Belajar Tentang Falsafah Hidup kepada Hamka

Judul : Falsafah Hidup
Penulis : Prof. Dr. Hamka
Editor : Moh. Iqbal Santoso
Tata Sampul : Moh. Ali Imran
Tata Isi : Moh. Ali Imron
Cetakan VII : Januari 2018
Penerbit : Republika Penerbit
Tebal : 428 + xxxiv halaman
ISBN : 978-602-0822-02-0
Harga : Rp. 79.000,- di Pulau Jawa
Peresensi : Ahmad Muhli Junaidi
Guru di SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep

Apabila nama Hamka disebut maka terbayanglah; seseorang yang multi talenta. Di satu sisi, ia seorang ulama besar, karenanya lahir Tafsir al-Azhar sebagai karya masterpiece sebagai seorang ulama.
Di sisi yang lainnya, ia seorang sastrawan, karenanya lahir karya-karya sastra yang amat memikat semisal, Di Bawah Lindungan Ka’bah. Juga seorang organisatoris, karena ia pernah aktif menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Ketua MUI pertama. Tak lupa, ia juga sebagai guru atau dosen, karena menjadi Guru Besar di IAIN Syarif Hidayatullah dan pendiri Lembaga Pendidikan al-Azhar di Kemang, Kabayoran Lama. Ia pun seorang orator ulung, karenanya sampai saat ini banyak sekali hasil ceramahnya terdokumentasi dengan baik. Ia juga seorang parenting yang ulung, karenanya anak keturunan Hamka menjadi ahli diberbagai bidang kehidupan. Ia pula seorang wartawan yang mempuni, oleh karenanya majalah Panjimas yang didirikan berjaya sampai berubah menjadi majalah daring. Ia adalah seorang filosof yang membumi, dan sufi yang wajar.
Sebagai seorang filosof telah dibuktikan dengan persaksian berbagai kalangan yang pernah berinteraksi dengan dia, betapa dalam dan kuat pemikirannya dalam menyelami hakikat kehidupan yang maha luas ini. Kedalaman dan kekuatan pemikirannya juga dapat kita rasakan, bagi kita yang tak pernah berinteraksi secara langsung, apabila kita membaca karya-karya, seperti Tasawuf Modern.
Di samping itu, kita pun dibuat tertekun secara mendalam apabila kita baca karya yang secara murni terkait dengan filsafat, yaitu Falsafah Hidup. Dalam buku inilah, Hamka benar-benar menonjol sebagai seorang filosof yang betul-betul membumi, dalam artian; seorang filosof yang dapat mewujudkan pemikiran filsafatnya dengan penuh hikmah kebijaksanaan, sehingga apa yang terpikirkan dapat pula diwujudkan dalam tindak-tanduk kehidupan. Persis apa yang dikatakan oleh para ahli filsafat dunia, “beberapa lamanya filosofi bergantung di langit, sampai akhirnya Socrates datang mengaitnya dan diturunkannya ke bumi (hal. xviii).” Itulah Hamka, ia akan amat gelisah jika ada hikmah kebijaksanaan dari filsafat tidak pernah tersentuh masyarakat awam, sebab kebijaksanaan itu bernilai universal, bukan hanya kalangan cendekiawan yang harus menikmatinya.
Inilah buku tentang hidup dan rahasianya, sopan santun dan budi di dalam Islam (hal. iii). Hamka membagi bukunya menjadi sembilan bab. Bab pertama ia berbicara tentang ‘hidup’. Menurutnya ‘hidup’ laksana tenunan yang bersambung menjadi kain. Sekalian makhluk di bumi seakan-akan tidak kelihatan di dalam tenunan ini, karena sangat kecil. Maka tenunan hayat yang kita lihat ini adalah ujung daripada pangkal hayat yang telah lalu (hal. 4). Bab kedua Hamka berbicara tentang ‘ilmu dan akal’. Di dalam bab inilah Hamka melandaskan pandangannya pada ayat-ayat suci al-Qur’an dan sunnah Rasul yang mengupas tentang pengetahuan dan akal pikiran, seperti, “tidaklah sempurna agama manusia selama-lamanya, sebelum sempurna akalnya.” (hal. 44). Bab ketiga membahas tentang ‘hukum alam’ yang dalam pandangan Hamka hukum alam itu merupakan sunnatullah yang teguh dan tidak akan berubah-ubah, sebelum berubah pula asal peraturannya (hal. 73). Di bab keempat Hamka mengurai tentang ‘adab kesopanan’. Beberapa contoh kesopanan dalam Islam adalah memelihara mata, menjaga silaturrahim, menghormati ibu bapak, dan lain-lain (hal 131). Bab kelima berisi tentang ‘sederhana’. Hamka memandang bahwa kederhanaan itu meliputi; sederhana niat dan tujuan, sederhana berpikir, sederhana keperluan hidup, sederhana dalam sukacita, sederhana dalam harta benda, sederhana dalam mencari nama, dan sebagainya (hal. 213).
Adapun di bab enam berisi tentang ‘berani’. Hamka menyatakan bahwa orang yang berani menyatakan kebenaran, kalau memperoleh kawan, adalah kawan yang setia. Dan bila mendapat lawan, walau tidak tunduk padanya, namun sang lawan akan menghormatinya (hal. 256). Di bab ketujuh Hamka berbicara tentang ‘keadilan’. Menurutnya keadilan itu merupakan suatu keutamaan yang sangat luas yang mengandung tiga unsur, yaitu: persamaan, kemerdekaan, dan hak milik (hal. 317). Sedangkan di bab kedelapan menyinggung tentang ‘persahabatan’. Hakikat persahabatan menurut Hamka adalah untuk bersama-sama memperluas tujuan hidup, mendekatkan di antara satu jiwa dengan jiwa yang lain, sehingga tercipta kedamaian hidup (hal. 384). Dan bab terakhir berisi ‘Islam membentuk padangan hidup’, sebab kedatangan Islam untuk memperbaiki diri, jiwa, dan batin. Oleh karena itu, Goethe pernah berkata: “kalau ini yang bernama Islam, apakah kita ini, yang memang bertujuan demikian, tidak patut dinamai seorang Islam?” (hal. 417). Dengan itu, akhirnya Goethe masuk Islam.
Pada akhirnya, peresensi hanya dapat bilang: betapa amazing-nya isi buku yang ada di hadapan kita ini. Anda yang sampai dicetakan kelima buku yang diterbitkan Republika ini belum sama sekali membacanya, sungguh Anda dalam keadaan ‘rugi’ melihat betapa kandungan hikmah di dalamnya sangat luar biasa banyak. Jangan lihat karena Hamka orang Muhammadiyah, karena antara orang Muahammadiyah dan bukan tidak ada bedanya di sisi Allah, kecuali ketakwaan semata, tapi lihatnya betapa hikmah yang memancar dari penanya memang sangat dahsyat untuk kita jadikan panduan menelusuri cabaran kehidupan ini. Wallahu A’lam.

—————– *** ——————-

Tags: