengan serius, hati-hati dan cepat, baik oleh aparat, pemerintah dan tokoh agama maka akan bisa meluas menjadi konflik ras dan gejolak kebencian atas etnis tertentu.
Ketiga, belajar dari kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, kiranya negara dan seluruh rakyat Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga keutuhan dan persatuan dengan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menghargai. Untuk itu, masyarakat dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban diantara mereka. Oleh karena itu kita sebagai warga gegara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
Selain ketiga hal tersebut, berikut pembelajaran bersama agar terjadinya kekerasan bisa tercegah di negeri ini, yang penulis kutip pendapat dari Anggota Badan Sosialisasi MPR RI, Elnino M. Husein Mohi mengatakan intelijen harus mengawasi ketat peredaran isu di media sosial agar kerusuhan seperti di Tanjung Balai, Sumatera Utara, tak terulang. Intelijen keamanan kita (intel polri) maupun intel BIN mesti memberikan perhatian besar terhadap peredaran isu dan opini di media sosial. Jika ada tanda-tanda provokasi maupun penyebaran kebencian, maka polisi perlu langsung bertindak untuk meredam atau menghentikan,( Kompas.com, 31/7/2016).
Memang kita akui atau tidak saat ini memang ada kecenderungan masyarakat mengakses media sosial ketimbang informasi dari sumber sahih mengenai suatu isu atau kejadian. Selain itu, adanya kegagapan membedakan ruang publik dan privat menyebabkan masyarakat seringkali berkomentar tanpa berpikir dampaknya.
Itulah yang bisa memicu atau bahkan membesarkan konflik. Di masyarakat kita ada “loncatan teknologi informasi”. Ada masyarakat yang tidak terbiasa membaca koran, mendengar berita radio, menonton berita televisi, lalu dia langsung bisa mengakses media sosial dan berkomentar. Jadilah komennya meluncur begitu saja tanpa filter. Inilah yang seringkali memicu dan membesarkan konflik.
Berkaca pada kejadian di Tanjung Balai, penyebab kemarahan warga hingga aksi pembakaran rumah ibadah di sana salah satunya disebabkan isu-isu yang tidak benar di media sosial. Padahal, sebenarnya Polri telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech Nomor SE/06/X/2015.
Isi dalam surat itu salah satunya menyebutkan bahwa pelaku penebar kebencian melalui berbagai media termasuk media sosial bisa diancam hukuman pidana. Merujuk pada persoalan tersebut, kita masyarakat meski berhati-hati menyikapi informasi di jejaring dunia maya. Jangan sampai kekerasan mudah tersulut dan meraja lela di negeri  yang notabenenya adalah negeri yang cinta damai ini.

                                                                                                                      ———- *** ———–

Rate this article!
Belajar Meredam Kekerasan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: